Hari Minggu Biasa XXXII
Renungan
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.”
Dua minggu sebelum ditahbiskan saya ditemui oleh pastor paroki saya dan menyampaikan usulan: “Setelah ditahbiskan nanti, mempersembahkan misa di gereja paroki (Wedi-Klaten) sambil syukuran ya”. “Kalau boleh saya misa perdana bersama umat di kapel stasi Gondang saja”, tanggapan dan permohonan saya. “Ya, tetapi renovasi kapel belum selesai”, jawaban pastor paroki. “Tidak apa-apa, seadanya saja” , jawaban saya. Dan memang akhirnya saya dimungkinkan untuk mempersembahkan misa kudus bersama umat pertama kali di kapel stasi. Umat wilayah dimana saya berasal, mendengar berita itu sangat gembira, dan saya dengan akhirnya umat wilayah kami selama satu minggu, dari pagi sampai sore bergotong royong untuk menyelesaikan renovasi kapel. Mayoritas umat wilayah asal kami adalah ‘buruh tukang batu’ dan selama seminggu mereka pamit tidak ‘kerja’ dulu untuk bergotong royong menyelesaikan renovasi kapel. Tidak ‘kerja’ seminggu berarti mereka tidak memperoleh imbalan jasa atau gaji selama seminggu; dan selama seminggu mereka mempersembahkan diri untuk renovasi kapel, dengan harapan pada hari “H”, misa perdana saya, siap atau layak pakai. Memperhatikan semuanya itu saya merasa bahwa umat wilayah tersebut bagaikan “janda yang memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Mrk 12:43-44)
Di dalam kehidupan menggereja kita kenal adanya ‘persembahan’ dan ‘kolekte’. Persembahan merupakan tradisi orang Yahudi, yang pada saat ini hidup di lingkungan jemaat Kristen Protestan, sepersepuluhan, yaitu mempersembahkan sepersepuluh (10%) dari penghasilan untuk kehidupan dan karya pelayanan Gereja. Sedangkan kolekte adalah sumbangan sukarela dalam ibadat, yang pada umumnya diadakan setelah kotbah atau homili. Orang kaya dengan penghasilan 10 (sepuluh) juta rupiah per bulan ketika mempersembahkan 10% berarti mempersembahkan 1(satu) juta rupiah, dengan demikian masih tersisa penghasilan sebesar 9(sembilan) juta rupiah. Sedangkan orang miskin, katakan berpenghasilan sesuai dengan UMR, misalnya 8 (delapan) ratus ribu rupiah per bulan, ketika ia mempersembahkan 8 (delapan) ratus ribu rupiah, maka tiada sedikitpun yang tersisa padanya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan. Secara nominal yang miskin lebih kecil daripada yang kaya dalam memberi persembahan, tetapi secara spiritual ia yang miskin mempersembahkan lebih besar daripada yang kaya, karena ia mempersembahkan seluruh nafkahnya.
Memberi dari kelimpahan berarti membuang sampah alias menjadikan si penerima atau yang lain ‘tempat sampah’, sedangkan memberi dari kekurangan itulah persembahan yang benar. Persembahan yang benar memang harus berkorban, ada pengorbanan. Harta benda gerejawi yang ada sampai saat ini merupakan persembahan umat Allah. Perolehan, pemilikan dan pengelolaan harta benda gerejawi memiliki tujuan-tujuan khas yaitu “mengatur ibadat ilahi, memberi penghidupan yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lainnya, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan” (KHK kan 1254). Dengan kata lain harta benda berasal dari umat Allah/umat beriman dan harus difungsikan untuk membina umat Allah/umat beriman agar semakin beriman atau mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Semakin beriman pada umumnya juga semakin banyak memberi persembahan, maka kami berharap kepada para pengelola harta benda gerejawi untuk sungguh memfungsikan harta benda tersebut untuk membina umat beriman seluruhnya, entah anak-anak, remaja, muda-mudi maupun orangtua yang berkedudukan atau berprofesi apapun. Semoga semakin kaya akan harta benda juga semakin beriman, dan dengan demikian semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui hidup sehari-hari, semakin sosial, semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesamanya.
“Kristus bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri untuk menghadap hadirat Allah guna kepentingan kita.Dan Ia bukan masuk untuk berulang-ulang mempersembahkan diri-Nya sendiri, sebagaimana Imam Besar setiap tahun masuk ke dalam tempat kudus dengan darah yang bukan darahnya sendiri” (Ibr 9:24-25)
Persembahan Yesus adalah di kayu salib, dimana Ia mempersembahkan diri seutuhnya: yang mempersembahkan sekaligus menjadi persembahan. Ia tidak mengorbankan atau mempersembahkan yang lain, tetapi dirinya sendiri. Sebagai orang-orang yang beriman kepadaNya kita dipanggil untuk meneladan Dia, antara lain tidak dengan mudah mengorbankan orang lain, lebih-lebih mereka yang miskin dan berkekurangan, yang pada umumnya menjadi korban aneka usaha pembangunan dan perkembangan. Sebagai orang Kristen atau Katolik, pengikut atau murid Yesus Kristus, kita dipanggil untuk meneladan Dia dalam berbuat baik atau bertindak sosial. Sebagai contoh: jika kita terlibat dalam gerakan sosial atau sukarela untuk membantu para korban bencana alam seperti gempa bumi atau banjir bandang, hendaknya pertama kali kita yang harus berani berkorban, entah memberi sumbangan dari sebagian harta benda atau uang kita atau tenaga kita.
Sosial berasal dari akar kata bahasa Latin sociare/socio yang dapat berarti: menyekutukan/menjadiikan sekutu, mengikat, mempertemukan, menggabungkan, menyatukan, menjadikan kepentingan bersama, membagikan dengan seseorang dll (lih: Drs.K.Print cm, Drs J.Adisubrata, WJS Porwadarminta: Kamus Bahasa Latin-Indonesia, Kanisus 1969, hal 798). Maka memberi persembahan atau sumbangan mengandung unsur tindakan-tindakan tersebut. Yang paling dekat atau memadai kiranya membagikan dengan seseorang, dan yang kita bagikan adalah harta benda atau milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Keutamaan mengorbankan atau mempersembahkan diri ini hendaknya dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dan tentu saja dengan contoh atau teladan dari orangtua atau bapak-ibu. Bukankah bapak-ibu atau orangtua memiliki pengalaman dalam saling mempersembahkan atau mengorbankan diri, yaitu dalam saling mengisihi, yang antara lain memuncak dalam hubungan seksual? Marilah kita meneladan sang janda ini, yang berkata dan menghayati apa yang ia katakan sendiri: “Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.”(1Raj 17:12). Yang ia berikan akhirnya tidak habis melainkan bertambah, demikian juga jika kita melakukan yang sama. Yang mungkin jelas akan bertambah adalah jika kita berbuat baik atau sosial, maka kita akan semakin baik dan sosial.
“Yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung,TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar.TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya.TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!” (Mzm 146:7-10)
Ignatius Sumarya, SJ
Bagikan