| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Minggu, 27 Maret 2009

Minggu, 27 Maret 2009
Hari Minggu Prapaskah V
Yer 31:31-34; Ibr 5:7-9; Yoh 12:20-33
(Bacaan Selengkapnya lihat di post dibawah ini)

“Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah”


Ketika ada anak/manusia baru dilahirkan pada umumnya hanya orang-orang tertentu yang datang memberi ucapan selamat, sebaliknya ketika ada orang dipanggil Tuhan atau meninggal dunia pada umumnya tanpa diundang mereka yang kenal akan datang berbondong-bondong untuk melayat, apalagi jika yang meninggal dunia adalah tokoh penting dan baik. Ketika sang tokoh dalam keadaan sakit keras, alias hampir dipanggil Tuhan atau menyerahkan diri seutuhnya pada Tuhan juga banyak orang yang berkunjung atau mendoakannya. Sebagai contoh, lepas dari benar atau tidak benar, ketika pimpinan FPI ditangkap oleh yang berwajib dan diancam hukuman, maka ribuan anggota FPI muncul dan demo, demikian juga ketika tiga tertuduh bom Bali I atau provokator kerusuhan Poso akan dieksekusi. Dari antara para pendemo antara lain muncul sesumbar :”Mati satu tumbuh seribu”. Dan memang ketika ada korban kebenaran yang mati sebagai pembawa kebenaran maka muncullah pembawa-pembawa kebenaran baru; ia bagaikan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, serta kemudian menghasilkan pohon gandum yang subur serta menghasilkan banyak biji-biji gandum

“Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24 )

"Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa” (Yoh 12:23 -26), demikian sabda Yesus kepada mereka yang mengikutiNya. Yesus telah menyerahkan ‘nyawaNya’, hidup dan cara bertindakNya bagi kebahagiaan dan keselamatan seluruh umat manusia di dunia, dan Ia akan segera memperembahkan secara konkret dengan menderita dan wafat di kayu salib, serta dibangkitkan dari mati ‘untuk hidup yang kekal’. Maka marilah kita yang beriman kepadaNya meneladan cara hidup dan cara bertindakNya serta melaksanakan sabda-sabdaNya.



“Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal”: sabda inilah yang kiranya baik kita renungkan atau refleksikan. Nyawa antara lain berarti gairah hidup, semangat, cita-cita, dambaan atau harapan, maka menyerahkan nyawa di dunia.ini berarti mengarahkan dan mempersembahkan gairah hidup, semangat, cita-cita, dambaan atau harapan bagi keselamatan dan kebahagiaan umum atau orang lain, dan dengan demikian kita sendiri akan selamat dan bahagia. Dengan kata lain hendaknya kita hidup dan bertindak sesuai dengan aturan atau tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita, setia pada janji-janji yang pernah kita ikrarkan.



Para suami dan isteri yang pernah saling berikrar atau berjanji untuk saling mengasihi baik dalam untung dan malang , sehat maupun sakit sampai mati, hemat saya dapat menjadi teladan bagi anak-anak maupun sesama di lingkungan hidupnya. Pengalaman akan kesetiaan dalam saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tenaga/tubuh yang terjadi di dalam keluarga antar suami-isteri akan menjadi bekal yang mendalam dan membekas dalam diri anak-anak, yang telah lahir melalui kasih suami-isteri. Bukankah ‘saju biji/sel telur satu ditembus satu sel sperma’ dalam tindakan saling menyerahkan diri tumbuhlah buah baru, seorang anak manusia, yang menggembirakan dan membahagiakan? Dengan kata lain para suami-isteri memiliki pengalaman khusus dalam menghayati sabda Yesus untuk tidak mencintai nyawanya di dunia ini, melainkan menyerahkan seutuhnya kepada orang lain. Pengamatan dan pengalaman saya menunjukkan bahwa orang-orang atau pribadi-pribadi yang sungguh mempersembahkan hidupnya dalam tugas, panggilan atau pengutusan, jabatan, kedudukan atau fungsi bagi sesamanya pada umumnya berasal dari keluarga-keluarga yang taat-setia, suami-isteri yang taat-setia pada janji-janjinya.



“Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan “ (Ibr 5:7)


Saleh rasanya dekat dengan kata Jawa “sumeleh”. “’Sumeleh’ bukan berarti berdiam diri atau mengharapkan pemberian saja. Tetapi harus berusaha untuk selalu melakukan yang terbaik, meski apa yang dilakukannya belum tentu dianggap benar menurut orang lain. Yang terpenting adalah komitmen untuk tetap semangat dan melakukan yang terbaik” (http://gemari.or.id) .Kiranya kita semua dipanggil untuk meneladan Dia yang “telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Tuhan” yang dijiwai oleh kesalehan. Dalam masa Prapaskah ini marilah kita tingkatkan dan perdalam hidup doa kita, entah berdoa bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Kita juga dipanggil untuk senantiasa melakukan yang terbaik dalam hidup, tugas pekerjaan dan pengutusan kita.



Yang terbaik hemat saya adalah keselamatan jiwa manusia, entah jiwa kita sendiri maupun orang lain atau sesama kita. Maka dimana ada kemungkinan lebih banyak jiwa diselamatkan, kesitulah kita dipanggil; dengan kata lain marilah kita cari dan datangi tempat-tempat, apa-apa atau siapa-siapa saja yang tidak atau belum selamat serta membutuhkan keselamatan, lebih-lebih keselamatan jiwa. Keselamatan jiwa hendaknya menjadi tolok ukur atau barometer keberhasilan atau kesuksesan cara hidup dan cara bertindak kita. “Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan (yaitu keselamatan jiwa). Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut sejauh itu merintangi dirinya” (St.Ignatius Loyola, LR no 23).



Marilah dengan teliti, cermat, tekun dan rendah hati kita lihat ‘barang-barang apa saja’ yang menolong atau merintangi kita untuk mengejar dan mengusahakaan keselamatan jiwa. Barang-barang yang menolong kita untuk mengejar keselamatan jiwa hendaknya dengan segala upaya dipergunakan sebaik mungkin, sebaliknya yang merintangi segera kita lepaskan atau singkirkan/buang. Sebagai contoh adalah aneka macam jenis sarana-prasarana modern dan canggih, misalnya HP, internet, kendaraan, dst.. Dalam kenyataan dapat dilihat bahwa cukup banyak orang lebih dikuasai oleh sarana-prasarana tersebut daripada menguasai. Kita dipanggil dalam kesalehan mempergunakan sarana-prasarana tersebut demi keselamatan jiwa kita sendiri dan sesama kita. :”Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.”(Yer 31:33), demikian janji Tuhan kepada bangsa terpilih, kepada kita semua orang beriman. Diharapkan isi batin dan hati kita adalah Taurat Tuhan atau kehendak Tuhan, sehingga kita senantiasa mengusahakan dan melakukan apa yang terbaik demi keselamatan jiwa kita dan sesama kita.



“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku! Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela! Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu” (Mzm 51:12-15)


Jakarta , 29 Maret 2009
Ignatius Sumarya, SJ

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy