Minggu, 11 September 2011: Antara Kebersamaan, Dosa dan Pengampunan

Renungan

Pernahkah kita membayangkan, bagaimana Tembok Raksasa Cina dibangun oleh para Kaisar Cina? Pernahkah terpikir bagaimana menara Eiffel dibuat oleh Gustav Eiffel dan kapal raksasa Titanic yang dibiayai J.P. Morgan dibuat? Tidak usah jauh-jauh, pernahkah membayangkan candi-candi besar di Indonesia dibangun oleh leluhur kita? Sungguh itu semua merupakan prestasi besar yang pernah ditorehkan mereka dalam peradaban manusia. Namun dibalik prestasi besar itu, satu hal yang selalu menyertai, yaitu: kebersamaan. Tanpa kebersamaan, tidak ada candi Borobudur, tidak ada Tembok Raksasa di Cina dan karya-karya besar lainnya. Mereka bukan hanya meninggalkan menara Eiffel, Tembok Cina, Borobudur, tapi juga meninggalkan nilai dan makna sebuah kebersamaan dalam hidup bersama. Komponen pembentuk kebersamaan pastilah; saling bekerja sama, menghargai, saling percaya, kasih, pengorbanan, tidak mementingkan diri sendiri, tolong menolong, dll. Itulah isi seluruh kerangka bangunan yang namanya “kebersamaan”.

Romo Driyarkara SJ dalam bukunya yang berjudul “Pancasila dan Religi” halaman 12 menuliskan: “menurut srukturnya, ada kita itu baru ada bersama. Bahwa ada berarti ada bersama. Manusia tidak hanya meng-Aku tapi juga meng-Kita. Aku selalu memuat engkau. Hanya dengan dan dalam engkaulah, aku menjadi aku”. Kutipan ini semakin mempertegas bahwa secara eksistensial manusia mesti membangun kebersamaan dalam hidup dan jati diri semakin tampak dalam kebersamaan. Singkat kata, kebersamaan dalam hidup adalah sesuatu yang sangat fundamental.

Sejarah telah membuktikan bahwa kebersamaan pernah membuahkan prestasi yang luar biasa dalam peradaban manusia, Namun, pernahkah peradaban manusia hancur karena kebersamaan mulai pudar? Apakah yang bisa menghancurkan kebersamaan?
Dalam Kitab Putera Sirakh menengarai bahwa penghancur kebersamaan adalah dosa. “Dendam kesumat dan amarah sangatlah mengerikan, dan orang berdosalah yang dikuasainya” (Sir. 27:30). karena “Orang berdosa mengganggu orang-orang bersahabat, dan melontarkan permusuhan di antara orang-orang yang hidup damai” (28:9). Kutipan singkat ini membantu kita untuk melihat bahwa kebersamaan itu bisa pudar. Kebersamaan bisa hancur oleh amarah, dendam kesumat, permusuhan dan pertikaian. Dalam diri orang berdosalah komponen penghancur kebersamaan itu mencengkeramkan kuasanya. Sepanjang sejarah membuktikannya; perang saudara, perang suku, pertikaian antar kampung, antar perlajar antar kelompok etnis dan agama, menghancurkan keharmonisan hidup bersama. Dalam lingkup yang paling kecil, keluarga misalnya, pertengkaran, kebencian, amarah juga tak terhindarkan yang membuat kebersamaan dalam keluarga hancur.

Rasa kebersamaan yang hancur bisa dibangun, persaudaraan hidup bersama bisa dipulihkan bila ada pengampunan. Pengampunanlah yang menjadikan kehidupan bersama terus berlangsung dan membuahkan sukacita. Kembali Kitab Putera Sirakh menyampaikan, “ampunilah kesalahan sesama, niscaya dosamu juga akan dihapus juga jika engkau berdoa. Bagaimana gerangan orang dapat memohon penyembuhan pada Tuhan, jika menyimpan amarah kepada sesama manusia? Bolehkah ia mohon ampun atas dosa-dosanya, kalau ia sendiri tidak menaruh belaskasihan terhadap seorang manusia yang sama dengannya?” (Sir. 28:2-4). Bahkan Yesus kembali menegaskan pentingnya pengampunan dalam hidup bersama. Ketika Petrus bertanya: “Tuhan, sampai berapa kalikah aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali? Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali”. (Mat. 18:21-22). Jawaban Yesus menandaskan bahwa pengampunan harus sering kita berikan. Pengampunan itu tidak bersyarat. Pengampunan itu menyembuhkan.

Pengampunan yang demikian dasarnya adalah Allah sendiri, yang sudah mengampuni dan menyembuhkan kita. Kasih dan kesabaran Allah juga menjadi pendorong bagi kita betapa pentingnya tidak menghukum dan menghakimi kesalahan orang lain. Selain itu, kita harus mengampuni sesama, karena kita sadar bahwa kita adalah pengada yang ada bersama. St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengatakan: “tidak ada seorangpun diantara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, dan jika kita mati, kita mati bagi Tuhan.jadi entah hidup, entah mati, kita tetap milik Tuhan”(Rm. 14:7-8). Itulah makna hidup kita. Hidup kita milik Tuhan dan bukan milik kita sendiri. Jika hidup kita adalah milik Tuhan, dan Tuhan sebagai pemilik kehidupan bermurah hati memberi pengampunan, apa lagi yang mesti dibuat oleh kita yang adalah milik-Nya…mengampuni..mengampuni dan mengampuni.


Berkat Tuhan



Pastor Antonius Purwono, SCJ

terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy