| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Minggu, 15 Maret 2009

Minggu, 15 Maret 2009

Hari Minggu Prapaskah III

Renungan


Kiranya anda ingat atau pernah mendengar perihal ‘Kisah Penampakan Bunda Maria’ yang disponsori oleh Bapak Thomas alm., di wilayah Keuskupan Agung Semarang, di tempat ziarah Bunda Maria Sendangsono dan Sendang Sriningsih. Ribuan umat dari berbagai daerah hadir dalam kesempatan tersebut untuk ‘menyaksikan mujizat Penampakan Bunda Maria’, yang konon menampakkan diri di tengah malam. Kami pada saat itu agak menaruh curiga terhadap peristiwa ini; kecurigaan pertama-tama muncul ketika mencermati masalah keuangan, kolekte yang terkumpul dari peristiwa tersebut. Tidak ada satu rupiahpun dari jumlah kolekte yang cukup besar (jutaan) ditinggalkan atau disisihkan untuk kepentingan pemeliharaan tempat ziarah terkait, semuanya langsung ‘dikantongi’ oleh Bapak Thomas dkk. Dengan kata lain kami menduga adanya gerakan komersialisasi ibadat atau tempat ibadat. Ada dugaan ‘penampakan Bunda Maria’ tersebut merupakan rekayasa para-normal, maka secara diam-diam kami mengusahakan bagaimana ‘mengatasi masalah tersebut’. Singkat cerita akhirnya kami memperoleh bantuan dari para-normal yang baik untuk mengatasi masalah tersebut, dan memang benar ketika ada ‘perlawanan’ dari para-normal yang baik ‘peristiwa penampakan’ yang direncanakan, di Sendangsono, waktu itu gagal total. Ribuan umat yang hadir kecewa dan sejak saat itu tidak ada lagi kegiatan ‘penampakan Bunda Maria'


"Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."(Yoh 2:16)


Tempat ziarah dan tempat ibadat adalah tempat suci. “Dalam tempat suci hanya dapat diizinkan hal-hal yang berguna bagi pelaksanaan atau peningkatan ibadat, kesalehan dan kebaktian, serta dilarang sesuatu yang tidak cocok dengan kesucian tempat itu. Namun Ordinaris dapat sekali-sekali memberi izin untuk penggunaan lain, asal tidak bertentangan dengan kesucian tempat itu” (KHK kan 1210). Kegiatan beribadat memang membutuhkan aneka macam sarana-prasarana serta dana atau uang, yang antara lain diperoleh melalui kolekte atau persembahan yang diadakan selama ibadat tersebut. Umat Allah menyisihkan sebagai harta benda atau uangnya sebagai kolekte atau persembahan sebagai ucapan syukur dan terima kasih atas berbagai karunia yang diterima selama beribadat maupun dalam perjalanan hidup sehari-hari yang dijiwai oleh karunia yang diterima selama beribadat. Di dalam Gereja Katolik beralaku peraturan bahwa harta benda atau uang yang diterima selama beribadat tersebut menjadi harta benda gerejawi yang memiliki “tujuan-tujuan khas terutama ialah: mengatur ibadat ilahi, memberi penghidupan layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lainnya, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal-kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan” (KHK kan 1254 $ 2).. Sedangkan sebagai umat beriman terkait dengan pemilikan atau penguasaan harta benda kiranya dapat berpedoman pada ajaran ini: ”Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cintakasih” (Vat II: GS no 69)



Bercermin pada pedoman dan ajaran di atas, sebagaimana saya kutipkan, hendaknya dijauhkan aneka bentuk komersialisasi di dalam kegiatan ibadat maupun tempat ibadat serta memfungsikan harta benda dan uang untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan pribadi agar semakin dikasihi oleh Tuhan maupun sesama manusia. “Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan” (St.Ignatius Loyola LR no 23), yaitu keselamatan jiwa manusia. Marilah kita fungsikan berbagai jenis harta benda dan uang demi keselamatan jiwa kita sendiri maupun mereka yang kena dampak pemfungsian tersebut. Secara khusus kami mengajak dan mengingatkan mereka yang telibat dalam pengelolaan harta benda atau uang Gereja atau lembaga agama: fungsikan harta benda dan uang tersebut untuk membantu atau mendukung umat agar semakin beribadat, semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, semakin beriman. Umat semakin beriman akan semakin rela berkorban dengan harta benda atau uangnya demi kepentingan ibadat atau gerakan keagamaan/kerasulan, sosial, amal-kasih dst.. Sebaliknya jika umat semakin sosial, selayaknya mereka yang terlibat dalam pengelolaan atau pengurusan harta benda atau uang keagamaan semakin lebih sosial.



“Apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti,supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor 1:27-29)


  
Di dalam dunia rasanya sering berlaku ‘hukum’: “Yang bodoh dapat menjadi pandai/berhikmat karena uang, sedangkan yang pandai/berhikmat dapat menjadi bodoh karena uang”. Itulah yang terjadi dalam diri orang yang tidak atau kurang beriman. Sementara itu apa yang dikatakan oleh Paulus kepada umat di Korintus, sebagaimana saya kutipkan di atas, rasanya juga berlaku atau menjadi nyata pada masa kini, yang ditandai oleh ‘kemerosotan financial/uang’ yang melanda seluruh dunia. Mereka yang dipandang berhikmat oleh dunia, antara lain para pemilik, penanam atau pengelola saham, harus menatap dan menghadapi ‘kegagalan’, dan kemudian harus bekerja keras mengatasi dampak kemerosotan financial tersebut. Sementara itu mereka yang dipandang hina dan miskin, kurang terpandang di dunia, yang telah terbiasa dalam hal perjuangan dan pengorbanan tidak begitu merasakan dampak kemerosotan financial tersebut.
     
“Jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri (sombong) di hadapan Allah”, demikian nasihat atau pesan Paulus. Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk menjadi rendah hati di hadapan Allah, mengakui dan menghayati diri sebagai yang lemah, rapuh dan berdosa. Dan tentu saja hal itu juga harus menjadi nyata atau terwujud dalam kehidupan bersama di dalam keluarga, masyarakat maupun tempat kerja: saling rendah hati satu sama lain, maka baiklah kita hayati perintah ini: “ Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” (Kel 20:12-17) Dalam masa Prapaskah ini marilah kita mawas diri apakah perintah di atas ini kita hayati atau langgar/abaikan. Jika kita telah melanggar perintah tersebut, dalam tindakan atau perilaku sekecil dan sesederhana apapun, marilah kita bertobat, memperbaharui diri, mohon kasih pengampunan Tuhan, antara lain dengan pengakuan dosa pribadi di hadapan seorang imam. Pertobatan dan pembaharuan diri kita juga dapat kita wujudkan dengan melakukan kerasulan, amal-kasih terutama terhadap mereka yang miskin dan berkekurangan.



Photobucket

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy