| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Minggu, 26 April 2009, Hari Minggu Paskah III


Pada suatu hari saya ditugasi untuk menangani kasus korupsi keuangan yang terjadi dalam salah satu Komisi Kerasulan Keuskupan, yang konon dilakukan oleh pegawai bendahara komisi yang bersangkutan. Kasus tersebut katanya sulit diselesaikan di dalam tingkar kantor sendiri, maka saya sebagai Ekonom Keuskupan dimintai bantuannya, katanya yang bersangkutan dituduh melakukan korupsi tidak mengakui perbuatannya. Dalam menangani kasus ini pertama-tama saya temui yang bersangkutan, yang dituduh korupsi, sebut saja namanya ‘Bu Inem’ (samaran). Setelah mendengarkan cerita dari yang bersangkutan, maka saya ajukan usulan: “Masalah ini ingin diselesaikan secara Gerejani/Katolik atau sipil/pemerintah?” . “Apa maksudnya Romo?”, tanggapan singkat dari Bu Inem. “Maksudnya: secara Gerejani/Katolik adalah siapapun yang melakukan kesalahan terbuka saja, langsung mengaku dan kemudian diampuni serta menyesal, tentu saja mewujudkan penyesalan dengan berusaha seoptimal mungkin memperbaharui diri dan mengembalikan apa yang telah diambil; sedangkan cara sipil atau pemerintah berarti seperti terjadi di pengadilan dimana saya harus mencari tahu dari orang-orang yang terkait dengan tugas anda, sebagai saksi dalam rangka mencari kebenaran”, demikian penjelasan saya. Sekilas cara Gerejani/Katolik nampak lebih mudah dan cepat tetapi kiranya sangat berat bagi yang bersangkutan untuk menjadi saksi kebenaran atas dirinya sendiri, sedangkan cara sipil atau pemerintah nampak sulit dan lebih lama serta mungkin melelahkan. Namun hemat saya jika orang lebih memilih cara Gerejani/Katolik lebih baik, tetapi sekali lagi mungkin berat dan mulia untuk dengan ksatria menjadi saksi kebenaran atas dirinya sendiri.


“ Kamu adalah saksi dari semuanya ini” (Luk 24:48)

Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus kita semua dipanggil untuk menjadi saksi dari semua yang kita hayati, lihat dan dengarkan, dan tentu saja pertama-tama dan terutama tentang ajaran-ajaran atau sabda-sabda serta cara hidup dan cara bertindak Yesus, antara lain “dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem” (Luk 24:47). Yerusalem adalah tempat/kota, idaman serta tempat kesibukan sehari-hari bagi para murid, dan bagi kita semua “Yerusalem” berarti tempat kerja/kantor atau tempat belajar kita setiap hari, dimana kita mengusahakan kebutuhan hidup masa kini maupun masa depan, demi diri sendiri maupun anggota keluarga dan sesama manusia. Di tempat-tempat itulah kita dipanggil menjadi saksi ‘pertobatan dan pengampunan’.

Bertobat kiranya dimulai dengan tobat batin dan kemudian diwujudkan kedalam tindakan konkret. “Tobat batin adalah satu penataan baru seluruh kehidupan, satu langkah balik, pertobatan kepada Allah dengan segenap hati, pelepasan dosa, berpaling dari yang jahat, yang dihubungkan dengan keengganan terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan. Sekaligus ia membawa kerinduan dan keputusan untuk mengubah kehidupan, serta harapan atas belas kasihan ilahi dan bantuan rahmat-Nya. Perubahan jiwa ini diiringi dengan kesedihan yang menyelamatkan dan kepiluan yang menyembuhkan, yang bapa-bapa Gereja namakan ‘animi cruciatus’ (kesedihan jiwa) , ‘compunctio cordis’ (penyesalan hati)” (Kamus Gereja Katolik no 1431). Dalam tradisi Gereja pertobatan ini secara konkret berupa “doa, matiraga dan memberi seedekah”.

Doa dan matiriga mungkin lebih bersifat pribadi, sedangkan ‘memberi sedekah’ lebih bersifat sosial. Tentu saja ‘memberi sedekah’ ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk karitatif, tetapi juga edukasionis atau formatif. Secara edukasionis atau formatif berarti mereka yang bertobat tumbuh-bekembang (satu langkah balik menjadi lebih baik) sebagai pribadi yang cerdas beriman. Mereka yang sedang bekerja menjadi semakin terampil dan cekatan dalam bekerja, yang sedang belajar menjadi semakin terampil dan cekatan dalam belajar, yang sedang mencinta semakin terampil dan cekatan dalam mencintai, dst.. Tempat kerja maupun belajar menjadi sarana pengembangan dan pertumbuhan diri menuju ke pemenuhan sebagai pribadi cerdas beriman, kita semakin mengenal dan akrab dengan Allah. .

“Inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah” (1Yoh 2:3-5a)

“Mengenal dan akrab dengan Allah” berarti tidak pernah berdusta melainkan senantiasa hidup dan bertindak dalam kebenaran, menuruti perintah-perintah Allah. Berdusta berarti dikuasai atau dirajai oleh setan atu iblis, dan dengan demikian merusak dan memporak-porandakan hidup bersama, sedangkan hidup dan bertindak dalam kebenaran berarti membangun dan memperkuat hidup bersama dalam kasih, sehingga semua orang hidup saling mengasihi dan mengampuni. Hidup dan berindak dalam kebenaran ini kiranya sedini mungkin dididikkan atau dibiasakan dalam diri anak-anak, entah di dalam keluarga atau sekolah, dan tentu saja harus disertai dengan teladan atau kesaksian hidup dan bertindak dari orangtua dan para guru/pendidik.

Hidup dan bertindak dalam kebenaran berarti juga hidup jujur. “Jujur adalah sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur- Balai Pustaka, Jakarta 1997, hal 17). Maka kepada mereka yang tidak jujur “sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan” (Kis 3:19 ). Ada rumor yang mengatakan bahwa ‘orang jujur akan hancur’, tentu saja yang hancur adalah kejahatan dan dosa-dosa dan mungkin tubuh kita, tetapi jiwa akan selamat dan damai sejahtera.

Berlatih atau membiasakan diri dalam hal kejujuran kiranya antara lain dapat kita usahakan dalam mengurus atau mengelola harta benda atau uang, apa-apa yang kelihatan dan disukai oleh banyak orang. Jika kita dapat jujur dalam mengelola harta benda atau uang kiranya kita akan memperoleh kemudahan atau jalan untuk jujur dalam hati dan jiwa, jujur terhadap diri sendir dan Tuhan. Maka berapapun jumlah harta benda atau uang yang kita miliki dan kuasai marilah kita urus atau kelola dengan jujur. Kejujuran dalam pengurusan atau pengelolaan harta benda atau uang ini, saya sangat terkesan pada apa yang dilakukan oleh Bapak Yustinus Kardinal Darmojuwono Pr alm. Ketika saya sebagai Ekonom KAS membongkar kamar almarhum, saya terkesan dengan ketertiban dan pengelolaan uang yang dilakukan Bapak Kardinal, antara lain semua pemasukan dan pengeluaran uang dicatat setiap hari, misalnya beaya cukur, beaya bayar jalan tol, beli obat nyamuk, penerimaan pension sebagai Uskup, dst.. Bahwa hal itu dikerjakan setiap hari nampak terlihat dalam tulisan tangan. Tanpa serah terima dari almarhum perihal keuangan, dalam waktu singkat saya dapat menyelesaikan harta benda dan uang yang ada untuk diteruskan kepada yang berhak. Marilah kita jujur apa-apa yang kelihatan agar lebih mudah untuk tumbuh berkembang jujur terhadap diri sendiri maupun Tuhan.



Ignatius Sumarya, SJ

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy