| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Minggu, 8 Juli 2012 – Minggu Biasa XIV/B


Minggu, 8 Juli 2012 – Minggu Biasa XIV/B
Yeh 2:2-5; Mzm 123:1-2a.2bcd.3-4; 2Kor 12:7-10; Mrk 6:1-6

Sebagai umat Katolik yang tekun berdoa dan merayakan Ekaristi, tentunya kita (merasa) tidak termasuk golongan orang-orang yang menolak Yesus. Dengan berbagai macam cara dan upaya, kita selalu membuka diri pada kehadiran Tuhan. Namun, sungguhkah demikian adanya? Apakah kita benar-benar selalu menerima Tuhan yang seringkali juga bersabda dan berkarya melalui sesama dan orang-orang di sekitar kita?
Bacaan Injil hari ini berkisah tentang Yesus yang ditolak di Nazareth, tempat asal-Nya sendiri. Akibatnya, Ia “tidak dapat mengadakan satu mukjizat pun kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit” (ay.5). Amat berbeda dengan kisah-kisah dalam Injil Markus sebelumnya, di mana Yesus meredakan angin ribut (4:35-42), mengusir roh jahat (5:1-20), menyembuhkan perempuan yang sakit pendaharahan (5:25-34), dan menghidupkan anak Yairus (5:21-24.35-43).
Orang-orang Nazareth memang takjub mendengar pengajaran-Nya dan mengagumi hikmat serta mukjizat-mukjizat yang diadakan-Nya (ay.2). Tetapi, mereka tidak bisa menerima bahwa dia itu cuma salah seorang dari antara mereka sendiri. Mereka sudah mengenal latar belakang pekerjaan dan keluarganya. Maka, rasa takjub itu segera berubah menjadi kecewa. Bahkan, mereka berbalik menolak Dia.
Tanpa kita sadari kita pun sering jatuh pada pengalaman yang sama. Memang, kita tidak pernah menolak Tuhan secara terang-terangan. Tetapi kerapkali kita menolak sabda-Nya yang disampaikan kepada kita melalui sesama. Seringkali kita menghargai kata-kata orang lain, bukan berdasarkan apa isi yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakannya. Apabila ada orang yang sharing atau membagikan pengalaman imannya atau memberikan usulan, kita seringkali menanggapi dengan sinis. Para atasan seringkali menganggap remeh kata-kata dan usulan bawahannya. Orangtua kerapkali mengabaikan pendapat dan usulan anak-anaknya. Ada juga orang-orang yang sebenarnya membutuhkan bantuan tetapi merasa gengsi sehingga menolak pertolongan orang lain. Tidak sedikit juga, imam yang tidak mau mendengarkan masukan dari umatnya.
Mengapa hal-hal semacam ini seringkali terjadi? Sebuah kisah sederhana yang kutip oleh Mgr. I. Suharyo dalam Inspirasi Batin-2 tahun 2012 berikut ini, kiranya membantu kita.
Seorang murid ingin belajar kebijaksanaan hidup kepada seorang Guru terkenal. Ia berkata, “Guru dikenal sebagai seorang yang amat luhur budi dan hati, bijaksana dan cerdas. Bantulah saya untuk lebih bijaksana dan berbudi luhur serta berhati mulia.” Sang Guru tidak menanggapi permintaan calon muridnya itu dengan pengajaran. Ia mengambil cangkir dan menungkan air ke dalamnya. Meskipun cangkir itu sudah penuh, ia terus menuang sehingga airnya tumpah ke luar. Calon murid itu, lama-lama tidak tahan melihatnya dan berkata, “Guru, cangkir itu sudah penuh. Mengapa Guru terus saja menuangkan air ke dalamnya?” Dengan perlahan, Sang Guru menatapnya dan berkata, “Seperti itulah keadaanmu. Engkau datang ke sini untuk belajar hidup lebih bijaksana, berbudi luhur dan berhati mulia. Namun, hati dan budimu sudah penuh dengan sikap dan pikiranmu sendiri, sehingga apa pun yang akan saya berikan, akan tumpah keluar. Kosongkan dulu hati dan budimu supaya engkau dapat menerima kebijaksanaan serta keluhuran hati dan budi yang baru!”
Kalau kita tidak mau mengosongkan diri dan merasa sudah cukup, sudah aman dan nyaman dengan pengetahuan, sikap, dan pendapat kita sendiri, maka kita akan tertutup untuk menerima masukan. Apa pun yang kita dengar tidak akan kita terima dengan hati dan budi yang terbuka tetapi akan tertumpah keluar. Kita dengar dengan telinga kanan, keluar telinga kiri; bahkan keluar dari telinga kanan juga sehingga tidak lewat sama sekali. Kita akan cenderung sulit menerima sharing pengalaman, masukan/usulan, dan nasihat dari orang lain. Bahkan, sikap kita cenderung mengabaikan, meremehkan atau menanggapinya dengan sinis. Padahal, pengalaman orang lain yang dibagikan, masukan/usulan, dan nasihat orang lain merupakan salah satu cara dan sarana bagaimana Tuhan berbicara kepada kita. Bukankah kita masing-masing diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27).
Agar kita sampai pada sikap pengosongan diri, dibutuhkan kerendahan hati untuk mengakui kelemahan dan keterbatasan diri kita sehingga kita membutuhkan kehadiran orang lain yang memberikan masukan, usulan, nasihat, dan berbagai macam pertolongan yang lain. Dalam terang iman, mereka-mereka itu dipakai oleh Tuhan untuk memberikan kasih-karunia-Nya kepada kita. Sebab, setiap orang menjadi salah satu tanda nyata kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita. Tuhan hadir, bersabda, dan berkarya di dalam dan melalui saudara-saudari di sekitar kita.
Bacaan II merupakan sharing iman dari St. Paulus. Dalam segala perjuangan dan pergulatan hidupnya, St. Paulus mengalami Tuhan yang bersabda, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahan kuasa-Ku menjadi sempurna” (bdk. 2Kor 12:9). Hal yang sama berlaku bagi kita. Kalau kita mau rendah hati dengan mengakui kelemahan dan keterbatasan kita dan bahwa kita membutuhkan Tuhan dan orang lain, maka Tuhan juga akan selalu mencukupkan kekurangan-kekurangan kita, entah secara langsung atau melalui orang-orang di sekitar kita.
Maka, sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk rendah hati dan mau mengosongkan diri, agar kita dapat dengan terbuka menerima kehadiran Tuhan. Entah Tuhan yang hadir dalam sabda-Nya, atau dalam rupa roti dan anggur ekaristi, atau dalam diri orang-orang di sekitar kita. Kita kosongkan diri kita, agar Tuhanlah yang mengisi dan memenuhi hidup kita. Kalau kita dipenuhi oleh Tuhan sendiri, maka pikiran, perasaan, perkataan, sikap, dan tindakan-tindakan kita juga akan selalu menghadirkan kasih karunia Tuhan. Akibatnya, kalau suatu saat kita ditolak seperti Yesus, kita tidak akan putus asa tetapi tetap setia pada misi dan perutusan kita.
Rm. Ag. Agus Widodo, Pr

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy