“Janganlah kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadarlah!” (ay. 6). Itulah yang disampaikan Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Tesalonika. Pernyataan Paulus tersebut bermula pada kesadarannya bahwa jemaat sudah mengetahui bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam (ay. 2). Sungguh menggembirakan bahwa Paulus tahu, jemaat Tesalonika adalah anak-anak terang yang tidak hidup dalam kegelapan, sehingga hari Tuhan tidak datang seperti pencuri (ay. 4-5). Permenungan Paulus ini akan membingkai cara kita merefleksikan pesan bacaan pertama dan bacaan Injil dalam perayaan Ekaristi minggu ke XXXIII ini.
Bacaan Injil hari Minggu Biasa XXXIII tahun A, berbicara tentang kerajaan surga seumpama seseorang yang mau pergi ke luar negeri. Ia memanggil hamba-hambanya serta mempercayakan hartanya kepada para hamba itu. Harta yang dipercayakan itulah yang disebutnya talenta. Ada kepercayaan, ada tanggung jawab. Siempunya harta mempercayakan hartanya, si hamba bertanggungjawab terhadap harta yang dipercayakan kepadanya. Yang menarik adalah bahwa dia mempercayakan hartanya kepada hamba-hamba menurut kesanggupannya. Dalam hal ini, Si empunya harta tidak berlaku sewenang-wenang, atau main paksa. Tentu kalau dikembangkan atau difantasikan ceritanya, ada dialog sangat menarik soal kesanggupan masing-masing hamba. Namun yang pasti, ada hamba yang sanggup menerima lima talenta, ada yang dua talenta dan ada yang sanggup menerima satu talenta.
Dalam perjalanan waktu, dua hamba mampu bertanggungjawab, sedangkan satu hamba tidak bertanggungjawab. Hamba yang menerima lima talenta mengembangkannya, sehingga beroleh laba lima talenta. Demikian juga hamba yang menerima dua talenta, ia mampu mengembangkan, sehingga memiliki laba dua talenta. Sementara hamba yang menyatakan kesanggupannya untuk menerima satu talenta, tidak mengembangkannya tapi justru menyembunyikan. Sehingga talentanya tidak berlaba apa-apa. Tentu ini tidak ada kaitannya dengan soal strategi marketing. Kalau ada yang mau menafsirkan demikian, bisa saja, sebagai kekayaan atas permenungan. Namun yang mesti dilihat adalah soal tanggungjawab terhadap talenta yang diberikan. Bahwa masing-masing hamba sudah menyatakan kesanggupan untuk menerima talentanya, namun ada hamba yang ingkar akan kesanggupan itu. Sebagai konsekwensi, kita tahu, tuannya marah: “Hai kamu! hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu bahwa aku menuai di tempat dimana aku tidak menabur dan memungut dari tempat dimana aku tidak menanam?” (Mat. 5:26). Hamba tersebut mendapat hukuman dengan dicampakan kedalam kegelapan yang paling gelap. (Mat. 5:30).
Dalam bacaan pertama, yang diambil dari kitab Amsal, dikisahkan tentang istri yang cakap. Kecakapannya ditunjukkan dengan beberapa tindakannya: berbuat baik kepada suami, ia mencari bulu domba dan rami, senang bekerja dengan tangannya. Tangannya ditaruh pada jentera dan jari jemarinya memegang alat pemintal. Kecuali itu, istri yang cakap juga memiliki kualitas solidaritas yang baik. Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin. Ia paham bahwa kemolekan adalah bohong, kecantikan adalah sia-sia, karena lebih indahlah kecantikan hati daripada kecantikan fisik. Bukanlah kemolekan, kecantikan itu berbanding seiring dengan usia; semakin lama semakin pudar. Sementara kecantikan hati, bila terus diolah, semakin tua menjadi semakin luar biasa kemolekan hatinya.
Jika Paulus mengungkapkan, bahwa kita adalah anak-anak terang dan sikap yang selalu dikembangkan adalah berjaga-jaga dan selalu sadar; maka bacaan Injil yang bercerita tentang Talenta, adalah bentuk sikap berjaga-jaga dan sadar. Sementara bacaan pertama yang bercerita tentang istri yang cakap dengan segala kualifikasinya adalah contoh nyata orang yang mengembangkan talenta. Bahwa mengembangkan talenta berarti mengembangkan kualitas diri, yang bermakna, bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga orang lain.
Bila diterapkan dalam kehidupan, kita juga akan mengamini ajakan Paulus untuk berjaga-jaga dan sadar. Sadar bahwa hari Tuhan akan datang pada kita, karenanya perlu berjaga-jaga. Berjaga-jaga berarti melaksanakan kesanggupan untuk mengembangkan talenta. Karena sejatinya, hari Tuhan adalah saat Tuhan menanyakan tanggungjawab seseorang atas kesanggupannya menerima talenta. Talenta yang paling berharga adalah kehidupan kita. Tuhan telah menganugerahkan hidup, maka hidup juga mesti dihayati sesuai dengan maksud Sang Pencipta.
Dalam latihan rohani St. Ignatius, tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah, dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Maka mari bertanggungjawab atas kehidupan ini. Wujud dan bentuknya bisa beraneka ragam. Isteri yang cakap, sebagaimana di gambarkan dalam Kitab Amsal, bisa menjadi acuan. Ia adalah model orang beriman yang sungguh bertanggung jawab atas talenta yang diberikan. Kualitas dirinya tampak dalam; kerja keras dan kerajinannya dalam bekerja. Usahanya untuk selalu berbuat baik dan menghindari kejahatan. Hatinya akan selalu terusik melihat penindasan dan kemiskinan, dan bergegas mengulurkan pertolongan. Dengan demikian, talentanya sungguh berkembang berlipat-lipat. Maka tidak diragukan lagi, sosok yang demikian adalah sosok yang sesuai dengan maksud ia diciptakan, yakni: memuji,menghormati kemuliaan Tuhan. Dengannya, keselamatan dekat padanya. Bagaimana dengan kita?
Salam dan berkat.
Pastor Antonius Purwono, SCJ
Bacaan Injil hari Minggu Biasa XXXIII tahun A, berbicara tentang kerajaan surga seumpama seseorang yang mau pergi ke luar negeri. Ia memanggil hamba-hambanya serta mempercayakan hartanya kepada para hamba itu. Harta yang dipercayakan itulah yang disebutnya talenta. Ada kepercayaan, ada tanggung jawab. Siempunya harta mempercayakan hartanya, si hamba bertanggungjawab terhadap harta yang dipercayakan kepadanya. Yang menarik adalah bahwa dia mempercayakan hartanya kepada hamba-hamba menurut kesanggupannya. Dalam hal ini, Si empunya harta tidak berlaku sewenang-wenang, atau main paksa. Tentu kalau dikembangkan atau difantasikan ceritanya, ada dialog sangat menarik soal kesanggupan masing-masing hamba. Namun yang pasti, ada hamba yang sanggup menerima lima talenta, ada yang dua talenta dan ada yang sanggup menerima satu talenta.
Dalam perjalanan waktu, dua hamba mampu bertanggungjawab, sedangkan satu hamba tidak bertanggungjawab. Hamba yang menerima lima talenta mengembangkannya, sehingga beroleh laba lima talenta. Demikian juga hamba yang menerima dua talenta, ia mampu mengembangkan, sehingga memiliki laba dua talenta. Sementara hamba yang menyatakan kesanggupannya untuk menerima satu talenta, tidak mengembangkannya tapi justru menyembunyikan. Sehingga talentanya tidak berlaba apa-apa. Tentu ini tidak ada kaitannya dengan soal strategi marketing. Kalau ada yang mau menafsirkan demikian, bisa saja, sebagai kekayaan atas permenungan. Namun yang mesti dilihat adalah soal tanggungjawab terhadap talenta yang diberikan. Bahwa masing-masing hamba sudah menyatakan kesanggupan untuk menerima talentanya, namun ada hamba yang ingkar akan kesanggupan itu. Sebagai konsekwensi, kita tahu, tuannya marah: “Hai kamu! hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu bahwa aku menuai di tempat dimana aku tidak menabur dan memungut dari tempat dimana aku tidak menanam?” (Mat. 5:26). Hamba tersebut mendapat hukuman dengan dicampakan kedalam kegelapan yang paling gelap. (Mat. 5:30).
Dalam bacaan pertama, yang diambil dari kitab Amsal, dikisahkan tentang istri yang cakap. Kecakapannya ditunjukkan dengan beberapa tindakannya: berbuat baik kepada suami, ia mencari bulu domba dan rami, senang bekerja dengan tangannya. Tangannya ditaruh pada jentera dan jari jemarinya memegang alat pemintal. Kecuali itu, istri yang cakap juga memiliki kualitas solidaritas yang baik. Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin. Ia paham bahwa kemolekan adalah bohong, kecantikan adalah sia-sia, karena lebih indahlah kecantikan hati daripada kecantikan fisik. Bukanlah kemolekan, kecantikan itu berbanding seiring dengan usia; semakin lama semakin pudar. Sementara kecantikan hati, bila terus diolah, semakin tua menjadi semakin luar biasa kemolekan hatinya.
Jika Paulus mengungkapkan, bahwa kita adalah anak-anak terang dan sikap yang selalu dikembangkan adalah berjaga-jaga dan selalu sadar; maka bacaan Injil yang bercerita tentang Talenta, adalah bentuk sikap berjaga-jaga dan sadar. Sementara bacaan pertama yang bercerita tentang istri yang cakap dengan segala kualifikasinya adalah contoh nyata orang yang mengembangkan talenta. Bahwa mengembangkan talenta berarti mengembangkan kualitas diri, yang bermakna, bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga orang lain.
Bila diterapkan dalam kehidupan, kita juga akan mengamini ajakan Paulus untuk berjaga-jaga dan sadar. Sadar bahwa hari Tuhan akan datang pada kita, karenanya perlu berjaga-jaga. Berjaga-jaga berarti melaksanakan kesanggupan untuk mengembangkan talenta. Karena sejatinya, hari Tuhan adalah saat Tuhan menanyakan tanggungjawab seseorang atas kesanggupannya menerima talenta. Talenta yang paling berharga adalah kehidupan kita. Tuhan telah menganugerahkan hidup, maka hidup juga mesti dihayati sesuai dengan maksud Sang Pencipta.
Dalam latihan rohani St. Ignatius, tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah, dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Maka mari bertanggungjawab atas kehidupan ini. Wujud dan bentuknya bisa beraneka ragam. Isteri yang cakap, sebagaimana di gambarkan dalam Kitab Amsal, bisa menjadi acuan. Ia adalah model orang beriman yang sungguh bertanggung jawab atas talenta yang diberikan. Kualitas dirinya tampak dalam; kerja keras dan kerajinannya dalam bekerja. Usahanya untuk selalu berbuat baik dan menghindari kejahatan. Hatinya akan selalu terusik melihat penindasan dan kemiskinan, dan bergegas mengulurkan pertolongan. Dengan demikian, talentanya sungguh berkembang berlipat-lipat. Maka tidak diragukan lagi, sosok yang demikian adalah sosok yang sesuai dengan maksud ia diciptakan, yakni: memuji,menghormati kemuliaan Tuhan. Dengannya, keselamatan dekat padanya. Bagaimana dengan kita?
Salam dan berkat.
Pastor Antonius Purwono, SCJ