MINGGU BIASA
XXIX/B - 21 Oktober 2012
Yes 53:10-11;
Ibr 4:14-16; Mrk 10:35-45
Sejak zaman dahulu sampai sekarang, selalu saja ada orang yang berhasrat untuk memiliki kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan. Kalau, kedudukan dan kekuasaan itu sudah dimiliki, kencenderungannya adalah minta dilayani, bukan melayani. Para rasul, yg sudah mendapat tempat istimewa di hadapan Yesus pun tidak terluput dari kecenderungan ini. Injil hari ini mengisahkan Yohanes dan Yakobus yang menginginkan duduk sebelah-menyebelah dengan Yesus apabila Ia kelak bertahta dalam kemuliaan.
Permintaan
dua bersaudara ini kiranya mengacu pada apa yang dikatakan Yesus sebelumnya,
bahwa kelak, setelah menderita sengsara, wafat, bangkit dan naik ke surga, Ia akan
datang kembali dengan kemuliaan (Mrk 8:28; bdk. Mrk 13:26; 20:22). Selain itu,
mereka sendiri pernah menyaksikan bagaimana Yesus dipermuliakan di atas gunung (Mrk
9:2-8). Maka, wajar jika mereka berangan-angan untuk ikut menikmati kemuliaan
sorgawi yang dimiliki Yesus. Bukankah kita juga mengharapkan hal yang sama,
yakni kelak diperkenankan mengalami kemuliaan abadi di surga?
Yesus
sendiri sangat mengerti permintaan Yohanes dan Yakobus tersebut. Tentu saja, Ia
juga mengerti harapan kita akan hal yang sama. Maka, Yesus kemudian “ndunungke” permintaan tersebut. Pertama, Ia menegaskan bahwa hal
memperoleh kemuliaan abadi itu bukanlah upah tetapi anugerah yang tergantung secara
mutlak pada kehendak Bapa (Mrk 10:40). Kita tidak bisa mengandalkan kebaikan
dan jasa-jasa kita atau pun amal baik kita untuk mendapatkan kemuliaan surgawi.
Bukankah amal kita tidak akan pernah mencukupi – karena ngomelnya lebih banyak daripada ngamalnya?
Sekali lagi, kemuliaan abadi adalah anugerah Allah yang diberikan kepada kita,
bukan atas dasar jasa dan perjuangan kita tetapi atas dasar kebaikan dan belas kasih
Allah kepada kita.
Kedua, Yesus hendak
menekankan bahwa masuk surga dan memperoleh kemuliaan surgawi itu tidak boleh
dijadikan tujuan dari perjuangan dan amal baik kita. Perjuangan para murid
untuk meninggalkan segala-galanya dan mengikuti Yesus, serta kesediaan untuk
menderita demi Dia (Mrk 10:28), pasti akan diganjar dengan kehidupan kekal yang
penuh kemuliaan (Mrk 10:30). Namun, janganlah itu dijadikan tujuan. Sebab,
kalau demikian halnya, perjuangan dan hal-hal baik yang kita lakukan
ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan diri kita sendiri.
Misalnya,
kita membantu orang lain dengan tujuan supaya masuk surga. Bukanlah itu sama
saja kita menjadikan orang lain yang kita bantu itu sebagai kendaraan ke surga
bagi kita? Maka, yang ideal adalah kita membantu orang lain sungguh dengan
tulus, tanpa diboncengi kepentingan pribadi, sekalipun itu kepentingan rohani
(masuk sorga). Sebab, jika demikian halnya, apa bedanya kita dengan orang-orang
yang rajin berderma atau membagi-bagikan uang untuk menarik simpati masyarakat
sehingga mendukungnya untuk meraih jabatan tertentu? Bukankah itu berarti
menjadikan orang lain sebagai kendaraan untuk meraih kedudukan?
Maka,
kalau kita membantu/menolong orang lain, hendaknya didorong oleh hati yang
tergerak oleh belas kasih dan diarahkan oleh tujuan demi kebaikan orang yang
kita tolong itu. Soal masuk surga, itu bisa kita andaikan, bahkan kita pastikan
karena sudah dijamin oleh Yesus sendiri. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya
laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau
ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus
kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang,
sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia
akan menerima hidup yang kekal” (Mrk 10:29-30). Karena kehidupan kekal itu
sudah dijamin oleh Yesus, maka janganlah kita jadikan tujuan.
Ketiga, Yesus
menekankan semangat pelayanan. Karena kemuliaan surgawi adalah anugerah, bukan
upah sehingga tidak boleh kita jadikan sebagai tujuan, maka kita harus mengembangkan
semangat pelayanan seperti Yesus sendiri. Ia datang bukan untuk dilayani
melainkan untuk melayani, bahkan menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk 10:45;
bdk. Yes 53:10-11; Ibr 4:15). Dengan karya pelayanan-Nya yang berpuncak pada
salib, Yesus menebus kita. Artinya, Ia membebaskan kita dari kuasa dosa dan
kematian kekal, serta menjamin kehidupan abadi kita.
Semangat
pelayanan yang ditekankan oleh Yesus ini marilah kita hayati dalam setiap sisi
kehidupan kita, baik dalam keluarga, di tempat kerja, di tengah masyarakat, dan
tentu saja dalam kehidupan menggereja. Kalau semangat pelayanan ini kita
terapkan, di mana pun kita berada, kita percaya dunia kita akan menjadi lebih
baik. Suasana kemuliaan dan kebahagiaan surgawi yang kita impikan dengan penuh
pengharapan, akan terwujud di dunia ini sebelum akhirnya kelak kita
mengalaminya setelah kehidupan di dunia ini berakhir. Dengan kata lain, kalau
kita menghayati semangat pelayan dengan sungguh-sungguh, itu berarti kita menghadirkan
surga dalam keluarga kita, tempat kerja kita, masyarakat kita, dan lingkungan
Gereja kita.
RD. Ag. Agus Widodo