HARI MINGGU BIASA KE XXI – B
Yos 24:1-2a.15-17.18b; Ef 5:21-32; Yoh
6:60-69
Setiap saat, kita selalu dihadapkan pada berbagai macam
pilihan dan kita harus memilih serta memutuskan. Kita ambil saja contoh hari
ini. Tadi pagi, kita sudah melakukan pilihan: bangun jam berapa. Saat terjaga
mau bangun atau tidur lagi. Setelah bangun, kita juga harus memilih mau ngapain:
berdoa, mandi, minum, atau yang lain. Kita mau ke gereja juga harus memilih:
mau memakai pakaian yang mana, berangkat jam berapa, naik apa, dengan siapa dan
mau membawa apa. Sampai di gereja memilih lagi: duduk di mana dan nanti akan
kolekte atau tidak, kalau kolekte berapa. Dan seterusnya …….
Bacaan-bacaan hari ini berbicara tentang pemilihan dan
pengambilan keputusan dalam iman. Dalam bacaan pertama (Yos 24:1-2a.15-17.18b), Yosua menantang umat Israel untuk memilih tetap beriman
kepada Tuhan atau menyembah dewa-dewi (ay.15a). Yosua sendiri, bersama dengan
keluarganya, memilih dan memutuskan untuk tetap beriman dan beribadah kepada
Tuhan (ay.15b). Dengan mantab, mereka memilih untuk tetap beriman dan beribadah
kepada Tuhan. Keputusan ini didasari oleh kesadaran akan karya-karya Tuhan yang
mereka alami: mereka dibebaskan dari perbudakan Mesir, dituntun sampai Tanah
terjanji, diberi makan manna, dan selalu dilindungi dan dijamin sehingga
selamat.
- Pengalaman dan
kesadaran akan Alah yang baik, yang membebaskan, yang melindungi, yang
menuntun, dan yang menganugerahkan berkat-Nya, hendaknya menjadi dasar yang
kokoh bagi kita untuk tetap beriman kepada Tuhan.
Yosua menghayati imannya tidak sendirian tetapi bersama seisi
rumahnya. Ia dan keluarganya dengan mantap beribadah kepada Allah. Demikian pula hendaknya, dalam
kehidupan berkeluarga, suami-istri mengembangkan kesatuan dalam beriman. Keluarga
merupakan Gereja Kecil, di mana iman kepada Tuhan dihayati: diperdalam, diperteguh,
dikembangkan, dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, St.
Paulus menasihati agar suami-istri saling mengasihi dan melayani, sebagaimana
Kristus mengasihi Gereja-Nya (Ef 5:21-32).
- Pengalaman dan
kesadaran dikasihi oleh Tuhan merupakan dasar penting bagi suami-istri untuk menghayati
sakramen perkawinan. Sakramen adalah tanda dan sarana kahadiran Tuhan yang
mengasihi dan menyelamatkan umat-Nya. Maka, dengan sakramen perkawinan: suami
menjadi tanda dan sarana bagi Tuhan untuk mengasihi istri dan istri menjadi
tanda dan sarana bagi Tuhan untuk mengasihi suami. Semangat kasih dan pelayanan
suami-istri ini merupakan salah satu bentuk perwujudan iman dalam keluarga.
Kalau dalam bacaan pertama, Yosua beserta keluarganya dan
seluruh umat Israel memilih dan memutuskan untuk tetap beriman dan beribadah
kepada Tuhan, dalam bacaan Injil (Yoh 6:60-69) dikisahkan banyak
murid yang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus (ay.66). Peristiwa
ini sungguh ironis: sebelumnya mereka terkagum-kagum dengan mukjizat
penggandaan roti yang dibuat Yesus (Yoh 6:1-14) bahkan mereka antusias untuk
menjadikan Yesus sebagai raja (Yoh 6:15). Namun, ketika Yesus berbicara
mengenai roti hidup, mereka tidak bisa memahami. Iman mereka tergoncang (ay.61).
Mengapa? Karena mereka menangkap ajaran Yesus hanya secara harafiah. Kalau Roti
Hidup itu adalah Yesus sendiri, menyantap Roti Hidup berarti berarti makan
daging-Nya dan minum darah-Nya. Betapa mengerikan. Maka wajar jika mereka
menilai bahwa pengajaran Yesus itu sangat keras (ay.60). Apalagi hukum taurat
melarang mereka untuk memakan darah (Kej 9:4; Ul 12:23; Im 17:11). Maka,
menurut mereka, makan daging dan minum darah Yesus tidak hanya merupakan kekejaman tetapi juga pelanggaran hukum Taurat
yang amat berat. Itulah sebabnya, mereka tidak bisa memahami dan menerima
ajaran Yesus kemudian meninggalkan Dia.
Bagaimana dengan kita? Kalau kita seperti orang Yahudi,
memahami sabda dan ajaran Yesus secara harafiah, kita juga akan jatuh pada hal
yang sama. Tanpa iman, sabda dan ajaran Yesus akan sangat sulit kita pahami dan
kita terima. Untuk itu, marilah kita belajar beriman seperti Petrus yang dengan
tegas memilih untuk tetap mengikuti Yesus. Sabda-Nya yang sulit dimengerti
secara nalar itu, kalau kita terima dengan iman akan menjadi perkataan hidup
yang kekal (ay.68). Itulah makanya, dalam Perayaan Ekaristi, setelah kita
mendengarkan Sabda Tuhan dan uraiannya dalam homili, kita memperbarui iman kita
dengan mengucapkan syahadat.
- Sabda Tuhan, entah
kita mengerti secara nalar atau tidak, kita terima dengan iman. Meskipun kita
tidak mengerti, tetapi karena Tuhan yang bersabda, kita percara pasti itu baik
untuk kita. Sabda-Nya tetap berkarya dalam diri kita dan menuntun serta
menganugerahkan kehidupan yang kekal.
Menerima sabda Yesus tentang Roti Hidup dalam terang iman mengajak
kita untuk menghayati makna Ekaristi. Bagi kita, Yesus bukan hanya Sang Sabda
tetapi juga Roti Hidup. Keduanya kita temukan dalam Ekaristi. Sebab, dalam
setiap Ekaristi, Yesus sendiri hadir dan bersabda sekaligus memberikan diri-Nya
dalam rupa roti Ekaristi. Di satu sisi, kita hanya bisa menerima roti Ekaristi
itu sebagai Tubuh Kristus kalau kita mengimaninya; di sisi lain Ekaristi yang
kita rayakan dengan tekun dan setia akan semakin menyuburkan iman kita. Roti Ekaristi
merupakan rezeki rohani yang menjadi bekal dan memberi kekuatan bagi kita
sepanjang peziarahan hidup di dunia ini sampai kita memasuki kehidupan yang
kekal.
- Sabda Tuhan hari
ini mengajak kita agar di antara banyak pilihan kegiatan, hendaknya kita
memilih Ekaristi sebagai kegiatan rohani yang dengan tekun dan setia kita
rayakan.
- Di antara banyak
makanan bergizi, hendaknya kita pilih juga roti Ekaristi sebagai makanan yang
bernutrisi tinggi untuk kehidupan rohani kita.
Rm. Agus Widodo, Pr