HARI MINGGU BIASA XXXII/B - 11 Nopember 2012
1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44
Dua dari tiga bacaan hari ini, yakni bacaan pertama dan
Injil berkisah tentang janda. Dalam bahasa Ibrani, kata janda disebut dengan
istilah “alamah” yang maknanya dekat dengat kata “ilem”, artinya bisu. Hal ini
sesuai dengan kondisi janda pada waktu itu. Dalam tradisi Yahudi, kaum wanita tidak
diperhitungkan dan tidak diberi hak dalam kehidupan bersama (bdk. Mat 14:21). Dalam
berumah tangga, ia tergantung sepenuhnya pada kaum lelaki, entah suami, anak lelaki
atau saudara lelaki. Maka, kalau suaminya meninggal dan ia tidak mempunyai anak
lelaki dewasa serta tidak mempunyai saudara yang mau menanggungnya, ia akan
mengalami kesulitan untuk menopang hidupnya. Hidup sebatang kara, tidak
diperhitungkan dan tidak diberi hak apa pun dalam masyarakat, ditambah lagi
tidak ada yang menjamin kebutuhan hidupnya. Kalau ia mempunyai anak yang masih
kecil, harus menghidupi anaknya seorang diri.
Mengingat kondisi janda yang begitu lemah ini, para janda berhak mendapatkan perlindungan dari
masyarakat. Hukum Taurat dan Kitab para Nabi menegaskan bahwa para janda
harus dilindungi, bukannya malah ditindas. Mereka berhak mendapat bantuan
meteriil (Ul 14:29; Am 2:8). Pada saat panen, mereka mendapat bagian dari hasil
panen (Ul 24:19-21). Bahkan, mereka juga mendapat perlindungan dari
Tuhan Allah sendiri, tidak seorang
pun boleh menindas mereka (Kel 22:22; Yes 1:17.23; 10:2). Tanggungjawab terhadap para janda
yang lemah ini terus diperhatikan oleh Gereja Awal. Maka, para rasul memilih
dan mengangkat tujuh orang yang secara khusus diutus untuk melayani para janda
(bdk. Kis 6:1-7).
Dalam kondisi
normal (seharusnya), para janda memang dilindungi. Namun tak jarang ada banyak
orang yang tega mencari keuntungan material dari kelemahan dan kemiskinan
mereka. Itulah yang
seringkali dilakukan oleh para ahli Taurat. Misalnya, mereka seolah-olah membantu
dan membela para janda tetapi menuntut bayaran. Mungkin juga mereka memintakan bantuan
dari orang-orang kaya dan mengorganisir bantuan untuk para janda tersebut,
tetapi mereka sendiri mengambil keuntungan. Tidak semua bantuan disalurkan
kepada para janda tetapi sebagian (besar) diambil untuk dirinya sendiri. Tindakan-tindakan
seperti inilah yang dikatakan oleh Yesus bahwa mereka “mencaplok rumah
janda-janda” (Mrk 12:40).
Meskipun dalam banyak hal para janda mengalami situasi
yang lemah, namun mereka toh masih bisa mempunyai kekuatan dalam hal iman. Inilah
yang tampak dalam dua tokoh janda yang dikisahkan dalam bacaan pertama dan
Injil hari ini. Kisah janda dalam Injil, yang memberikan persembahan dari
kekurangannya, dari semua yang ada padanya, yakni seluruh nafkahnya,
menunjukkan bahwa ia adalah orang yang beriman (Mrk 12:44). Kendati semua
nafkahnya dipersembahkan sehingga ia tidak punya apa-apa lagi, ia tidak
khawatir karena percaya akan pemeliharaan Tuhan. Hal yang sama dilakukan oleh
seorang janda dari Sarfat yang dikisahkan dalam bacaan pertama. Karena percaya
pada penyelenggaraan dan pemeliharaan Allah, maka ia rela membagikan air dan
roti sedikit yang dimilikinya untuk nabi Elia. Dan betul yang terjadi,
kemurahan-hatinya dan kerelaannya untuk berbagi, tidak membuat apa yang
dimilikinya habis tetapi malah terus ada karena Tuhan menjamin (1Raj 17:11-16).
Maka, pesan pertama dari bacaan-bacaan hari ini adalah kita diajak meneladan
sikap iman kedua janda ini. Kita diajak untuk percaya dan mengandalkan diri
pada pemeliharaan Tuhan. Kendati kita terbatas dan lemah, itu bukan berarti
kita tidak bisa memberi. Kita masih tetap bisa memberi persembahan dan berbagi
dari kekurangan kita. Berbagi tidak akan membuat kita jatuh miskin tetapi
justru akan semakin mempercaya dan menjadikan kita berlimpah berkat.
Pesan yang kedua kita ambil secara khusus dari apa yang
dilakukan janda miskin dalam Injil. “Janda itu memberi dari kekurangannya,
semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya” (Mrk 12:44). Artinya, dengan
memberi pesembahan tersebut, ia tidak mempunyai apa-apa lagi untuk menopang dan
menjamin hidupnya. Bahkan, untuk makan setelah ia pulang dari Bait Allah pun
sudah tidak ada. Kalau Yesus menyampaikan hal ini kepada para murid, tentunya
Ia tidak hanya mengajak mereka untuk meneladan sikap janda miskin ini (pesan
pertama tadi) tetapi lebih dari itu, Yesus mengajak para murid untuk berbuat
sesuatu bagi di janda yang sudah tidak mempunyai apa-apa lagi itu. Artinya,
dengan mengingat warisan iman para leluhur yang menekankan kewajiban untuk
memperhatikan para janda, Yesus mengasah kepekaan para murid dan para pendengar
untuk berbelarasa terhadap para janda dan kaum miskin pada umumnya.
Menurut Mgr. Suharyo, kalau kisah janda miskin ini
dimaknai sebagai tantangan untuk berbelarasa, maka kritik terhadap orang kaya
yang memberikan persembahan dalam jumlah besar (Mrk 12:42) dapat dimaknai
secara sama. Di telinga kita, seolah-olah Yesus berkata: “kae lho, mbok randha kae wus ora duwe apa-apa. Kabeh barang darbeke wus
dipisungsungake. Mosok, kowe mung arep meneng wae?” Lalu, kepada
orang-orang kaya yang memberikan persembahan dalam jumlah besar, Yesus berkata:
“tidak cukup kalian hanya memberikan persembahan dalam jumlah yang besar. Kamu harus
juga berbelarasa dan berbelas kasih kepada orang-orang miskin yang tidak punya
apa-apa, seperti si janda ini”. Sapaan
dan tantangan Yesus ini, tentunya menggerakkan kita untuk berbuat sesuatu atas dasar
belas kasih dan belarasa.
Dengan demikian, dua pesan diberikan kepada kita. Pertama,
kita diajak untuk meneladan sikap iman janda miskin dengan mengandalkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan sehingga tidak ragu untuk memberi kendati kita sendiri
berkekurangan. Kedua, kita diajak untuk berbelarasa dan berbelas kasih dengan berbuat
sesuatu untuk para janda (= orang-orang miskin dan menderita).
RD. Ag. Agus Widodo