Selasa, 01 November 2011
Hari Raya Semua Orang Kudus
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”
Doa Renungan
Allah Bapa yang mahapengasih, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah mengangkat kami menjadi anak-anak-Mu. Bimbingan dan kasih-Mu senantiasa menyertai kami sehingga kami mampu mengikuti Yesus, Putra-Mu untuk melaksanakan sabda-Nya, dan kelak kami dapat memuji nama-Mu dan berbahagia bersama para kudus di surga. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami yang hidup dan berkuasa bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Renungan
Kiranya kita semua tahu atau kenal dengan Ibu Teresa dari Calcuta, entah melalui bacaan buku atau media cetak atau media elektronik. Ia adalah seorang biarawati yang tersentuh dan tergerak hatinya atas penderitaan jutaan manusia yang miskin dan berkekurangan serta kurang menerima perhatian; ia meninggalkan kemegahan biara dan sekolah yang diasuhnya dan kemudian ‘menggelandang’ di jalanan untuk menemani orang yang hampir mati atau sakit, bayi yang dibuang oleh yang melahirkannya, memberi makan apa adanya kepada mereka yang kelaparan dst.. Pribadi dan karyanya begitu memikat, mempesona dan menarik banyak orang, dan pada suatu saat diwawancari oleh seorang wartawan TIME. “Ibu menurut kata banyak orang ibu adalah orang suci atau santa yang masih hidup. Sebenarnya orang suci itu semacam apa ibu?”, demikian kurang lebih pertanyaan sang wartawan kepada Ibu Teresa. Dan dengan rendah hati dan mantap Ibu Teresa menjawab:”Orang suci itu bagaikan lobang kecil dimana orang dapat mengintip siapa itu Tuhan, siapa itu manusia dan apa itu harta benda”. Memang dari cara hidup dan cara bertindak ibu Teresa kita dapat mendalami kebenaran perihal ‘siapa Tuhan, siapa manusia dan apa harta benda’. Maka marilah pada Hari Raya Semua Orang Kudus hari ini kita mawas diri, entah dengan cermin ibu Teresa dari Calcuta, santo-santa pelindung kita masing-masing atau bacaan-bacaan hari ini. Perkenankan saya merefleksikan secara sederhana apa yang tertulis dalam Injil hari ini.
“Miskin di hadapan Allah” berarti menggantungkan atau mengandalkan diri sepenuhnya kepada Allah, menyadari dan menghayati bahwa hidup dan segala sesuatu yang kita miliki, kuasai dan nikmati sampai saat ini adalah anugerah Allah, cara hidup dan cara bertindaknya dikuasai atau dirajai oleh Allah sehingga hidup dan bertindak menurut kehendak Allah. Dalam keadaan atau kondisi dan situasi apapun orang yang ‘miskin di hadapan Allah’ senantiasa bergembira dan berbahagia, karena bersama dan bersatu dengan Allah, dan tidak takut menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan dalam penghayatan iman. Ia dapat menemukan Allah dalam segala sesuatu atau menghayati segala sesuatu dalam Allah.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” (Mat 5:4)
“Menemukan Allah dalam segala sesuatu atau menghayati segala sesuatu dalam Allah” memang butuh perjuangan dan pengorbanan alias siap sedia untuk berdukacita. Berdukacita berarti ada yang meninggal atau ditinggalkan, dan tentu saja dalam hal ini bukan orang, melainkan keinginan, nafsu, harapan atau dambaan pribadi yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.
Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.” (Yoh 16:20-21), demikian sabda Yesus. Marilah sabda Yesus ini kita renungkan, refleksikan dan hayati dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari.
Buah atau dampak ketahanan dan ketabahan dalam berdukacita atau penderitaan adalah lemah lembut, sabar dan tekun, tidak kasar dan tidak terburu-buru dalam menghadapi segala sesuatu. Yang bersangkutan juga hidup membumi, memperhatikan hal-hal sederhana dengan penuh cintakasih, ia mengerjakan hal-hal sederhana dan kecil dengan kasih yang besar. Kami percaya bahwa pada umumnya rekan-rekan perempuan atau para ibu lebih lemah lembut dari pada rekan-rekan laki-laki atau para bapak, maka kami berharap rekan-rekan perempuan atau para ibu dapat menjadi teladan dalam kelemah lembutan dalam hidup sehari-hari di dalam lingkungan hidup maupun lingkungan kerjanya, dan kepada rekan-rekan laki-laki atau para bapak hendaknya tidak malu-malu belajar lemah lembut juga dari rekan-rekan perempuan atau para ibu.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Mat 5:6).
Perkembangan dari lemah lembut adalah ‘lapar dan haus akan kebenaran’, yang bersangkutan sungguh membuka diri sepenuhnya terhadap aneka macam nasihat, saran, ajaran , informasi dst.. dalam rangka menemukan kebenaran. Kebenaran sejati antara lain adalah bahwa kita adalah orang-orang lemah, rapuh dan berdosa yang dikasihi dan dipanggil oleh Allah untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya. Maka yang bersangkutan sungguh menghayati diri sebagai yang diperhatikan, banyak orang memperhatikannya, dan dengan demikian ia sungguh dipuaskan dengan berbagai bentuk perhatian.
Orang yang menghayati diri sebagai yang diperhatikan banyak orang berarti kaya akan kemurahan hati, maka yang bersangkutan akan bermurah hati juga kepada orang lain atau siapapun juga. Murah hati berarti hatinya dijual murah alias siapapun boleh minta diperhatikan atau ia memperhatikan siapapun tanpa pandang bulu. Masing-masing dari kita kiranya telah menerima kemurahan hati Allah, terutama dan pertama-tama melalui orangtua kita masing-masing, khususnya ibu kita yang telah mengandung dan melahirkan serta membesarkan dan mengasuh kita dengan sepenuh hati. Maka selayaknya sebagai umat beriman kita saling bermurah hati atau memperhatikan.
Buah bermurah hati adalah suci atau “sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci” (1Yoh 3:2-3). Orang suci adalah “orang yang menaruh pengharapan kepadaNya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci”. Orang suci mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, sehingga semakin dikasihi oleh Allah dan sesamanya. Ia sungguh menjadi ‘kekasih Allah’
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9)
“Menjadi kekasih Allah” secara otomatis akan “membawa damai” dimana pun ia berada atau kemana pun ia pergi, terutama damai di hati. Bersama dan bergaul dengan ‘kekasih Allah’ akan terasa sejuk, damai dan tenteram serta aman. Perdamaian menjadi dambaan atau kerinduan semua orang, maka marilah kita sebagai orang beriman atau kekasih Allah senantiasa menjadi saksi atau teladan perdamaian serta menyebarluaskan perdamaian kepada siapapun dan dimanapun . “There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” (= Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan), demikian pesan Paus Paulus II memasuki millennium ketiga yang sedang kita jalani ini. Pembawa damai berarti senantiasa mengampuni siapapun yang telah menyalahi atau menyakitinya.
Memang ketika kita disalahi atau disakiti segera mengampuninya dan tidak balas dendam , kita akan merasa ‘teraniaya’. Baiklah jika demikian adanya marilah kita memandang dan menatap Dia yang tergantung di kayu salib. Untuk mewujudkan Kerajaan Allah/Sorga atau Allah yang meraja di dunia ini memang harus melalui penderitaan bahkan sampai wafat di kayu salib. Teraniaya atau menderita karena kebenaran adalah jalan keselamatan atau kebahagiaan sejati, maka nikmati saja apa adanya.
“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat 5:11)
“Tibo kebrukan ondho” = Jatuh tertimpa tangga, demikian kata pepatah Jawa. Ada kemungkinan dalam keadaan teraniaya dan menderita karena kebenaran kita masih dicela dan difitnah. Sekali lagi nikmati dan hayati aneka celaan dan fitnahan dalam dan bersama Tuhan, meneladan Yesus, Penyelamat Dunia, yang telah mengalaminya.
“TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai. "Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?" "Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan” (Mzm 24:1-4b)
Hari Raya Semua Orang Kudus
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”
Doa Renungan
Allah Bapa yang mahapengasih, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah mengangkat kami menjadi anak-anak-Mu. Bimbingan dan kasih-Mu senantiasa menyertai kami sehingga kami mampu mengikuti Yesus, Putra-Mu untuk melaksanakan sabda-Nya, dan kelak kami dapat memuji nama-Mu dan berbahagia bersama para kudus di surga. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami yang hidup dan berkuasa bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Renungan
Kiranya kita semua tahu atau kenal dengan Ibu Teresa dari Calcuta, entah melalui bacaan buku atau media cetak atau media elektronik. Ia adalah seorang biarawati yang tersentuh dan tergerak hatinya atas penderitaan jutaan manusia yang miskin dan berkekurangan serta kurang menerima perhatian; ia meninggalkan kemegahan biara dan sekolah yang diasuhnya dan kemudian ‘menggelandang’ di jalanan untuk menemani orang yang hampir mati atau sakit, bayi yang dibuang oleh yang melahirkannya, memberi makan apa adanya kepada mereka yang kelaparan dst.. Pribadi dan karyanya begitu memikat, mempesona dan menarik banyak orang, dan pada suatu saat diwawancari oleh seorang wartawan TIME. “Ibu menurut kata banyak orang ibu adalah orang suci atau santa yang masih hidup. Sebenarnya orang suci itu semacam apa ibu?”, demikian kurang lebih pertanyaan sang wartawan kepada Ibu Teresa. Dan dengan rendah hati dan mantap Ibu Teresa menjawab:”Orang suci itu bagaikan lobang kecil dimana orang dapat mengintip siapa itu Tuhan, siapa itu manusia dan apa itu harta benda”. Memang dari cara hidup dan cara bertindak ibu Teresa kita dapat mendalami kebenaran perihal ‘siapa Tuhan, siapa manusia dan apa harta benda’. Maka marilah pada Hari Raya Semua Orang Kudus hari ini kita mawas diri, entah dengan cermin ibu Teresa dari Calcuta, santo-santa pelindung kita masing-masing atau bacaan-bacaan hari ini. Perkenankan saya merefleksikan secara sederhana apa yang tertulis dalam Injil hari ini.
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:3)
“Miskin di hadapan Allah” berarti menggantungkan atau mengandalkan diri sepenuhnya kepada Allah, menyadari dan menghayati bahwa hidup dan segala sesuatu yang kita miliki, kuasai dan nikmati sampai saat ini adalah anugerah Allah, cara hidup dan cara bertindaknya dikuasai atau dirajai oleh Allah sehingga hidup dan bertindak menurut kehendak Allah. Dalam keadaan atau kondisi dan situasi apapun orang yang ‘miskin di hadapan Allah’ senantiasa bergembira dan berbahagia, karena bersama dan bersatu dengan Allah, dan tidak takut menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan dalam penghayatan iman. Ia dapat menemukan Allah dalam segala sesuatu atau menghayati segala sesuatu dalam Allah.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” (Mat 5:4)
“Menemukan Allah dalam segala sesuatu atau menghayati segala sesuatu dalam Allah” memang butuh perjuangan dan pengorbanan alias siap sedia untuk berdukacita. Berdukacita berarti ada yang meninggal atau ditinggalkan, dan tentu saja dalam hal ini bukan orang, melainkan keinginan, nafsu, harapan atau dambaan pribadi yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.
Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.” (Yoh 16:20-21), demikian sabda Yesus. Marilah sabda Yesus ini kita renungkan, refleksikan dan hayati dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” (Mat 5:5)
Buah atau dampak ketahanan dan ketabahan dalam berdukacita atau penderitaan adalah lemah lembut, sabar dan tekun, tidak kasar dan tidak terburu-buru dalam menghadapi segala sesuatu. Yang bersangkutan juga hidup membumi, memperhatikan hal-hal sederhana dengan penuh cintakasih, ia mengerjakan hal-hal sederhana dan kecil dengan kasih yang besar. Kami percaya bahwa pada umumnya rekan-rekan perempuan atau para ibu lebih lemah lembut dari pada rekan-rekan laki-laki atau para bapak, maka kami berharap rekan-rekan perempuan atau para ibu dapat menjadi teladan dalam kelemah lembutan dalam hidup sehari-hari di dalam lingkungan hidup maupun lingkungan kerjanya, dan kepada rekan-rekan laki-laki atau para bapak hendaknya tidak malu-malu belajar lemah lembut juga dari rekan-rekan perempuan atau para ibu.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Mat 5:6).
Perkembangan dari lemah lembut adalah ‘lapar dan haus akan kebenaran’, yang bersangkutan sungguh membuka diri sepenuhnya terhadap aneka macam nasihat, saran, ajaran , informasi dst.. dalam rangka menemukan kebenaran. Kebenaran sejati antara lain adalah bahwa kita adalah orang-orang lemah, rapuh dan berdosa yang dikasihi dan dipanggil oleh Allah untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya. Maka yang bersangkutan sungguh menghayati diri sebagai yang diperhatikan, banyak orang memperhatikannya, dan dengan demikian ia sungguh dipuaskan dengan berbagai bentuk perhatian.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat 5:7)
Orang yang menghayati diri sebagai yang diperhatikan banyak orang berarti kaya akan kemurahan hati, maka yang bersangkutan akan bermurah hati juga kepada orang lain atau siapapun juga. Murah hati berarti hatinya dijual murah alias siapapun boleh minta diperhatikan atau ia memperhatikan siapapun tanpa pandang bulu. Masing-masing dari kita kiranya telah menerima kemurahan hati Allah, terutama dan pertama-tama melalui orangtua kita masing-masing, khususnya ibu kita yang telah mengandung dan melahirkan serta membesarkan dan mengasuh kita dengan sepenuh hati. Maka selayaknya sebagai umat beriman kita saling bermurah hati atau memperhatikan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” (Mat 5:8)
Buah bermurah hati adalah suci atau “sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci” (1Yoh 3:2-3). Orang suci adalah “orang yang menaruh pengharapan kepadaNya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci”. Orang suci mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, sehingga semakin dikasihi oleh Allah dan sesamanya. Ia sungguh menjadi ‘kekasih Allah’
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9)
“Menjadi kekasih Allah” secara otomatis akan “membawa damai” dimana pun ia berada atau kemana pun ia pergi, terutama damai di hati. Bersama dan bergaul dengan ‘kekasih Allah’ akan terasa sejuk, damai dan tenteram serta aman. Perdamaian menjadi dambaan atau kerinduan semua orang, maka marilah kita sebagai orang beriman atau kekasih Allah senantiasa menjadi saksi atau teladan perdamaian serta menyebarluaskan perdamaian kepada siapapun dan dimanapun . “There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” (= Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan), demikian pesan Paus Paulus II memasuki millennium ketiga yang sedang kita jalani ini. Pembawa damai berarti senantiasa mengampuni siapapun yang telah menyalahi atau menyakitinya.
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:10)
Memang ketika kita disalahi atau disakiti segera mengampuninya dan tidak balas dendam , kita akan merasa ‘teraniaya’. Baiklah jika demikian adanya marilah kita memandang dan menatap Dia yang tergantung di kayu salib. Untuk mewujudkan Kerajaan Allah/Sorga atau Allah yang meraja di dunia ini memang harus melalui penderitaan bahkan sampai wafat di kayu salib. Teraniaya atau menderita karena kebenaran adalah jalan keselamatan atau kebahagiaan sejati, maka nikmati saja apa adanya.
“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat 5:11)
“Tibo kebrukan ondho” = Jatuh tertimpa tangga, demikian kata pepatah Jawa. Ada kemungkinan dalam keadaan teraniaya dan menderita karena kebenaran kita masih dicela dan difitnah. Sekali lagi nikmati dan hayati aneka celaan dan fitnahan dalam dan bersama Tuhan, meneladan Yesus, Penyelamat Dunia, yang telah mengalaminya.
“TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai. "Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?" "Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan” (Mzm 24:1-4b)
Ign Sumarya, SJ - 1 November 2011
BACALAH: http://forkatwg.blogspot.com/2011/10/menggapai-kekudusan.html