Renungan Natal: Sinar di Ujung Lorong

Sinar di Ujung Lorong


(Kompas.com, 24 Desember 2011) Lorong itu panjang, sempit, dan gelap. Masuk ke dalamnya mirip pengalaman naik kereta api petang hari dari Gambir menuju Bandung, dengan lampu mati dalam gerbong.

Ketika masuk terowongan Sasaksaat, kegelapan mencekam. Anak-anak menjerit, penumpang putus asa karena tak ada pemimpin perjalanan yang menunjukkan muka. Situasi serupa terjadi pada negara yang sudah hampir berusia 70 tahun ini, tetapi tak juga menyediakan masa depan cerah. Serba gelap. Tiada tokoh bangsa yang mengemuka. Pertanyaan yang muncul: "Siapakah yang membawa sinar di ujung lorong?"

Bayangkanlah suatu daerah primitif dan terbelakang yang kekurangan air di musim panas dan kebanjiran di musim hujan, sementara seluruh bangsa tidak merasa terpanggil mengatasi kuasa alam. Baru setelah bisa menggunakan akal budinya, manusia membendung sungai untuk menjaga ketersediaan air dan mengendalikannya agar tidak banjir. Bangsa yang lebih maju bisa mengadakan hujan buatan demi kesuburan tanah.

Kita masih tinggal di lorong sempit dan panjang, kekurangan sinar untuk mencerahkan akal budi sehingga mampu bekerja sama dengan alam untuk kesejahteraan bersama. Kita serakah menebangi hutan dan menghancurkan masa depan Nusantara.

Betapa republik ini haus akan pemimpin-pemimpin yang maju pikirannya dan masak mentalnya untuk melakukan apa pun demi kebaikan bersama. Pelita yang dinyalakan melalui Mukadimah UUD 1945 telah lama padam.

Waktu proklamasi kemerdekaan, kita memimpikan suatu bangsa yang maju kebudayaannya. Namun, hingga beberapa puluh tahun bangsa kita terpuruk di lorong panjang dan gelap. Udara pengap oleh asap rokok tanpa pengaturan karena ayatnya hilang dari UU yang dibicarakan dengan susah payah dan makan biaya. Orang sulit berjalan karena lalu lintas tidak hanya padat tanpa disiplin, tetapi juga dirusak justru oleh mereka yang wajib menjaga kelancaran perjalanan.

Kampung, pedesaan, dan perkotaan diganggu oleh banyak petugas yang mengajari penduduk mengambil bagian dalam korupsi sejak kecil sampai dimakamkan. Sekelompok politisi yang berjulukan ”wakil rakyat”, anggota badan eksekutif ataupun yudikatif menyerahkan diri kepada cara menyelenggarakan negara yang sarat dengan sangkaan korupsi.

Bahkan, dengan pelbagai dalih urusan keyakinan dan agama, semua dibiarkan tunduk terhadap nafsu kekuasaan dan hasrat egoistis kelompok penuh kekerasan sehingga menjarah dan membunuh pun dihalalkan.

Dalam lorong seperti ini ada kelaparan akan kesetaraan dan demokrasi untuk penyelenggaraan negara, melampaui pidato yang dikemas apik dan diucapkan pejabat berdandan rapi.

Merindukan terang

Kenyataannya, lorong panjang republik ini digelapkan oleh berjubelnya pejabat yang oleh sebagian UU dan peraturan daerah diuntungkan, bahkan dalam hal memperkaya pribadi atau kelompok. Dengan demikian, semakin lenyaplah harapan datangnya akhir dari masa gelap.

Kehausan itu tak juga terpenuhi dengan keringnya masyarakat kita dari tokoh pembela rakyat. Jeritan para nestapa di lorong yang menyesakkan dan paraunya suara demonstran— bahkan sampai membakar diri seperti Sondang—tak juga menyalakan lilin kecil pembawa sinar di lorong sempit ini.

Sajak, lagu-lagu, dan film-film itu seharusnya mengisyaratkan semakin meluapnya kehausan dan kelaparan akan "tibanya langit dan Bumi Pertiwi yang baru" itu agar lorong panjang dan gelap dalam perjalanan bangsa ini segera berakhir.

Ada sejumlah orang mengusahakan hukum ditegakkan dengan tepat, pemerintahan yang efektif, perwakilan rakyat yang tahu diri, penegakan hukum yang tepat guna, ekonomi yang berhasil guna. Namun, gelap dan panjangnya lorong ziarah bangsa ini masih berlanjut karena kita kekurangan orang yang secara lahir batin menyatu dengan penderitaan rakyat serta siap membalikkan langkah pejabat-pejabat yang "keblinger".

Situasi serupa terjadi ketika Yohannes Baptis tampil di permukaan Tanah Terjanji sekitar 21 abad lalu. Ia berani mengoreksi Herodes, yang namanya saja raja, tetapi sesungguhnya orang yang lunak dalam menghadapi rengekan keluarga dan rasa nikmat dagingnya sendiri serta lumpuh menghadapi intrik partai Herodian-nya.

Dia menantang rakyat untuk bertobat kalau tidak mau binasa bersama. Iman dipaparkannya dalam kesatuan dengan kesejahteraan seluruh rakyat, dan tidak dibekukan dalam ritual dan etiket kosmetis. Itulah saat yang tepat bagi Bapa Umat Manusia untuk mengirimkan Anak-Nya, dengan risiko bahwa kemuliaan surgawi ditanggalkan-Nya untuk masuk dalam darah daging kemanusiaan.

Hanya dengan menyatu di tengah bangsa manusia yang menderita itulah penebusan manusia dapat benar. Maka, Ia mau jadi kanak-kanak dalam lingkungan sederhana. Itulah yang diperingati dalam Natal, tanpa pernik-pernik kenes dari ekonomi yang menunggangi agama.

Surat Philippi 2: 5-11 mengingatkan bahwa penjelmaan menyebabkan segala insan dan alam semesta berlutut ketika Yang Mahamulia mendekatkan dan menyatukan diri dengan manusia yang papa di mana pun. Misteri ini juga seharusnya bergema kala mengucapkan "selamat Natal".

Ia datang sebagai Sang Cahaya yang bersinar di ujung ziarah umat manusia. Kita dipanggil untuk menjadi saksi-Nya: agar sinar asa menerangi hidup pribadi, keluarga, pekerjaan, dan perjuangan bangsa kita. Selamat Natal!

(BS Mardiatmadja SJ, Rohaniwan)

terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy