Jakarta, 10 Juni 2010.
Kepada keluarga-keluarga kristiani
Se-Keuskupan Agung Jakarta
di tempat
Salam damai dalam kasih Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosep.
Persatuan suami-isteri, persatuan orang tua-anak merupakan dasar bagi terbentuknya Gereja sebagai Umat Allah. Persatuan suami-isteri, persatuan orang tua-anak merupakan umat Allah dalam bentuknya yang paling kecil. Di dalam keluarga, seorang pribadi mempunyai pengalaman pertama tentang Gereja. Orang tua mulai menanamkan sejak dini kebiasaan-kebiasaan baik di dalam keluarga sebagai orang beriman kepada anak-anaknya. Dengan demikian, keluarga menjadi tempat dimana komunikasi iman terjadi. Imbauan Apostolik Bapa Suci Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, menegaskan,”…keluarga seperti halnya Gereja harus merupakan suatu tempat dimana Injil diteruskan dan darimana Injil bercahaya”.
Jadi, keluarga merupakan tempat dimana kabar gembira Injil harus diwartakan. Keluarga merupakan bentuk Gereja yang paling kecil tempat dimana anggota-anggotanya bertumbuh makin dewasa dalam beriman. Dari keluarga-keluarga dimana anggota-anggotanya bertumbuh dewasa dalam iman, kita bisa berharap bahwa kabar gembira Injil diteruskan. Di dalam keluarga orang tua mengkomunikasikan nilai-nilai kepada anak-anaknya seperti kasih, kesetiaan, kesederhanaan, pengampunan dan lain-lain.
Dengan kata lain, keluarga haruslah merupakan tempat dimana KOMUNIKASI IMAN terjadi. Mengenai hal ini, tentu saja tanggungjawab orang tua sangat penting. Komunikasi iman harus dimulai oleh orang tua. Dalam hal ini teladan dan contoh hidup orang tua sangat menentukan. Sebab KOMUNIKASI IMAN Harus diteruskan melalui perkataan dan perbuatan. Orang tua yang mengakhiri perkawinan dengan perceraian tentu saja sangat sulit untuk mengajari anak-anaknya mengenai nilai kesetiaan dalam perkawinan. Mereka yang terbiasa hidup mewah dan suka hidup dengan semangat boros, menjadi sangat sulit untuk mengajari anak-anaknya bagaimana hidup sederhana. Mereka yang sulit memberikan maaf menjadi sangat sukar untuk menanamkan pengampunan kepada anak-anaknya.
Sangat disayangkan sikap dan perilaku kita – orang tua, jika karena ketidakcocokan dan benturan pendapat yang bisa saja terjadi dalam hidup bersama kemudian meninggalkan gereja atau memilih mengikuti kegiatan di lingkungan Paroki lain. Bagaimana bisa mengajari anak untuk terlibat dalam kegiatan menggereja di lingkungan basis jika orang tua sendiri justeru memilih meninggalkan gereja basis karena rasa tidak cocok dengan sesama warga di lingkungan? Keluarga sebagai basis Gereja haruslah menjadi tempat dimana KOMUNIKASI IMAN terjadi dan bukan komunikasi karena cocok. Jika keluarga-keluarga menjadi tempat dimana KOMUNIKASI IMAN terjadi, maka kita bisa menaruh harapan besar, bahwa lingkungan-lingkungan, wilayah-wilayah, Paroki dan akhirnya Gereja kita menjadi tempat “darimana Injil bercahaya”. Setiap anggota lalu bertumbuh dan berkembang menjadi anak-anak Allah yang saling mendukung dalam pertumbuhan iman.
Barangkali kita kemudian bertanya: mengapa mesti membangun komunikasi iman? Bukankah hidup bersama yang biasanya terjadi dalam kehidupan manusia lebih-lebih dibangun atas dasar kecocokan atau paling kurang kesamaan dalam banyak hal? Menurut saya, persis disinilah letak perbedaan pokok yang manusiawi dan yang imani. Tentu saja sesuatu yang manusiawi jika saya cenderung dekat dengan siapa pun – yang dalam banyak hal memiliki kecocokan dan kesamaan. Kenyataan seperti itu sangat biasa. Sangat manusiawi.
Tetapi orang kristiani mesti bergerak dari komunikasi yang manusiawi ini kepada komunikasi yang imani. Disitu kita akan menghadapi bermacam-macam kenyataan dimana ada banyak sekali keanekaragaman di dalam kehidupan ini. Makin disadari bahwa suami berbeda dengan isteri. Orang tua berbeda dengan anak-anaknya. Keluarga yang satu berbeda dengan keluarga yang lain. KOMUNIKASI IMAN lalu mencerahi berbagai bentuk perbedaan itu dan berjuang bahkan kalau perlu berkorban untuk mengatasi ketidakcocokan atau ketidaksamaan yang ada.
Bentuk-bentuk kesakitan yang menimpa anggota di dalam keluarga seperti menyimpan kesalahan pasangan, kemarahan yang tak terkendali, kekecewaan yang mendalam, perasaan tidak tergantung satu sama lain, kecemasan yang tak perlu, terlalu mementingkan diri, yang tentu saja berpengaruh dalam membangun hubungan dengan orang lain dalam lingkup yang luas hanya bisa disembuhkan oleh satu kekuatan yaitu: IMAN. Iman yang menyelamatkan. Berbagai kisah penyembuhan di dalam Kitab Suci, berkali-kali menegaskan tentang hal ini. Kepada perempuan yang sakit pendarahan, Yesus berkata,”Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan Engkau…”(Mrk 5:34). Kepada si buta Bartimeus, Yesus berkata,”…imanmu telah menyelamatkan engkau…”(Mrk 10:52). Dan tentu saja masih banyak kisah dalam Kitab Suci yang menggambarkan kekuatan iman yang menyembuhkan. Iman berarti keyakinan, bahwa Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan, sebab hanya Dia saja yang sanggup “menjadikan segala-galanya baik” (Mrk 7:37).
Keluarga-keluarga kristiani di wilayah Keuskupan Agung Jakarta yang terkasih, semoga keluarga kita masing-masing menjadi komunitas dimana KOMUNIKASI IMAN terjadi. Suami-isteri dan anak-anak meletakkan dasar kebersamaan bukan pada kecocokan melainkan pada iman. Karena membangun kebersamaan karena iman, maka kita percaya bahwa Allah sendiri akan menjadikan setiap anggota di dalam keluarga menjadi baik pada saatnya. Sekali lagi, keluarga-keluarga yang kemudian membentuk lingkungan menjadi basis yang berkualitas jika membiasakan diri membangun KOMUNIKASI IMAN.
Sampai jumpa pada edisi mendatang.
Salam dalam nama Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yosep
Rm. Ignas Tari, MSF
Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta