Berpeganglah pada ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya." (Ulangan 4:40)
| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |
| Meditasi Antonio Kardinal Bacci |
Lumen Christi | Facebook
| Gabung Saluran/Channel WhatsApp RenunganPagi.ID
CARI RENUNGAN
MINGGU BIASA XXVIII/B – Minggu, 14 Oktober 2012
MINGGU BIASA XXVIII/B – Minggu, 14 Oktober 2012
Keb 7:7-11; Ibr 7:12-13; Mrk 10:17-30
Tanggal 11 Oktober 2012 kemarin, baru saja dibuka Tahun Iman
dan akan terus berlangsung sampai 24 November 2013 yang akan datang. Selama Tahun
Iman, kita diajak meneladan wanita Samaria untuk pergi ke sumur dan menimba air
kehidupan, tidak hanya sekali namun berkali-kali. Salah satu sumur, di mana
kita setiap saat bisa menimba air kehidupan adalah Kitab Suci. Setiap kali kita
membaca dan merenungkan isinya, kita akan selalu mendapatkan inspirasi, terang,
dan pencerahan yang menuntun kita di jalan yang benar untuk menuju dan masuk ke
dalam Kerajaan Allah. Maka, kita diajak untuk sesering mungkin pergi ke sumur
iman kita, yakni Kitab Suci dan menimba kekayaan iman di dalamnya. Pesan dan
ajakan ini ditegaskan oleh bacaan-bacaan hari ini.
Bacaan kedua (Ibr 4:12-13) menegaskan bahwa Firman Tuhan itu
hidup dan kuat, sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita (ay.12). Dengan
kata lain, Firman Tuhan adalah sumber kebijaksanaan yang harus kita cintai. Menurut
bacaan pertama (Keb 7:7-11) kebijaksanaan itu harus kita kasihi dan kita “utamanakan
lebih daripada tongkat kerajaan dan tahta; ... kekayaan, ... permata, ... emas,
... perak; kesehatan dan keelokan rupa” (ay. 8.9.10). Kalau kita berani seperti Salomo,
yaitu mengutamakan kebijaksanaan hidup, pasti harta duniawi datang dengan
sendirinya (1Raj 3:11-14).
Kebijaksanaan
hidup seperti ini, kalau kita terapkan dalam hidup sehari-hari, salah satunya
bermakna demikian: Kita hidup dan bekerja, bukan pertama-tama dan semata-mata
untuk mendapat harta kekayaan dan menumpuknya tetapi terutama untuk mengabdi
Tuhan dan melayani sesama. Sikap hidup seperti ini akan membuat kita lebih
mudah bersyukur atas apa pun yang diberikan Tuhan kepada kita, entah banyak
entah sedikit. Kita juga tidak akan “ngaya”
untuk mendapatkan dan menumpuk harta sebanyak mungkin, sehingga terhindar dari
cara-cara yang tidak benar. Kita juga tidak mudah iri hati atas apa yang
diperoleh orang lain tetapi justru ikut mensyukurinya. Dan yang lebih penting,
kita akan lebih mudah dan rela berbagi atas apa yang kita miliki kepada
orang-orang yang membutuhkan.
Sikap berbagi inilah yang dituntut oleh Yesus dan merupakan
syarat untuk masuk Kerajaan Allah dan mendapatkan harta di surga. Memang, sikap
menjadi seperti anak kecil – artinya pasrah dan mengandalkan diri secara penuh kepada
Tuhan, seperti seorang anak yang pasrah dan mengandalkan diri pada orangtuanya,
sebagaimana diuraikan dalam Injil Minggu lalu (Mrk 10:2-16), itu penting. Hal ini
harus menjadi sikap dasar iman kita. Namun, itu saja tidak cukup. Pasrah dan
mengandalkan Tuhan, tidak berarti kita hanya diam saja dan tidak berbuat
apa-apa, tetapi kita harus aktif dan berusaha. Maka, Yesus meminta kita, “Pergilah,
juallah apa yang kaumiliki, dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin. Maka,
engkau akan memperoleh harta di surga. Kemudian datanglah kemari dan mengikuti
Aku” (Mrk 10:21).
Dalam Injil hari ini, hal masuk Kerajaan Allah atau
memperoleh harta di surga, dikaitkan dengan sikap lepas bebas, tidak terlekat
pada harta milik tetapi rela dan mau berbagi harta milik atau kekayaan. Orang yang
rela berbagi harta milik kepada orang-orang miskin adalah orang-orang yang
merintis jalan ke surga dan akan memasuki Kerajaan Allah. Sebaliknya, orang
yang tidak mau berbagi harta milik berarti pergi menjauh dari Kerajaan Allah
seperti yang dilakukan pemuda kaya dalam Injil tadi (Mrk 10:22).
Kita masing-masing, entah banyak atau sedikit, entah besar
atau kecil, pasti mempunyai harta kekayaan. Wujudnya tidak selalu uang atau barang
tetapi bisa berupa bakat, keterampilan, atau keutamaan tertentu. Atas apa yang
kita miliki, atau lebih tepatnya atas apa pun yang dianugerahkan Tuhan untuk
menjadi milik kita, marilah kita syukuri. Bersyukur berarti kita mengarahkan
pandangan ke surga. Namun, supaya kita tidak hanya memandang saja tetapi
diperkenankan masuk ke dalamnya, kita harus rela berbagi. Kemauan untuk berbagi
ini tidak usah menunggu sampai kita mempunyai harta melimpah. Ingat,
persembahan janda yang memberi dari kekurangannya (Luk 21:2-4).
Meskipun demikian, perihal masuk Kerajaan Allah dan hidup
kekal itu tidak bisa diklaim sebagai usaha kita tetapi mutlak anugerah Tuhan. Dengan
usaha dan kekuatan sendiri, kita tidak mungkin mendapatkannya. Mengapa? Sedikit
saja kita berbuat baik, ternyata kita lebih banyak berbuat dosa. Kita ber-amal sedikit saja, ngomel-nya jauh lebih banyak. Sedikit saja kita memberi, ternyata
Tuhan jauh lebih banyak memberi kepada kita. Maka, sampai kapan pun usaha kita
tidak akan cukup untuk masuk surga. Kita pun bertanya seperti para murid, “Kalau
Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” Yesus pun memandang kita yang
telah berusaha hidup bijaksana, penuh syukur dan rela berbagi ini sambil
berkata, “Bagi manusia, hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi
Allah. Sebab, bagi Allah, segala sesuatu adalah mungkin”. Termasuk membuat kita
yang tidak mungkin selamat ini menjadi selamat.
Untung dan syukur, Tuhan itu mahabaik. Kalau Tuhan kita
begitu baik, lantas bagaimana sikap dan tanggapan kita?
RD. Ag. Agus Widodo
terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati