Pesta Pembaptisan Tuhan
(Hari Minggu Biasa I)
Setelah Yesus dibaptis, terbukalah langit, dan Roh Kudus seperti burung merpati turun pada-Nya, serta terdengarlah suara Bapa, “Inilah Putera-Ku terkasih, pada-Nya Aku amat berkenan.”
Doa Renungan
U. Syukur kepada Allah.
Ref. Tuhan memberkati umat-Nya dengan damai sejahtera.
Ayat. (Mzm 29:1a.2.3ac-4.3b+9b-10; R:11b)
2. Suara Tuhan terdengar di atas air, suara Tuhan mengguruh di atas air yang besar. Suara Tuhan penuh kekuatan, suara Tuhan penuh semarak.
3. Allah yang mulia mengguntur. Di dalam bait-Nya setiap orang berseru, "Hormat!" Tuhan bersemayam di atas air bah, Tuhan bersemayam sebagai Raja untuk selama-lamanya.
U. Syukur kepada Allah.
Ref. Alleluya, alleluya
Ayat. (Mrk 9:6; 2/4)
Langit terbuka, dan terdengarlah suara Bapa, "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!"
Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.
U. Sabda-Mu adalah jalan, kebenaran, dan hidup kami.
Renungan
Kisah pembaptisan Yesus di Sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis, mengingatkan saya akan pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang guru agama Katolik, ketika saya duduk di bangku SMP. Saat itu guru kami bertanya: “Apakah dengan pembaptisan mau menyatakan bahwa sebenarnya Yesus pun memiliki dosa?”.
Saudara-saudara yang terkasih di dalam Kristus,
Upacara pembaptisan sendiri sudah berakar di dalam tradisi Yahudi. Ada tuntutan bahwa seseorang perlu membersihkan dirinya dari dosa dan kenajisan lewat suatu upacara permandian, sehingga ia dapat mengikuti suatu upacara agama (bdk. Im 15:5,8,10,13; 16:4). Inisiasi dengan upacara pembaptisan di kalangan Yahudi pada zaman Yesus antara lain sebagai pengenangan akan bangsa Yahudi yang melintasi Laut Merah. Gerakan Yohanes Pembaptis yang membaptis umat Yahudi, muncul dalam bingkai tersebut. Pembaptisan dilakukan dalam rangka pertobatan dan mempersiapkan orang dalam menghadapi “murka Allah yang akan datang” (Mat 3:4). Pertobatan melalui pembaptisan merupakan jalan keluar agar Allah mengampuni dosa.
Saudara-saudari yang dikasihi Allah.
Baik Yesus maupun Yohanes merupakan cerminan pribadi yang dengan kerendahatiannnya taat kepada Allah. Yohanes berusaha membiarkan dirinya menuruti (= sejajar) dengan kemauan Yesus. Ketakutan dan keraguan dalam dirinya bukan lagi menjadi halangan untuk melakukan perintah Yesus. Yesus sendiri memberi teladan bagaimana memenuhi kehendak Allah. Sangat berbeda dengan kaum Farisi yang menganggap dirinya istimewa dan tidak mau dibaptis oleh Yohanes pembaptis (bdk. Luk 7:30). Dengan dibaptis, maka Yesus melakukan kehendak Allah secara penuh. Ia tidak hanya bisa mengajar para pengikut-Nya, tetapi mampu menjadi figur Anak Allah sejati yang taat pada Bapa-Nya. Status sebagai anak Allah semata-mata muncul karena sikap penyerahan diri dan kepatuhan yang utuh pada kehendak Bapa. "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (Mat 3:17). Kepatuhan, ketaatan, sikap penyerahan diri dan akhirnya percaya pada kehendak Allah hanya mungkin terjadi kalau ada kerendahatian.
Peristiwa pembaptisan Yesus sekaligus juga mau mengingatkan kita akan makna baptis yang kita terima. Dengan baptis, manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali serupa sebagai anak-anak Allah serta digabungkan dengan Gereja setelah dijadikan serupa dengan Kristus oleh materai yang tak terhapuskan (bdk. Kan. 849). Unsur yang nampak di sini adalah bahwa kita juga disatukan dengan Kristus sebagai Anak Allah. Kristus telah tinggal dalam diri kita. Alhasil umat beriman pun mempunyai perutusan yang sama seperti Kristus di dunia. Setelah dibaptis, seperti Dia, kita diajak untuk “berjalan keliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis” (Kis 10:38). Kita menjadi Anak Allah sekaligus juga Hamba Allah. Melalui pembaptisan, Roh Allah dicurahkan kepada hati semua umat beriman “supaya ia menyatakan hukum-Nya kepada bangsa-bangsa” (Yes 42:1). Kita semua yang telah dibaptis akhirnya dipanggil untuk mewartakan keselamatan kepada semua orang. Baptisan memeteraikan seseorang untuk menjalani perutusannya sebagai pewarta Kerajaan Allah. Kesadaran menjalani hidup sebagai sebuah perutusan ilahi harus terus menerus bergema dalam hati semua orang beriman.
Oleh karena itu, sikap rendah hati harus menjadi sebuah disposisi batin yang terus menerus dimiliki oleh seorang Hamba Allah. Kerendahatian memampukan kita menjalankan tugas – tugas pelayanan yang dipercayakan pada kita secara sempurna. Kerendahatian membantu kia untuk senantiasa taat pada kehendak Allah yang bergema di dalam hati dan diri. Kerendahatian itu pulalah yang membuat kita memasrahkan segala daya upaya pada penyelanggaraan ilahi. Hamba Allah dalam konteks dewasa ini adalah setiap orang yang mengabdi tanpa pamrih, yang rela menjalankan tugas rutin sehari-hari tanpa merasa bosan. Semuanya semata-mata karena Allah yang berkehendak dan mengutus diri kita.
Salam,
Prasetyo H.Wicaksono