| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Minggu, 20 Februari 2011 :: Hari Minggu Biasa VII


“Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.

Ketika Paus Yohanes Paulus II telah sembuh dari sakit karena ditembak oleh seseorang, maka Yang Mulia segera mendatangi si penembak di penjara untuk mengampuni kesalahan dan dosa-dosanya. Apa yang dilakukan oleh Paus ini kiranya sesuai dengan sabda Yesus: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Memang untuk menghayati sabda Yesus ini pada masa kini sungguh merupakan tantangan dan berat, namun demikian marilah kita yang beriman kepada-Nya dengan rendah hati dan bekerjasama berusaha untuk saling mendoakan dan mengampuni terhadap siapapun dan dimanapun.

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:43-44)

Pada umumnya orang dengan mudah membalas dendam terhadap orang yang telah menyakitinya, dan balas dendamnya juga lebih berat dan hebat, sebagai contoh apa yang terjadi dengan kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok tertentu di negeri ini, antara lain sampai membunuh orang, membakar dan merusak fasilitas ibadat agama lain, dst.. Bahkan ada orang dirasani sedikit dengan mudah menjadi marah-marah dan geram berusaha mencari orang yang ‘ngrasani’, dan jika bertemu pasti akan dibalas dengan tindakan phisik yang menyakitkan. Saya melihat dan memperhatikan bahwa balas dendam ini sampai kini masih terjadi di tingkat akar rumput sampai dengan tingkat tinggi, di antara rakyat biasa sampai dengan pejabat tinggi/Negara.

Kita semua kiranya memiliki ‘musuh’, dan bohong jika mengatakan tidak memiliki ‘musuh’. Apa yang saya maksudkan dengan ‘musuh’ di sini adalah apa-apa saja yang tidak sesuai dengan selera pribadi atau tak berkenan di hati, entah itu orang, makanan atau minuman, binatang, tanaman, situasi, dst.. Bahkan juga ada orang yang memusuhi sinar matahari atau air hujan, antara lain selalu melindungi diri dari sinar matahari dengan aneka cara dan mengubah tanah resapan air hujan atau penampungan air hujan menjadi bangunan beton yang kokoh, tak tembus air. Dampak dari memusuhi ini adalah penderitaan umat manusia. Sebagai murid atau pengikut Yesus kita dipanggil untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang membenci atau menyakiti kita, maka marilah kita lihat dan kenangkan apa dan siapa saja yang memusuhi dan membenci kita, kemudian kita kasihi dan doakan.

Sebagai contoh sederhana dan umum adalah makanan dan cuaca. Hendaknya dalam hal makan berpedoman pada sehat dan tidak sehat, bukan enak dan tidak enak; dengan kata lain jika makanan sehat hendaknya disantap saja, meskipun tidak enak, kalau perlu langsung telan saja karena Tuhan telah menganugerahkan mesin pengolah makanan yang hebat dalam tubuh kita. Demikian juga dalam hal cuaca, hendaknya nikmati saja cuaca dingin atau panas untuk melatih kekebalan dan memperkembang-kan serta mengkokohkan anti-body dalam tubuh kita. Ingat dan sadari ketika ada wabah penyakit, kita sering menerima vaksin, yang tidak lain adalah ke dalam tubuh kita disuntikkan virus untuk memancing kekebalan tubuh. Memang virus-virus bertebaran di udara bebas, sehingga mereka yang tidak memiliki kekebalan tubuh yang memadai pasti akan jatuh sakit, sebaliknya pada orang yang memiliki kekeban tubuh pasti tak akan jatuh sakit. Maka bina dan perdalam kekebalan tubuh antara lain dengan menikmati cuaca apa adanya. Hemat saya ketika orang tidak menghadapi masalah dalam hal makan dan cuaca, maka dengan mudah ia menghayati sabda Yesus “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”, sebaliknya jika ada orang bermasalah dalam hal makanan dan cuaca, maka orang yang bersangkutan dengan mudah juga ‘membenci musuh’. Maka baiklah kita renungkan sapaan Paulus kepada umat di Korintus di bawah ini.

“Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu” (1Kor 3:16-17).

Masing-masing dari kita adalah bait Allah dan “Roh Allah diam di dalam dir kita masing-masing’. Karena Roh Allah ada di dalam diri kita masing-masing, maka dari cara hidup dan cara bertindak kita akan berbuahkan keutamaan-keutamaan seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.”(Gal 5:22-23). Keutamaan-keutamaan ini hendaknya menjadi senjata dalam rangka menghadapi musuh atau mereka yang menganiaya kita dalam bentuk apapun, dimanapun dan kapanpun. Mungkin baik kita renungkan perihal ‘penguasaan diri’, yang menurut hemat saya mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan dalam kehidupan bersama kita masa kini.

Jika kita dapat menguasai diri dengan baik, maka sikap kita terhadap orang lain pasti akan lemah lembut dan melayani, sebaliknya jika kita tak dapat menguasai diri, maka sikap terhadap orang lain pasti akan kasar, keras dan menindas. Untuk melatih penguasaan diri antara lain bertapa, matiraga atau lakutapa. Ada nasihat dari orangtua perihal ‘topo ing rame’ (= bertapa/lekutapa/matiraga dalam keramaian atau hiruk pikuk). Maksud nasihat ini antara lain berkonsentrasi dalam melaksanakan tugas pengutusan tertentu alias mempersembahkan diri seutuhnya kepada tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak tergoda untuk menyeleweng atau ‘selingkuh’. Misalnya sebagai pelajar sungguh belajar dan sebagai pekerja sungguh bekerja. Marilah penguasaan diri ini kita biasakan pada anak-anak kita di dalam keluarga dan kemudian diperdalam di sekolah-sekolah.

Kita juga diingatkan bahwa jika kita membinasakan manusia sebagai bait Allah berarti membenci Allah dan dengan demikian kita dengan sendirinya terhukum. Para pembunuh amatiran, bayaran maupun spontanitas kiranya dirinya merasa takut dan terancam terus menerus, tidak bebas merdeka bergaul dengan siapapun. Sebagai manusia, ciptaan Allah, gambar dan citra Allah, kita semua dipanggil untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi dalam keadaan apapun dan dimanapun. Bagi kita di Indonesia, marilah kita hayati sila kedua dari Pancasila, yaitu “Perikemanusiaan yang adil dan beradab”. Adil dan beradab bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan dan tak dapat dipisahkan. Orang beradab pasti bertindak adil, dan orang adil pada umumnya beradab. Keadilan yang paling mendasar hemat saya adalah ‘hormat pada atau menjunjung tinggi harkat martabat manusia’., dengan kata lain manusiawi. Jika kita hidup secara manusiawi kiranya akan berkembang dan bergerak ke ilahi atau spiritual, dan dengan demikian kita menghayati diri sebagai ‘bait Allah’ dan ‘Roh Kudus diam dalam diri kita’. Marilah kita hayati nasihat ini ; ”Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”( Im 19:17-18).

“Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat” (Mzm 103:1-4)

Jakarta, 20 Februari 2011


Rm Ign Sumarya, SJ

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy