Kisah kematiannya memang mengharukan. Nuansa cinta tidak hilang dengan adanya peti jenasah dan lagu-lagu duka. Sebelum meninggalkan dunia, ia bertunangan dengan seorang gadis yang baik sekali. Mereka telah berpacaran cukup lama. Segala persiapan pernikahan sudah dilakukannya. Tanggal pernikahan gereja telah ditentukan, tetapi terpaksa ditunda karena ia tiba-tiba tak berdaya dan hanya bisa berbaring di ranjangnya. Gadis pujaannya merawatnya dengan terus-menerus berpengharapan dan berdoa agar ia cepat pulih kembali seperti sediakala. Ia ingin menggandeng tangannya untuk menuju altar Tuhan tempat mereka akan mengikrarkan janji setia sampai akhir hayat. Bukannya kesembuhan yang didengarnya, tetapi kematiannya yang begitu cepat menghantam jiwanya. Keinginan untuk lebih lama merawatnya telah dihentikan oleh Sang Sumber Kehidupan. Deraian air matanya membasahi peti jenasahnya selama Misa untuk mengiringi jiwanya ke surga. Misa pun terasa menyedihkan. Aku menopangkan tanganku di atas kepalanya dan meletakkan tangannya di atas peti jenasah calon suaminya seperti memberkati pernikahan mereka. Hatinya terasa hampa, perih, dan pilu. Ia memandangku dengan air mata memenuhi pipinya : “Romo, calon suamiku telah pergi. Dia tak mungkin kembali. Mampukah aku melewati kepedihan dan kesunyian ini ?” Aku tak mampu mengatakan apa-apa selain menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti akan kehancuran hatinya. Ia kemudian menaburkan bunga sambil berkata: “Sayang, pergilah ke tempat kudus Tuhan dengan cintaku yang suci dan cintamu pun menemaniku sehingga aku tidak sepi menjalani hidup ini”. Kemudian ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Pengalaman cintanya membuka mataku terhadap mutiara cinta yang memantulkan cahaya kemurnian di antara krisis kasih yang sejati di dalam panggung kehidupan. Kehidupan ini seperti berada di kolam Bethesda, tempat berkumpulnya banyak luka. Mereka berada di Bethesda untuk mendapatkan anugerah penyembuhan dari Tuhan sesuai dengan arti namanya. Kata ‘Bethesda’ berasal dari bahasa Aram, yaitu ‘Beth’ yang berarti rumah dan ‘Hesda’ yang berarti anugerah. Bethesda berarti Rumah Anugerah. Kehilangan orang yang dicintai merupakan luka yang paling menyakitkan. Kehilangan bukan hanya karena kematian, tetapi karena diabaikan dan dilupakan. Luka-luka itu begitu parah sehingga yang menanggungnya tidak mampu berjalan menuju gelombang berkat Tuhan yang dikepakkan oleh malaikat-Nya. Berkat Tuhan itulah yang membuat hati masih memiliki sebutir sisa pengharapan. Kedatangan Tuhan Yesus di kolam Bethesda, di tengah-tengah luka, merupakan berkat yang paling istimewa. Luka itu mungkin sudah terlalu lama seperti seorang yang menderita sakit tiga puluh tahun dan terbaring di lantai. Tuhan Yesus datang dan menawarkan penyembuhan bagi hati yang terluka: “Maukah engkau sembuh?” (Yohanes 5:6). Kedatangan Tuhan sering tertutup dengan luka-luka yang menganga. Kedatangan Tuhan hanya dapat dilihat dengan kekudusan: “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Kekudusan berarti mau menyerahkan luka-luka kepada Tuhan. Menyerahkan luka-luka membuatnya bangkit dan berjalan ke arah Sang Pencipta. Jadikanlah luka sebagai pendorong kehidupan. Anggaplah luka-luka sebagai tabungan rohani untuk mengalami lebih banyak kehadiran Tuhan. Semoga anda dan hamba mampu menghadirkan penyembuhan Tuhan di kolam Bethesda yang nyata dan penuh luka, yaitu pada wajah-wajah keriput di panti werda, hati yang haus akan kasih di panti asuhan atau penitipan anak, dan mata yang menahan sakit di rumah sakit. Tuhan memberkati.