| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Hari Minggu Palma, Mengenangkan Sengsara Tuhan, Minggu 03 April 2009

HARI MINGGU PALMA
Yes 50:4-7; Flp 2:6-11; Mrk 14:1-15:47

“Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan”


Ketika ada kepala negara atau presiden atau pejabat tinggi akan mengadakan kunjungan di suatu daerah, maka pada umumnya pemimpin bersama warga masyarakat yang bersangkutan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Persiapan itu antara lain: pembersihan atau penataan lingkungan hidup atau tempat yang mau dikunjungi dan jalan-jalan yang mau dilalui, pemasangan bendera atau spanduk, dst.. Kegiatan kunjungan kerja tersebut rasanya harus dibayar mahal, apalagi jika pemimpin dan warga daerah yang akan dikunjungi berusaha menampilkan diri sebaik mungkin, meskipun untuk itu sebenarnya merupakan permainan sandiwara, upaya liturgis atau formal melulu. Pada saat kunjungan pengawalan atau pengamanan bagi ‘sang tamu’ begitu ketat, antara lain terjadi ‘penutupan jalan untuk waktu tertentu’ dimana masyarakat umum pada saat itu tidak boleh melalui jalan yang bersangkutan. Pada hari ini, Minggu Palma, kita mengenangkan ‘Sang Raja, Yesus’ yang naik keledai dan dielu-elukan atau disambut secara meriah oleh orang-orang yang percaya kepadaNya. Hal itu terjadi secara spontan, sehingga mereka mengelu-elukan dengan daun palma atau pakaian seadanya, tanpa dibuat-buat dan tiada permainan sandiwara. dimana “mereka membawa keledai itu kepada Yesus, dan mengalasinya dengan pakaian mereka, kemudian Yesus naik ke atasnya. Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang. Orang-orang yang berjalan di depan dan mereka yang mengikuti dari belakang berseru: "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!"(Mrk 11:7-10)



“Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil 2:6-8)



Hari ini kita juga mengelu-elukan dan mengiringi perjalanan Yesus menuju ke pemenuhan tugas pengutusanNya dengan mempersembahkan Diri seutuhnya, sengsara dan wafat di kayu salib serta pada hari ketiga bangkit dari mati. Yang kita elu-elukan dan iringi perjalananNya ‘tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia’, maka selayaknya kita mengelu-elukan dan mengiringiNya dengan sederhana, rendah hati, apa adanya, dan tiada permainan sandiwara kehidupan. Rasanya cara hidup dan cara bertindak atau sikap orang-orang yang mengelu-elukan Yesus waktu itu seperti kita pada masa kini ketika mendengar ada sahabat kita yang sedang sakit keras dan mendekati kematian serta dengan spontan dan cepat-cepat untuk mengunjungi dan menyapanya dengan penuh kasih.



Pada hari ini kita memasuki ‘Pekan Suci’, maka marilah meneladan orang-orang yang mengiringi Yesus menuju Yerusalem. Setelah kita mawas diri sejak Rabu Abu, kiranya masing-masing dari kita lebih mengenal diri: kita lebih kenal kekuatan dan kelemahan kita, serta melihat aneka kesempatan dan ancaman dalam menghayati iman atau panggilan serta melaksanakan tugas pengutusan. Maka baiklah dengan jujur, apa adanya kita masuki “Pekan Suci”, kita imani dan hayati bahwa kita adalah orang-orang berdosa yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan Yesus, karya penyelamatan seluruh bangsa manusia.



Marilah kita berusaha dengan rendah hati untuk “mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan sesama manusia” Kita adalah sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama beriman, sama-sama mendambakan hidup selamat, damai sejahtera lahir dan batin, bahagia kini dan selama-lamanya. Maka marilah kita fungsikan segala kekuatan dan gunakan segala kesempatan dan kemungkinan untuk saling , malayani, membahagiakan dan menyelamatkan. Marilah kita bekerja sama seperti semut-semut yang ‘membawa bangkai binatang menuju ke puncak/ketinggian’ dan di puncak itulah mereka berpesta pora makan bersama, sedangkan selama di perjalanan kerja sama dan bergotong-royong tanpa kenal lelah. Tiada yang korupsi, bermalas-malas, cari enak sendiri selama di perjalanan. Kita bagaikan ‘semut-semut’ yang akan menghabisi bangkai-bangkai busuk dan menjijikkan, sehingga bersih dan indah serta nikmat lingkungan hidup kita. “Jer basuki mowo beyo” (=Untuk hidup mulia, damai sejahtera, orang harus berani berjuang dan berkorban).

“Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang” (Yes 50:4-5)


Mendengarkan dan berbicara itulah mayoritas kesibukan kita semua sejak bayi/dilahirkan sampai lansia/ mati atau dipanggil Tuhan. Begitu tersadar dari tidur kiranya indra pendengaran atau telinga kita yang pertama-tama aktif dan bekerja. Maka marilah begitu terjaga dari tidur kita dengarkan firman atau sabda Tuhan dan mungkin dapat kita awali dengan doa ini: “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu” (Rat 3:22 -23). Kita berterima kasih dan bersyukur atas rahmat dan kesetiaan Tuhan bahwa kita masih dianugerahi hidup serta kesegaran dan kebugaran. Dengan semangat yang sama kita masuki “Pekan Suci ini”. Kiranya juga juga mendambakan ketika berbicara juga dijiwai oleh rahmat dan kesetiaan Tuhan atau syukur dan terima kasih.



Berbicara dijiwai dengan syukur dan terima kasih merupakan perwujudan iman bahwa “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid”, sehingga apa yang kita katakan “dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu”, sebagaimana disabdakan oleh Yesus dalam perjalananNya menuju puncak Kalvari, puncak kayu salib: “Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! Sebab lihat, akan tiba masanya orang berkata: Berbahagialah perempuan mandul dan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, dan yang susunya tidak pernah menyusui. Maka orang akan mulai berkata kepada gunung-gunung: Runtuhlah menimpa kami! dan kepada bukit-bukit: Timbunilah kami! Sebab jikalau orang berbuat demikian dengan kayu hidup, apakah yang akan terjadi dengan kayu kering?"(Luk 23:28-31) . Dalam penderitaanNya Ia mampu menghibur dan memberdayakan mereka yang lesu. Mungkin kita tahu ada rekan-rekan atau saudara-saudari kita yang lesu dalam hidup beragama atau beriman, maka marilah kita dekati dan sapa mereka serta kita ajak mereka dengan rendah hati, syukur dan terima kasih untuk berpartisipasi memasuki ‘Pekan Suci’ ini. Biarlah mereka yang lesu akan segera dibangkitkan dan digairahkan, sehingga di malam Paskah dan selanjutnya kita bersama-sama menghayati iman dengan gairah dan gembira. Semoga kita tidak menoleh ke belakang dengan lesu, melainkan menatap masa depan dengan gairah dan gembira, meskipun kita melihat aneka tantangan dan hambatan yang menghadang dan harus kita hadapi.


“Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku!Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah” (Mzm 22:19-20.23)

Jakarta , 5 April 2009

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy