Ul 4:1-2.6-8; Yak 1:17-18.21b-22.27; Mrk 7:1-8.14-15.21-23
Berpeganglah pada ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya." (Ulangan 4:40)
| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |
| Meditasi Antonio Kardinal Bacci |
Lumen Christi | Facebook
| Gabung Saluran/Channel WhatsApp RenunganPagi.ID
CARI RENUNGAN
MINGGU BIASA XXII – B (2 September 2012)
MINGGU BIASA XXII – B (2 September 2012)
Ul 4:1-2.6-8; Yak 1:17-18.21b-22.27; Mrk 7:1-8.14-15.21-23
Ul 4:1-2.6-8; Yak 1:17-18.21b-22.27; Mrk 7:1-8.14-15.21-23
Hari ini memasuki Minggu pertama di bulan September yang oleh
Gereja Indonesia dijadikan sebagai sebagai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Kebiasaan
menjadikan bulan September sebagai Bulan Kitab Suci ini berawal dari ajakan
Konsili Vatikan II (1963 – 1965) agar kazanah Kitab Suci dibuka
selebar-lebarnya dan seluruh umat diharapkan semakin tekun membaca Kitab Suci
(DV 22). Untuk itu, diperlukan Kitab Suci dalam bahasa setempat. Maka, setelah
Konsili Vatikan II, dibuatlah kerjasama antara Gereja Kristen (LAI: Lembaga
Alkitab Indonesia) dan Gereja Katolik (LBI: Lembaga Biblika Indonesia) untuk
menterjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Indonesia. Setelah tersedia Alkitab
edisi lengkap pada tahun 1976, Gereja Katolik, dalam sidang para Uskup pada
tahun 1977, menetapkan agar Hari Minggu Pertama bulan September dijadikan
sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya,
kegiatan-kegiatan umat untuk semakin mencintai Kitab Suci ditambah menjadi
sepanjang bulan September.
Maksud utama diadakan BKSN adalah agar umat semakin mencintai
Kitab Suci dengan membaca/mendengarkan, merenungkan, dan melaksanakan Sabda
Tuhan. Maksud ini mendapatkan dukungan dari bacaan-bacaan hari ini, terutama
bacaan pertama dan kedua. Dalam bacaan pertama, Musa menasihati umat Israel, “Hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan
peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup, …
Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan
akal budimu di mata bangsa-bangsa” (Ul 4:1.6). Pesan ini semakin ditegaskan
oleh Santo Yakobus dalam bacaan kedua, “Terimalah
dengan lemah lembut Firman yang tertanam dalam hatimu, yang berkuasa
menyelamatkan jiwamu. Hendaklah kamu menjadi pelaku Firman, dan bukan hanya
pendengar” (Yak 1:21b.22). Jadi, pesannya jelas. Kita diharapkan menjadi
orang-orang yang setia mendengarkan dan melakukan sabda Tuhan.
Kesetiaan mendengarkan dan melakukan sabda Tuhan ini, oleh Musa dikaitkan dengan jati diri kita sebagai orang yang bijaksana dan berakal
budi. Di satu sisi, sabda Tuhan yang kita baca/dengarkan, kemudian kita
renungkan dan kita pahami dengan baik akan semakin mempertajam akal budi dan
meningkatkan kebijaksanaan kita. Sebab, “Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang
dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah
diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2Tim 3:16.17).
Di sisi lain, kita memerlukan akal budi dan kebijaksanaan
untuk dapat mendengarkan, memahami dan melaksanakan sabda Tuhan dengan baik. Sebab,
akal budi dan kebijaksanaan akan menjauhkan kita dari sikap yang kaku dan
legalis terhadap hukum dan peraturan agama yang merupakan salah satu isi dari
sabda Tuhan. Maka, orang yang mampu mendengarkan sabda Tuhan dengan akal budi
dan kebijaksannnya akan terhindar dari sikap munafik seperti orang-orang Farisi
dan beberapa ahli Taurat yang ditegur secara keras oleh Yesus.
Dalam bacaan Injil tadi, orang-orang Farisi dan ahli-ahli
Taurat mengkritik murid-murid Yesus yang makan dengan tangan najis, yaitu tanpa
dicuci terlebih dahulu. Kritikan ini, sebenarnya bisa ditanggapi dengan baik, karena mencuci tangan sebelum
makan itu
baik untuk kesehatan. Namun, konteks kritikan itu disampaikan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat
yang selalu mencari-cari kekurangan Yesus dan berupaya menjatuhkan-Nya. Maksud
mereka bukan demi kebaikan tetapi untuk memperburuk citra Yesus di mata para
pengikut-Nya. Maka, Yesus membuka kedok mereka dengan mengutip nubuat
Yesaya, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai
orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan
bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah
kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.
Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia....Sungguh
pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat
istiadatmu sendiri.” (Mrk 7:6-9). Dari sinilah, Yesus
kemudian berbicara mengenai inti pokok persoalan, yakni kenajisan. Yesus mengajak
mereka untuk memahami hukum kenajisan secara bijaksana dalam terang akal budi.
Najis berarti tidak kudus, tidak layak di hadapan Tuhan. Selama
itu, orang Israel mengaitkan kenajisan dengan sesuatu atau seseorang di luar
dirinya. Artinya, orang menjadi najis ketika bersentuhan dengan barang atau
orang yang najis, misalnya: wanita haid, orang kusta, orang mati, dan binatang
tertentu. Oleh karena itu, orang-orang di zaman Yesus diharuskan
mencuci tangan sepulang dari pasar, karena siapa tahu barang
yang mereka beli pernah disentuh orang yang najis atau siapa tahu mereka di pasar bersenggolan dengan barang dan
orang najis.
Yesus merombak itu semua. Ia berkata kepada orang banyak: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan
camkanlah. Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya,
tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mrk
7:14-15). Yesus memberikan makna baru mengenai kenajisan. Seseorang menjadi tidak kudus dan tidak layak
di hadapan Tuhan, bukan karena makanan yang dimakan, tetapi karena “pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan,
keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” yang keluar melalui pikiran, mulut dan tindakan (Mrk
7:20-23). Semua yang disebutkan Yesus ini merupakan contoh-contoh kejahatan yang membuat manusia tidak kudus dan tidak layak di
hadapan Tuhan.
Demikianlah kita mencoba mengaitkan antara sabda Tuhan, yang
salah satunya berisi hukum/peraturan, dengan akal budi dan kebijaksanaan yang
merupakan salah satu kekhasan jati diri kita sebagai manusia. Di satu sisi, dengan
akal budi dan kebijaksanaan, kita akan dapat mendengarkan, memahami dan
melakukan sabda Tuhan dengan baik. Di sisi lain, kesetiaan kita untuk
mendengarkan, merenungkan, memahami dan melakukan sabda Tuhan akan semakin mempertajam
akal budi dan meningkatkan kebijaksanaan kita.
Kepada kita, sabda Tuhan memberikan informasi mengenai
hal-hal baik yang harus kita lakukan sesuai kehendak Tuhan sekaligus mengenai
hal-hal jahat yang harus kita hindari supaya kita tetap kudus dan layak di
hadapan Tuhan. Tidak hanya itu, sabda Tuhan juga memberi daya transformasi
yang memampukan kita untuk mengubah hidup kita menjadi lebih baik, lebih
mencintai Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, pada Bulan Kitab Suci Nasional
ini, marilah kita semakin mencintai Kitab Suci dengan semakin tekun
membaca/mendengarkan, merenungkan dan melaksanakannya.
Berbahagialan orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun
melaksanakannya.
Rm. Ag. Agus Widodo, Pr
terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati