Minggu Biasa
XXXI/B – 4 November 2012
Ul 6:2-6;
Ibr 7:23-28; Mrk 12:28b-34
Tidak
terasa, sekarang sudah awal November. Tahun 2012 hampir berakhir dan akan
segera datang tahun 2013. Hari ini kita juga sudah memasuki Pekan Biasa XXXI.
Dua pekan lagi, Tahun Liturgi B ini akan segera berakhir dan berganti dengan
Tahun Liturgi baru, yaitu Tahun C, yang dimulai dengan Hari Raya Kristus Raja
Semesta Alam (25 November 2012). Dalam dinamika waktu yang terus berjalan, kita
diajak membangun harapan seperti yang dinyatakan dalam bacaan I, “supaya lanjut
umurmu dan supaya baiklah keadaanmu” (bdk. Ul 6:2.3).
Supaya di
sepanjang zaman, keadaan kita selalu baik dan umur kita berlanjut dalam
kehidupan abadgi, haruslah kita “berpegang pada segala ketetapan dan perintah
Tuhan ... dan mengasihi Dia dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan
segenap kekuatan” (bdk. Ul 6:2.5). Inilah hukum utama yang pertama sebagaimana
ditegaskan Yesus dalam bacaan Injil (Mrk 12:30). Kemudian, Yesus masih
menambahkan satu lagi hukum utama yang kedua, yakni mengasihi sesama seperti
diri sendiri (Mrk 12:31a).
Dua hukum
kasih, sebagai hukum utama tersebut, disampaikan Yesus untuk menjawab seorang
ahli Taurat yang bertanya, “Perintah manakah yang paling utama?” (Mrk 12:28).
Pertanyaan ini bisa dimengerti mengingat dalam kitab Taurat, seluruhnya ada 613
hukum, 365 di antaranya berupa larangan dan yang 248 berupa perintah. Yesus
menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip Ul 6:4-6 “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu!”. Kemudian, ditambahkan pula kutipan
dari Im 19:18, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” Yesus masih
menegaskan bahwa tidak ada perintah lain yang lebih utama dari pada kedua
perintah itu (Mrk 12:31b).
Perintah
yang pertama, yaitu kasih kepada Allah didahului dengan penegasan mengenai keesaan
Allah (Ul 6:4; Mrk 12:29). Hal ini dimaksudkan untuk menekankan pentingnya
komitmen penuh dalam mengasihi Tuhan. Dia adalah satu-satunya Allah yang harus kita
kasihi dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Kita tidak boleh
mengasihi sesuatu pun yang lain melebihi kasih kita kepada Allah.
Sekarang, apa
artinya mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan? Berdasarkan
keyakinan keagamaan Yahudi pada waktu itu – juga keyakinan kita sekarang – di
dalam hati terletak pusat hidup manusia; di dalam jiwa ada dorongan kehendak;
di dalam akal budi terletak kesadaran, pikiran, dan logika; dan kekuatan
menunjuk pada bakat dan kemampuan dalam berbagai aspek (fisik, ekonomi, sosial,
dll). Dengan menyebut secara lengkap daya
batin dan daya fisik manusia dalam mencintai Allah, hendak ditekankan bahwa
mengasihi Allah bukan sekedar emosi tetapi muncul dari pusat atau kedalaman
hidup kita yang melibatkan kehendak, kesadaran dan tindakan nyata sekaligus. Dengan
ungkapan dan wujud kasih yang total kepada Allah ini, secara tidak langsung
terkandung suatu pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Sumber, Kekuatan dan
Tujuan dari kehidupan manusia.
Kasih kepada
Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan tersebut harus pula
diwujudkan dalam tindakan kasih kepada sesama. “Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri” (Mrk 12:31a). Yang menarik di sini, Yesus menyatakan
bahwa mengasihi
sesama hendaknya dilakukan seperti kita mengasihi diri sendiri. Tindakan “mengasihi
diri sendiri” dalam konteks ini tentu tidak berarti egois tetapi justru merupakan
tindakan syukur kepada Allah yang telah lebih dahulu mengasihi kita. Jika Allah
mengasihi kita, tidak ada alasan bagi kita untuk membenci diri. Menurut hukum
yang kedua tersebut, kasih kepada sesama dan kepada diri sendiri dapat berjalan
bersama, bahkan dapat dipakai sebagai ukuran penilaian: “semakin kita mengasihi
diri sendiri, semakin kita mengasihi sesama; semakin kita mengasihi sesama,
semakin kita mengasihi diri sendiri.”
Menurut Injil
Markus, kedua hukum kasih ini mengatasi semua kurban bakaran dan kurban lainnya
(Mrk 12:32-33). Kasih
bukan hanya inti dari hukum Taurat dan ajaran para nabi, tetapi juga inti dari
ajaran dan misi Yesus di dunia ini. Karya penebusan kita dari kuasa dosa dan
kematian oleh Yesus merupakan perwujudan kasih yang tak terhingga dari Allah
kepada umat-Nya. Kasih bukan sekedar upaya manusia tetapi juga anugerah yang
berasal dari Allah (1Yoh 4:7). Karena berasal dari Allah, maka kasih mempunyai
sifat “tak berkesudahan” (1Kor 13:8). Bahkan, kasih itu lebih besar daripada iman dan
harapan.
“Demikianlah tinggal ketiga hal ini,
yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah
kasih.” (1Kor 13:13). Iman ada selesainya, yaitu ketika kita sudah
melihat dan bersatu dengan Tuhan yang kita imani. Harapan juga ada selesainya
ketika sudah terpenuhi. Berbeda dengan kasih. Kita ada dan lahir di dunia ini
karena kasih. Selam kita hidup di dunia ini, kita membutuhkan kasih. Setelah,
dipanggil Tuhan, kita pun masih membutuhkan kasih. Dan si surga pun kita akan hidup
dalam persekutuan kasih yang abadi.
Tahun
2012 akan segera berakhir. Demikian pula Tahun Liturgi B ini. Namun kasih Tuhan
kepada kita tidak berkesudahan. Demikian pula (hendaknya) kasih kita kepada
Tuhan dan sesama.
RD.
Ag. Agus Widodo