| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Mangkir dan menolak Aku?

Minggu, 09 Oktober 2011
Hari Minggu Biasa XXVIII



Apakah yang terlintas di benak kita ketika mendengar pesta pernikahan? Tentu saja ada banyak hal yang terlintas. Misalnya: penerimaan sakramen perkawinan di gereja, resepsi pernikahan yang meriah, tamu undangan yang hadir dan aneka menu makanan yang tersaji. Suasana syukur, sukacita dan gembira melekat dalam situasi itu. Namun, di benak kita, pernahkah terlintas akan si empunya pesta pernikahan? Kedua mempelai, kedua orangtua mereka dan juga keluarga besarnya. Apa yang mereka rasakan? Apakah mereka, seperti yang kita bayangkan; bahagia, penuh sukacita? Tentu saja. Tapi, adakah warna lain dalam perasaan itu? Tentu saja juga ada. Bisa saja mereka gelisah oleh dana, apakah cukup atau tidak. Khawatir akan resepsi; berjalan lancar atau tidak, jangan-jangan dipertengahan resepsi, listrik mati. Was was akan menu, memberi kepuasan lidah para undangan atau sebaliknya, sepulang pesta para undangan sakit perut lantaran menu sudah basi. Kita bisa menambah litani kecemasan dan kekhawatiran si empunya pesta.

Tapi, menurut saya, yang seharusnya pantas menduduki tingkat kekhawatiran tertinggi adalah tamu undangan. Siapakah mereka sehingga perlu menguras rasa was was? Mereka adalah jawaban atas pertanyaan; kepada siapa si empunya pesta mohon doa restu. Untuk merekalah menu aneka rasa disajikan. Untuk mereka jualah, penyanyi dangdut atau campursari atau pop mempersembahkan suara emasnya. Sulit dibayangkan, apa jadinya kalau orang-orang yang diundang tidak ada satupun yang datang. Betapa kecewanya kedua mempelai, kedua orangtua dan keluarga besarnya. Lalu, untuk apakah resepsi meriah pernikahan diselenggarakan jika orang-orang yang diundang tidak datang? Tentu akan menyedihkan dan mengecewakan.

Bacaan-bacaan misa Minggu Biasa XXVIII Tahun A, juga berbicara tentang perjamuan nikah. Bahkan dalam bacaan Injil (Mat. 22: 1-14) Yesus mengumpamakan, Kerajaan Surga itu seperti seorang raja yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya. Ini kisah pesta pernikahan yang tragis dan menyedihkan. Undangan pertama disampaikan, tetapi yang diundang tidak mau datang. Undangan kedua juga disampaikan, bukan hanya tidak mau datang, tapi malah tidak dihiraukan, bahkan ada yang berlaku kasar: membunuh hamba yang disuruh menyampaikan undangan.

Tapi, si empunya pesta, tampaknya bukan tipe orang yang mudah putus asa. Dia berkata kepada hamba-hambanya: “perjamuan nikah telah tersedia, tetapi yang diundang tidak layak untuk itu. Sebab itu, pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan nikah ini”. (ay. 8-9). Para hamba pun melaksanakan tugas dengan baik. Masalahnya, ketika para tamu undangan sudah memenuhi ruang perjamuan, sang Raja melihat ada orang yang tidak berpakaian pesta, maka ia berkata: “Hai saudara, bagaimana saudara masuk ke mari tanpa mengenakan pakaian pesta?” tetapi orang itu diam saja. Maka raja berkata lagi: “ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap; di sanaakan ada ratap dan kertak gigi.” Sungguh, sebuah perjamuan nikah yang menyedihkan.

Kerajaan surga itu seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya. Pertama-tama yang perlu direnungkan adalah, suasana yang hendak ditawarkan Allah dalam kerajaan itu: suasana bahagia, sukacita, penuh persaudaraan. Situasi macam ini tercipta berkat relasi yang erat satu dengan yang lain dan dengan Allah sendiri. Kalau boleh segera disimpulkan, inilah situasi keselamatan. Situasi macam itu, atau keselamatan dengan segala isi dan bentuknya ditawarkan kepada manusia.

Karena sebuah tawaran, maka ada macam-macam sikap terhadap tawaran itu. Ada yang menolak, ada yang bukan hanya menolak, tapi malah berlaku arogan, dan ada yang menanggapi tapi tetap bermain dengan pikiran dan hatinya sendiri. Terhadap sikap manusia itu, Allah terus menawarkan keselamatannya. Apa sih yang keliru dari tawaran itu, sampai terjadi penolakan?

Nabi Yesaya pernah menyampaikan sabda Tuhan yang mengatakan; “rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, seperti tingginya langit dengan bumi, demikianlah jalanKu menjulang di atas jalanmu, dan rancangan-Ku di atas rancanganmu” (Yes 55:8-9). Allah memikirkan segala sesuatu dengan amat sempurna, sementara manusia yang penuh keterbatasan kesulitan untuk seiring sejalan dengan kehendak dan pikiran Allah. Rancangan Allah melampaui akal manusia.

Senyatanya, sukacita, kegembiraan, kedamaian Allah berbeda dengan sukacita, kegembiraan dan kedamaian manusia. Manusia dengan segala keterbatasannya cenderung menangkap itu semua secara dangkal. Manusia terpuaskan hanya dengan menikmati hal-hal yang dipermukaan. Hal-hal kecil, yang semestinya hanya luaran atau kulit saja, bisa menjadi perdebatan yang berujung pertengkaran. Sesuatu yang pokok, yang harusnya digali, malah tidak pernah disentuh. Budaya hidup zaman ini sudah mengarah ke sana diberbagai lini. Pendangkalan makna hidup menggejala pada masa ini.

Maka penolakan terhadap tawaran keselamatan Allah, bermuara pendangkalan makna hidup. Hal ini tercermin pada sikap tidak peduli, acuh tak acuh lantaran berbeda dengan selera pribadi. Melakukan segala sesuatu untuk mencari sukacita dan kegembiraan pribadi, bukan untuk sukacita dan kegembiraan bersama. Aku puas, apakah Allah juga puas dengan sikapku? Gak peduli.

Bila ini terjadi, Allah dalam gambaran si empunya perjamuan nikah, adalah pihak yang selalu tersakiti. Pihak yang selalu gagal merengkuh manusia untuk menikmati sukacita abadi. Sejatinya, menyakiti Allah dengan aneka sikap; penolakan, sikap tidak peduli dan acuh tak acuh dan lain sebagainya adalah tindakan menyakiti diri sendiri yang berujung pada kematian tanpa makna. Sampai kapankah kita menolak undangan Tuhan untuk menikmati keselamatan? Undangan Tuhan itu mewujud dalam perjamuan ekaristi, dalam persekutuan umat basis di keluarga, lingkungan, wilayah, dan paroki. Tuhan juga mengadakan perjamuan nikah dalam masyarakat yang membutuhkan solidaritas, dalam diri orang miskin dan tersingkir. Seberapa sering kita mangkir atas undangan itu? Dalam relung hati yang terdalam dan jujur akan dibisikan jawabannya

Salam dan berkat.


Pastor Antonius Purwono, SCJ

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy