KEUSKUPAN BOGOR
Saudara-saudari, Umat Keuskupan Bogor,
Salam dan berkat apostolik
Masa puasa 40 hari adalah kesempatan yang sangat baik dan saat penuh rahmat bagi kita semua. Kita diundang mengikuti perjalanan Tuhan Yesus dari Galilea menuju Yerusalem dan dalam iman menyaksikan drama kesengsaraan dan penyaliban-Nya, yang disusul dengan kebangkitan-Nya pada hari ketiga.
Gereja tak henti-hentinya mengajak seluruh umat beriman agar mereka sadar akan kejinya dosa dan akan perlunya pengampunan serta belas kasihan dari Allah. Oleh karena itulah masa puasa hendaknya menjadi kesempatan untuk bertobat dari dosa dan dari cara hidup yang tak berkenan pada Allah. Kita diajak membarui diri dan mengambil sikap beralih dari hidup lama ke hidup baru yang lebih berkenan pada Allah.
Masa tobat itu kita awali dengan penerimaan abu di kepala pada hari Rabu Abu. Penerimaan abu tersebut tak lain adalah ungkapan atau tanda lahiriah bahwa secara batin kita setuju dengan pertobatan dan siap membarui diri. Abu yang kita terima mengandung makna bahwa kita ini adalah manusia yang rapuh dan berdosa namun tetap disayangi oleh Allah. Belas kasihan Allah itu nampak dalam Putera-Nya Yesus yang rela menderita sengsara dan wafat di salib untuk menebus dosa kita dan membebaskan kita dari hukuman dan kematian kekal. Apa yang harus kita lakukan dalam rangka pembaharuan diri tersebut di atas?
Pertama , kita disadarkan kembali akan makna yang terkandung dalam pembaptisan. Gereja mempersiapkan pembaptisan bagi warga baru yang akan dibaptis pada malam Paskah dan mengajak umat agar mengingat kembali pembaptisan yang sudah mereka terima. Saat kita dibenamkan di dalam bejana permandian kita mati bersama Kristus dan keluar dari bejana kita bangkit bersama Dia. Sudah sepatutnyalah kita menyelaraskan hidup kita dengan hidup Kristus.
Kedua , masa puasa saat yang tepat untuk lebih serius menjadikan Allah arah hidup dan pusat berarti percaya, berharap, dan lebih bertaqwa kepadaNya. Dengan demikian, orang yang bertobat akan menjadi tanda berkat dan belas kasihan Allah. Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk kembali ke pangkuan-Nya bila sudah pergi jauh, untuk berbalik dan berdamai dengan-Nya dan dengan sesama. Kita mengikuti contoh Yesus yang juga berpuasa selama 40 hari. Ia tidak makan, tidak minum, berdoa, mati raga, dan berpantang demi memenuhi kehendak Allah Bapa-Nya.
Ketiga , agar supaya masa ber-rahmat ini menghasilkan buah untuk kehidupan rohani, Ibu Gereja menawarkan kepada kita bermacam-macam cara seperti praksis taqwa kepada Allah dan mengungkapkan kesediaannya untuk melaksanakan kasih melalui doa, olah tapa, dan memberi derma.
Injil Matius memberikan kita ajakan supaya jangan melakukan kewajiban agama agar dilihat orang dan bila memberi sedekah, lakukanlah itu dengan sembunyi-sembunyi dan diam-diam agar tidak dipuji orang. Dan bila berpuasa jangan bermuka muram, berpura-pura seperti orang munafik (bdk. Mat 6:1-4).
Berdoa adalah saat bertemu dengan Kristus yang pasti membawa kegembiraan, memperkaya hidup rohani dan membuat kita menjadi lebih serupa dengan Kristus. Hal itu diperoleh melalui askese (tahan diri) dan olah tapa. Doa yang benar adalah bukan untuk memuaskan diri sendiri, bukan pula untuk merayu-rayu Tuhan agar permohonan dikabulkan, melainkan memberi waktu untuk menyadarkan diri kita sendiri akan karya keselamatan Allah yang harus terlaksana dalam diri kita masing-masing. Orang yang rajin berdoa dan berdoa secara benar adalah orang yang mengakui bahwa Tuhan adalah Tuhan hidupnya dan ia menjadikan Allah itu pusat dan sumber. Kristus menghendaki hati yang terarah pada Tuhan, membangun diri dari dalam dan dari hati nurani. “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu.” (bdk. Yl 2:13).
Mengekang dan mengendalikan diri dari hal yang kita sukai tetapi yang sebenarnya bertentangan dengan kehendak Allah dan kebutuhan jiwa kita sendiri. Maka puasa berarti berorientasi dan berbalik kepada Kristus dan bertemu denganNya secara pribadi. Kita harus sadar juga bahwa hidup di dunia ini bukanlah tujuan akhir peziarahan ini. Perlu kita sadari bahwa pada suatu saat kita harus mati dan harus menghadapi pengadilan Allah untuk menerima ganjaran atau hukuman setimpal dengan amal bakti kita. Suatu saat kita menghadapi hari Yahwe, hari yang mungkin mengenaskan bagi yang tak siap. Allah datang menyadarkan manusia yang gagal namun yang tetap Ia kasihani. Paskah mengajak kita : “bangunlah kamu yang tidur dan bangkitlah dari maut”, dan Kristus akan bercahaya atasmu.
Melalui surat gembala ini saya ingin menyampaikan pula tiga hal yang patut menjadi perhatian kita, yaitu :
1. Tahun 2011 ini kita memperingati yubileum berdirinya hirarki, 50 tahun hirarki Gereja Indonesia, termasuk keuskupan kita. Kita patut berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan Gereja di Roma untuk membangun diri kita sendiri pada tanggal 11 Februari 1961. Kita patut bersyukur atas penyertaan Tuhan selama 50 tahun yang silam karena kita menyaksikan Gereja kita bertumbuh dan berkembang, namun kita pun juga mohon agar di hari-hari mendatang menjadi lebih baik.
2. Patut juga saya sampaikan hasil dan pesan SAGKI yang telah dikeluarkan melalui KWI antara lain kita diajak untuk giat mewartakan Kabar Sukacita dan menemukan cara-cara yang tepat melalui metode narasi, kisah dan tutur yang baik tentang Yesus kepada anak-anak dan umat kita. Kita diajak untuk menemukan wajah Yesus dalam tiga kenyataan hidup sehari-hari di bidang sosial budaya, sosial religius, dan sosial ekonomi.
Kita semua disadarkan tentang nilai-nilai budaya dan kearifan lokal serta diajak untuk menjunjung tinggi, memelihara, dan mengembangkannya untuk menghadapi budaya-budaya modern yang merusak kehidupan iman dan kehidupan lokal. Kasih persaudaraan, kebaikan dan kebenaran hendak kita bangun dalam keanekaragaman budaya kita.
Berdasarkan iman yang kita anuti, kita juga harus mampu menemukan nilai-nilai luhur dan injili yang terdapat dan dihayati oleh para penganut pelbagai agama. Kita diajak untuk hidup rukun dan berdamai dengan setiap orang. Gejala kemiskinan yang merebak, bencana-bencana alam yang kita hadapi telah pula menimpa banyak warga. Peristiwa-peristiwa itu harus mampu menggugah setiap pengikut Yesus agar menaruh kepedulian dan tidak menutup mata. Dalam masa Prapaskah ini kesampingkanlah teori-teori dan lakukanlah kegiatan nyata dalam menolong sesama yang susah dan sesama yang miskin. Melalui SAGKI 2010, semoga mata hati dan iman kita mampu melihat dalam diri orang miskin, menderita, dan putus asa sebagai “pewahyu” Wajah Yesus yang sedang menderita, yang berlumuran darah, yang menangis, yang tabah, haus dan lapar (bdk. Mat 25). Kita juga harus ikut berupaya untuk mengurangi kemiskinan dengan berbagai upaya pemberdayaan ekonomi serta melawan segala bentuk perampasan hak milik sesama dan korupsi yang sedang merajalela di negeri kita.
3. Seperti telah kami umumkan tahun yang lalu bahwa kita ingin memfokuskan perhatian pada tahun 2011 pada kaum muda kita sebagai Gereja masa depan. Kita diminta untuk lebih serius memperhatikan mereka dan memberikan pendampingan, agar mereka mampu menghadapi tantangan jaman ini dan beriman teguh pada Kristus yang telah dipilih.
Saudara-saudari yang terkasih,
Mengakhiri Surat Gembala ini saya ingin mengutip Nabi Yesaya : “Berpuasa yang Kukehendaki ialah agar engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya ..., supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya memberi dia pakaian!” (Yes 58:6-7).
Akhirnya, semoga Tuhan menyertai anda sekalian selama masa Retret Agung ini, dan Selamat Paskah.
Dikeluarkan di Bogor, 14 Februari 2011
Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM
Uskup Keuskupan Bogor