Cinta Itu Melestarikan
Cinta sebenarnya tidak buta
Tetapi berangkat dari kebijaksanaan demi yang dicintai
Cinta selalu menginginkan yang baik
Memelihara yang menyatukan
Dan melindungi dalam kegelapan
Cinta tidak pernah menghakimi dengan akal saja
Tetapi mengerti dengan hati bersih
Bahwa kebersamaan itu membawa ke kehidupan sejati
-Alexander Erwin-
Keluarga-keluarga terkasih,
Kita akan memasuki bulan Februari yang sering disebut sebagai bulan kasih sayang karena ada “Valentine’s Day” di dalamnya. Terlalu sering kita mendengar diskusi tentang cinta; tentang keindahan di dalamnya; tentang perjuangan melanjutkan ikatan kasih dalam sakramen perkawinan, tentang pengorbanannya, atau barangkali tentang kegagalannya. Cerita tentang cinta selalu menjadi cerita paling menarik untuk saat apapun, karena kita memang makhluk yang diciptakan dari cinta, yaitu cinta kasih Allah sendiri.
Saya ingin mengajak kita semua merenungkan cinta kasih dan pengalamannya dalam keluarga besar kita (extended love). Keluarga-keluarga diajak ikut merenungkan peran orang tua/mertua dalam keluarga besar dan pengaruhnya bagi perjalanan kasih pasutri. Ibu dan ayah mempunyai hubungan dengan kakek dan nenek, demikian sebaliknya. kasih orang tua (kakek-nenek) kita menjadi bagian yang mempengaruhi cinta suatu keluarga baru, suami-isteri atau orang tua-anak. Membina keluarga sendiri dan terpisah secara secara hukum, kadang tidak disertai dengan kemandirian di dalamnya .
Orang Indonesia, seperti kebanyakan bangsa di Asia, mempunyai budaya penghormatan pada ayah dan ibu. Banyak di antara kita tinggal bersama orang tua atau berada dalam rumah yang berdekatan meskipun sudah menikah. Tidak sedikit diantara kita masih melibatkan orang tua dalam banyak hal intern, karena ingin menghormati mereka. Kita terbiasa mempertahankan hubungan baik sebagaimana kita ingin membalas budi baik dan cinta kasih yang mereka berikan sejak kecil sampai kita dewasa dan “mapan” (menikah).
Hubungan kita memang sangat dekat dan seakan-akan tak terpisahkan. Kita memberi tempat luas dan penghormatan yang tinggi kepada orang tua, karena mereka kita anggap “lebih berpengalaman” dalam hal berkeluarga. Beberapa hal yang sebenarnya bisa kita kerjakan kadang-kadang kita percayakan pada orang tua karena merasa lebih “aman” dan mudah. Pengurusan surat-menyurat, penitipan cucu-cucu, bahkan memutuskan untuk tetap serumah dengan kakek-nenek menjadi hal yang lumrah di antara keluarga di Negara kita.
Pengalaman cinta kasih orangtua membawa pengalaman manis, hangat, dekat, aman, akrab, membekas, dan menyumbang pengalaman psikologis yang melekat pada kepribadian kita. Pengalaman itu bisa sangat mempengaruhi cara kita berelasi dengan orang lain, dan kelak pasangan serta anak-anak kita. Pola kita dalam mengasihi kadang amat ditentukan oleh bagaimana kita menangkap cinta kasih orang tua kita sejak kita kecil.
Pengalaman negatif, seperti luka-luka batin masa lalu, trauma, dan keterpecahan dalam keluarga, mau tak mau menjadi bagian yang tak terpisah dalam relasi kita dengan suami/ isteri serta anak-anak. Memang benar bahwa sebagian diri kita adalah pahatan masa lalu yang membekas dan mewujud secara baru dalam pribadi kita.
Pengalaman baik dengan orang tua yang mengasihi dapat diteladani oleh anak-cucu mereka. Dengan pengalaman itu, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang mencintai dan mengasihi. Pola pengasuhan yang baik dan mendewasakan akan dapat menjadi teladan bagi mereka ketika mereka membina keluarga sendiri dan menciptakan situasi yang kurang lebih meneladan pengalaman di rumah bersama orang tua dulu. Kehangatan seorang ibu, kebiasaan komunikasi ayah, sikap memahami dan keterbukaan orang tua tentu sangat mempengaruhi kepribadian seseorang ketika ia sendiri membangun keluarga.
Di samping itu, sebaik apapun kebersamaan dengan orang tua kita, kemandirian tetaplah diperlukan sebagai kenyataan yang harus dialami setiap orang. Anak-anak mempunyai masa sendiri untuk “disapih” dan berpisah dari orangtua nya untuk memutuskan dan menentukan jalan hidupnya sendiri secara dewasa, bijaksana, dan wajar. Kehadiran orang tua pada saatnya harus bergeser kearah yang lebih penasihat dan bukan yang pembuat keputusan.
Saudara-saudari terkasih, dalam perkawinan Katolik yang berstatus sakramen, kita tahu adanya syarat kemampuan dan kesediaan setiap orang yang menikah untuk menampilkan dan menghadirkan Kristus di dalamnya. Setiap pernikahan “sakramen” berkewajiban menampilkan sisi sakramentalnya melalui kesetiaan dalam untung dan malang, dalam cinta yang “saling” memberikan diri dan menerima apa adanya. Proses penting itu harus dilalui dengan belajar hidup berdua, sendiri dan sewajarnya terpisah dari orang tua. Masalah bisa muncul, salah satunya, kalau proses ini tidak terjadi dan justru terhambat oleh peran orang tua yang terlalu banyak dalam hidup pasutri baru.
Tidak dipungkiri bahwa kita melihat banyak orang tua berperan menjadi penasihat yang bijaksana bagi putra-putri mereka menghadapi masalah. Orang tua seperti ini biasanya tahu waktu untuk mengambil jarak sewajarnya dari kehidupan anak-anaknya dan waktu memberi pertimbangan dan usulan positif ketika diperlukan. Banyak orang tua berhasil menyelamatkan perkawinan putra-putri mereka melalui nasihat keibuan dan penyadaran seperlunya.
Sebaliknya, dalam beberapa kasus lainnya, orang tua justru melakukan intervensi dalam kehidupan anak-anak dan keluarga mereka. Mereka membuat anak mereka tetap menjadi “anak mami” yang tak pernah dewasa dan tak mampu berkeputusan. Fenomena ini terjadi pada beberapa keluarga muda dan membawa masalah dalam relasi suami isteri. “Anak mami” mempunyai kesulitan memutuskan, egois, kurang mempunyai daya juang, malas, dan menuruti apa saja yang dikatakan ibunya. Kalau terjadi seperti ini, keluarga menghadapi ancaman karena orang tua tak mampu mengendalikan diri dan semakin membuat anak dan seluruh keluarganya repot.
Cinta kasih orang tua dalam hal ini malah membuat belenggu bagi anak-anak yang sudah menikah. Pertentangan mertua-menantu kadang kita dengar. Persoalan internal rumah tangga bisa menjadi semakin runcing dengan keterlibatan orangtua/mertua yang tampil dengan nasihat yang tidak cocok dengan situasi rumah tangga. Kalau suami selalu memilih keputusan ibunya dan mengabaikan isterinya, tentu hubungan suami dan isteri menjadi terganggu dengan adanya pihak ketiga yang tak terkalahkan itu.
John Bowlby seorang psikolog perkembangan, percaya bahwa pengasuhan pada usia dini sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan sosial seseorang. Kemampuannya berelasi secara wajar sebagai orang dewasa harus dipupuk oleh orang tua sejak anak berusia dini atau kelak ia akan menjadi benalu keluarga dan bahkan tak memiliki kemampuan untuk mandiri. Bowlby menyebutnya dengan teori “Attachment”.
Melalui pemahaman akan perkembangan manusia dalam hal pengasuhan dan kedekatan dengan orang tuanya, barangkali kita dapat merenungkan bagaimana cinta kasih kita sebagai orang tua dapat diekspresikan untuk suatu kebaikan yang mendukung perkawinan kristiani putera-puteri kita. Kita dapat melihat bahwa suatu perkawinan sebenarnya dipengaruhi bahkan oleh peran pengasuhan orang tua sejak anak-anak berusia dini.
Ketika anak-anak bertumbuh, tuntutan menjadi orang tua yang dewasa dan bijaksana semakin penting. Kedekatan anak-anak dengan orang tua kelak harus dapat memberi peneguhan tentang perlunya kasih yang menerima, memahami, dan kesetiaan. Jika para orang tua menjalankan tugas orangtua dengan benar, maka perannya akan sangat membantu proses hidup bersama yang mengkekalkan persatuan suami-isteri. Informasi yang benar tentang perbedaan pribadi; himbauan untuk menjadi semakin mandiri, dan mencintai pasangan sebagai orang terdekat, bertekun dalam kesulitan, dll. adalah pesan kasih dan nasihat terbaik untuk setiap pastutri menikah. Juga dalam situasi orang tua merasa tak mengetahui duduk suatu perkara, sikap paling bijaksana barangkali adalah mengambil jarak dan tidak ikut memutuskan apapun.
Sangat disayangkan kalau pengaruh orang tua malah menjadi berlebihan dan bahkan sampai memutuskan ikatan kasih pasangan suami isteri. Betapapun baiknya nasihat orang tua, orang yang paling tahu pribadi adalah pasangannya sendiri. Intervensi berlebihan akan membuat tanggung jawab pasutri menjadi kabur dan bahkan terabaikan. Untuk hal ini, para orang tua seharusnya menyesal seandainya, karena nasihatnya, anak-anak yang menikah terpaksa berpisah/ bercerai.
Keluarga-keluarga Katolik yang terkasih, marilah bulan cinta kasih ini kita rayakan dengan merenungkan kembali relasi dalam keluarga besar kita. Didiklah anak-anak agar mencapai kemandirian sempurna. Biasakanlah mereka memutuskan sendiri, mencari jalan keluar bersama pasangannya, dan bertanggungjawab atas setiap keputusan yang mereka buat sendiri.
Sejak kecil, ajaklah anak-anak kita selalu belajar mencintai, bahkan sampai terluka, sesuai dengan ajaran Yesus, mengasihi dan memaafkan pasangan, dan membiarkan mereka tumbuh dalam kebersamaan yang saling mendewasakan dan meneguhkan. Cintailah mereka agar dapat mencintai suami atau isterinya dengan bertanggungjawab agar ikatan sakramental perkawinan putera-puteri kita menjadi kisah nyata dalam hidup sehari-hari. Melalui sistem pendidikan dalam keluarga, bahkan anak-anak muda dapat disiapkan untuk memasuki dunia keluarga yang makin kristiani dan matang. Inilah cinta kasih yang sesungguhnya.
Tuhan memberkati.
Salam dalam Yesus, Maria dan Yusuf
Rm.Alexander Erwin, MSF