| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

MINGGU BIASA XXII – B (2 September 2012)


MINGGU BIASA XXII – B (2 September 2012)
Ul 4:1-2.6-8; Yak 1:17-18.21b-22.27; Mrk 7:1-8.14-15.21-23

Hari ini memasuki Minggu pertama di bulan September yang oleh Gereja Indonesia dijadikan sebagai sebagai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Kebiasaan menjadikan bulan September sebagai Bulan Kitab Suci ini berawal dari ajakan Konsili Vatikan II (1963 – 1965) agar kazanah Kitab Suci dibuka selebar-lebarnya dan seluruh umat diharapkan semakin tekun membaca Kitab Suci (DV 22). Untuk itu, diperlukan Kitab Suci dalam bahasa setempat. Maka, setelah Konsili Vatikan II, dibuatlah kerjasama antara Gereja Kristen (LAI: Lembaga Alkitab Indonesia) dan Gereja Katolik (LBI: Lembaga Biblika Indonesia) untuk menterjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Indonesia. Setelah tersedia Alkitab edisi lengkap pada tahun 1976, Gereja Katolik, dalam sidang para Uskup pada tahun 1977, menetapkan agar Hari Minggu Pertama bulan September dijadikan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan-kegiatan umat untuk semakin mencintai Kitab Suci ditambah menjadi sepanjang bulan September.
Maksud utama diadakan BKSN adalah agar umat semakin mencintai Kitab Suci dengan membaca/mendengarkan, merenungkan, dan melaksanakan Sabda Tuhan. Maksud ini mendapatkan dukungan dari bacaan-bacaan hari ini, terutama bacaan pertama dan kedua. Dalam bacaan pertama, Musa menasihati umat Israel, “Hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup, … Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa” (Ul 4:1.6). Pesan ini semakin ditegaskan oleh Santo Yakobus dalam bacaan kedua, “Terimalah dengan lemah lembut Firman yang tertanam dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Hendaklah kamu menjadi pelaku Firman, dan bukan hanya pendengar” (Yak 1:21b.22). Jadi, pesannya jelas. Kita diharapkan menjadi orang-orang yang setia mendengarkan dan melakukan sabda Tuhan.
Kesetiaan mendengarkan dan melakukan sabda Tuhan ini, oleh Musa dikaitkan dengan jati diri kita sebagai orang yang bijaksana dan berakal budi. Di satu sisi, sabda Tuhan yang kita baca/dengarkan, kemudian kita renungkan dan kita pahami dengan baik akan semakin mempertajam akal budi dan meningkatkan kebijaksanaan kita. Sebab, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2Tim 3:16.17).
Di sisi lain, kita memerlukan akal budi dan kebijaksanaan untuk dapat mendengarkan, memahami dan melaksanakan sabda Tuhan dengan baik. Sebab, akal budi dan kebijaksanaan akan menjauhkan kita dari sikap yang kaku dan legalis terhadap hukum dan peraturan agama yang merupakan salah satu isi dari sabda Tuhan. Maka, orang yang mampu mendengarkan sabda Tuhan dengan akal budi dan kebijaksannnya akan terhindar dari sikap munafik seperti orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat yang ditegur secara keras oleh Yesus.
Dalam bacaan Injil tadi, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mengkritik murid-murid Yesus yang makan dengan tangan najis, yaitu tanpa dicuci terlebih dahulu. Kritikan ini, sebenarnya bisa ditanggapi dengan baik, karena mencuci tangan sebelum makan itu baik untuk kesehatan. Namun, konteks kritikan itu disampaikan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang selalu mencari-cari kekurangan Yesus dan berupaya menjatuhkan-Nya. Maksud mereka bukan demi kebaikan tetapi untuk memperburuk citra Yesus di mata para pengikut-Nya. Maka, Yesus membuka kedok mereka dengan mengutip nubuat Yesaya, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia....Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.” (Mrk 7:6-9). Dari sinilah, Yesus kemudian berbicara mengenai inti pokok persoalan, yakni kenajisan. Yesus mengajak mereka untuk memahami hukum kenajisan secara bijaksana dalam terang akal budi.
Najis berarti tidak kudus, tidak layak di hadapan Tuhan. Selama itu, orang Israel mengaitkan kenajisan dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya. Artinya, orang menjadi najis ketika bersentuhan dengan barang atau orang yang najis, misalnya: wanita haid, orang kusta, orang mati, dan binatang tertentu. Oleh karena itu, orang-orang di zaman Yesus diharuskan mencuci tangan sepulang dari pasar, karena siapa tahu barang yang mereka beli pernah disentuh orang yang najis atau siapa tahu mereka di pasar bersenggolan dengan barang dan orang najis.
Yesus merombak itu semua. Ia berkata kepada orang banyak: Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya (Mrk 7:14-15). Yesus memberikan makna baru mengenai kenajisan. Seseorang menjadi tidak kudus dan tidak layak di hadapan Tuhan, bukan karena makanan yang dimakan, tetapi karena pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” yang keluar melalui pikiran, mulut dan tindakan (Mrk 7:20-23). Semua yang disebutkan Yesus ini merupakan contoh-contoh kejahatan yang membuat manusia tidak kudus dan tidak layak di hadapan Tuhan.
Demikianlah kita mencoba mengaitkan antara sabda Tuhan, yang salah satunya berisi hukum/peraturan, dengan akal budi dan kebijaksanaan yang merupakan salah satu kekhasan jati diri kita sebagai manusia. Di satu sisi, dengan akal budi dan kebijaksanaan, kita akan dapat mendengarkan, memahami dan melakukan sabda Tuhan dengan baik. Di sisi lain, kesetiaan kita untuk mendengarkan, merenungkan, memahami dan melakukan sabda Tuhan akan semakin mempertajam akal budi dan meningkatkan kebijaksanaan kita.
Kepada kita, sabda Tuhan memberikan informasi mengenai hal-hal baik yang harus kita lakukan sesuai kehendak Tuhan sekaligus mengenai hal-hal jahat yang harus kita hindari supaya kita tetap kudus dan layak di hadapan Tuhan. Tidak hanya itu, sabda Tuhan juga memberi daya transformasi yang memampukan kita untuk mengubah hidup kita menjadi lebih baik, lebih mencintai Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, pada Bulan Kitab Suci Nasional ini, marilah kita semakin mencintai Kitab Suci dengan semakin tekun membaca/mendengarkan, merenungkan dan melaksanakannya.
Berbahagialan orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.

Rm. Ag. Agus Widodo, Pr

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy