Minggu, 25 Maret 2012
Hari Minggu Prapaskah V/B
Pengantar
Hari ini sudah Minggu Prapaskah V. Minggu depan, kita akan merayakan Minggu Palma, sebagai awal dari Minggu Sengsara dan Pekan Suci. Oleh karena itu, Minggu ini kita mulai diajak mengarahkan perhatian pada paristiwa “Yesus menuju sengsara-Nya”. Patung-patung orang kudus yang melambangkan kemuliaan surgawi diselubungi dengan kain ungu. Maksudnya adalah untuk mengungkapkan duka cita atas dosa-dosa kita yang menyebabkan sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Namun, dalam duka cita itu kita juga mempunyai pengharapan karena sengsara dan wafat Yesus bagaikan “bijih gandum yang jatuh ke tanah dan mati namun hidup kembali sehingga membuahkan kehidupan bagi banyak orang” yang percaya kepada-Nya (bdk. Yoh 12:20-33).
Homili
Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk memaknai sengsara dan wafat Yesus sebagai peristiwa penyelamatan. Maka, baiklah pada kesempatan ini kita memperdalam iman kita dengan merenungkan apa sebenarnya peristiwa keselamatan itu bagi kita?
Bacaan pertama menguraikan bahwa peristiwa keselamatan merupakan peristiwa pembaruan perjanjian antara Tuhan Allah dengan umat-Nya. “Aku akan mengikat perjajian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda” (Yer 31:31). Sifat-sifat dari perjanjian yang baru adalah: Taurat ditaruh di dalam batin dan ditulis di dalam hati, bukan di atas loh batu atau di atas kertas (Yer 31:33); perjanjian yang baru itu ditengarai sebagai pengenalan personal dengan Allah, bukan pada pengenalan akan hukum tertulis (Yer 31:34a); dan perjanjian baru itu dijamin oleh kesediaan Allah untuk mengampuni dosa (Yer 31:34b).
Perjanjian baru tersebut merupakan perjanjian yang menyelamatkan. Sebab, di dalam hati manusia Tuhan berkenan menuliskan hukum-Nya sehingga manusia bisa mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan pengertian ini, manusia diharapkan mengikuti bimbingan Tuhan yang dikenalnya secara pribadi untuk hanya mengikuti yang baik dan yang benar saja. Namun, hal ini tidak selalu mudah. Karena kelemahannya, manusia mudah jatuh ke dalam dosa, yaitu dengan tidak melakukan yang baik dan benar tetapi malah sebaliknya melakukan yang salah dan yang jahat. Meskipun demikian, perjanjian yang menyelamatkan tetap berlangsung dan tak terbatalkan, karena janji terakhir berupa kesediaan Tuhan untuk mengampuni kesalahan dan tidak mengingat dosa-dosa manusia lagi.
Puncak dari pengampunan dosa manusia, termasuk dosa-dosa kita, terlaksana dalam diri Yesus Kristus. Melalui penumpahan darah-Nya di kayu salib, Yesus memperbarui perjanjian keselamatan itu, sekali untuk selamanya. Inilah yang kita kenangkan setiap kali kita merayakan Ekaristi, khususnya pada saat konsekrasi atas piala berisi anggur. “Terimalah dan minumlah: inilah piala darah-Ku, darah perjanjian baru dan kekal yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa”.
Wafat Yesus di salib merupakan puncak dari pelaksanaan rencana keselamatan Allah. Namun, mungkin kita bertanya: mengapa untuk menyelamatkan kita harus dengan cara demikian? Karena kita semua adalah orang berdosa dan upah dosa adalah maut/kematian (Rm 6:23). Nah, untuk menyelamatkan manusia dari kematian, Yesus harus mengalami kematian dan turun ke dalam dunia orang mati supaya orang-orang mati dibangkitkan bersama dengan Dia. Dengan demikian, wafat Yesus bagaikan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, kemudian menghasilkan buah berlimpah. Sebab, kematian-Nya menghasilkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Maka, bagi kita yang percaya dan menjadi pengikut Kristus, jaminan akan keselamatan dan kehidupan kekal itu sudah kita miliki. Tinggal, bagaimana kita memeliharanya dan terus-menerus berusaha memperdalam dan memperteguh iman kepercayaan kita itu sekaligus kita berupaya semakin setia menjadi pengikut Kristus.
Sebagai pengikut Kristus, kita pun juga dipanggil untuk menjadi biji gandum yang harus jatuh ke tanah, kemudian mati dan menghasilkan buah berlimpah. Kita tidak usah terlalu jauh membayangkannya sebagai saat kita harus mati. Kita renungkan saja saat jatuhnya gandum sebagai saat kita melakukan pengorbanan diri demi keselamatan orang lain. Jika pengorbanan kita dianalogikan sebagai biji gandum yang mati, adakah kita mampu menghasilkan buah berlimpah? Biji gandum yang dapat menghasilkan buah berlimpah tentu saja harus biji gandum yang bernas dan berkualitas. Sudahkah kita berupaya menjadi biji gandum yang berkualitas baik? Bernas dan berkualitas dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Hari Minggu Prapaskah V/B
Pengantar
Hari ini sudah Minggu Prapaskah V. Minggu depan, kita akan merayakan Minggu Palma, sebagai awal dari Minggu Sengsara dan Pekan Suci. Oleh karena itu, Minggu ini kita mulai diajak mengarahkan perhatian pada paristiwa “Yesus menuju sengsara-Nya”. Patung-patung orang kudus yang melambangkan kemuliaan surgawi diselubungi dengan kain ungu. Maksudnya adalah untuk mengungkapkan duka cita atas dosa-dosa kita yang menyebabkan sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Namun, dalam duka cita itu kita juga mempunyai pengharapan karena sengsara dan wafat Yesus bagaikan “bijih gandum yang jatuh ke tanah dan mati namun hidup kembali sehingga membuahkan kehidupan bagi banyak orang” yang percaya kepada-Nya (bdk. Yoh 12:20-33).
Homili
Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk memaknai sengsara dan wafat Yesus sebagai peristiwa penyelamatan. Maka, baiklah pada kesempatan ini kita memperdalam iman kita dengan merenungkan apa sebenarnya peristiwa keselamatan itu bagi kita?
Bacaan pertama menguraikan bahwa peristiwa keselamatan merupakan peristiwa pembaruan perjanjian antara Tuhan Allah dengan umat-Nya. “Aku akan mengikat perjajian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda” (Yer 31:31). Sifat-sifat dari perjanjian yang baru adalah: Taurat ditaruh di dalam batin dan ditulis di dalam hati, bukan di atas loh batu atau di atas kertas (Yer 31:33); perjanjian yang baru itu ditengarai sebagai pengenalan personal dengan Allah, bukan pada pengenalan akan hukum tertulis (Yer 31:34a); dan perjanjian baru itu dijamin oleh kesediaan Allah untuk mengampuni dosa (Yer 31:34b).
Perjanjian baru tersebut merupakan perjanjian yang menyelamatkan. Sebab, di dalam hati manusia Tuhan berkenan menuliskan hukum-Nya sehingga manusia bisa mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Dengan pengertian ini, manusia diharapkan mengikuti bimbingan Tuhan yang dikenalnya secara pribadi untuk hanya mengikuti yang baik dan yang benar saja. Namun, hal ini tidak selalu mudah. Karena kelemahannya, manusia mudah jatuh ke dalam dosa, yaitu dengan tidak melakukan yang baik dan benar tetapi malah sebaliknya melakukan yang salah dan yang jahat. Meskipun demikian, perjanjian yang menyelamatkan tetap berlangsung dan tak terbatalkan, karena janji terakhir berupa kesediaan Tuhan untuk mengampuni kesalahan dan tidak mengingat dosa-dosa manusia lagi.
Puncak dari pengampunan dosa manusia, termasuk dosa-dosa kita, terlaksana dalam diri Yesus Kristus. Melalui penumpahan darah-Nya di kayu salib, Yesus memperbarui perjanjian keselamatan itu, sekali untuk selamanya. Inilah yang kita kenangkan setiap kali kita merayakan Ekaristi, khususnya pada saat konsekrasi atas piala berisi anggur. “Terimalah dan minumlah: inilah piala darah-Ku, darah perjanjian baru dan kekal yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa”.
Wafat Yesus di salib merupakan puncak dari pelaksanaan rencana keselamatan Allah. Namun, mungkin kita bertanya: mengapa untuk menyelamatkan kita harus dengan cara demikian? Karena kita semua adalah orang berdosa dan upah dosa adalah maut/kematian (Rm 6:23). Nah, untuk menyelamatkan manusia dari kematian, Yesus harus mengalami kematian dan turun ke dalam dunia orang mati supaya orang-orang mati dibangkitkan bersama dengan Dia. Dengan demikian, wafat Yesus bagaikan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, kemudian menghasilkan buah berlimpah. Sebab, kematian-Nya menghasilkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Maka, bagi kita yang percaya dan menjadi pengikut Kristus, jaminan akan keselamatan dan kehidupan kekal itu sudah kita miliki. Tinggal, bagaimana kita memeliharanya dan terus-menerus berusaha memperdalam dan memperteguh iman kepercayaan kita itu sekaligus kita berupaya semakin setia menjadi pengikut Kristus.
Sebagai pengikut Kristus, kita pun juga dipanggil untuk menjadi biji gandum yang harus jatuh ke tanah, kemudian mati dan menghasilkan buah berlimpah. Kita tidak usah terlalu jauh membayangkannya sebagai saat kita harus mati. Kita renungkan saja saat jatuhnya gandum sebagai saat kita melakukan pengorbanan diri demi keselamatan orang lain. Jika pengorbanan kita dianalogikan sebagai biji gandum yang mati, adakah kita mampu menghasilkan buah berlimpah? Biji gandum yang dapat menghasilkan buah berlimpah tentu saja harus biji gandum yang bernas dan berkualitas. Sudahkah kita berupaya menjadi biji gandum yang berkualitas baik? Bernas dan berkualitas dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Rm. A. Agus Widodo, Pr.