Hari Minggu Adven II/C
Bar 5:1-9; Flp 1:4-6.8-11; Luk 3:1-6
Bar 5:1-9; Flp 1:4-6.8-11; Luk 3:1-6
Salah
satu hal yang biasanya (=harus) kita lakukan ketika akan menerima kunjungan
dari Bapa Uskup, misalnya dalam rangka penerimaan Sakramen Penguatan, adalah
bersih-bersih. Paling tidak, kita akan membersihkan kompleks Gereja dan
Pastoran, serta tentu saja kamar dan kamar mandi yang akan dipakai oleh Bapa
Uskup. Beberapa ruangan juga akan kita tata dan kita hias sedemikian rupa
sehingga tampak rapi, bersih dan indah.
Sebentar
lagi kita akan merayakan Natal, yakni perayaan kelahiran Tuhan kita Yesus
Kristus. Kita akan menerima kehadiran Tuhan, yang tentu saja jauh lebih Agung
dibandingkan dengan Bapa Uskup. Maka, kalau menerima kunjungan Bapa Uskup saja
kita bersih-bersih dan tata-tata,
maka hal ini juga harus kita lakukan untuk menyambut kedatangan Tuhan. Bahkan,
kita harus melakukannya lebih sungguh-sungguh karena yang akan kita sambut
kedatangan-Nya adalah Tuhan sendiri.
Persiapan
kita untuk menyambut kedatangan Tuhan, pertama-tama dan terutama adalah persiapan
rohani, yakni membersihkan hati dan menata hidup kita. Inilah yang oleh St.
Yohanes disampaikan dengan ajakan “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis!”
(Luk 3:3). Dalam konteks pada masa itu, pembaptiskan dikaitkan dengan ritus
pentahiran. Melalui baptis, seseorang dibasuh dan dibersihkan dari dosa-dosanya
untuk kemudian membuka lembaran hidup yang baru, yakni hidup sebagai anak-anak
Allah. Dalam konteks kita saat ini, kita semua sudah dibaptis dan sudah menjadi
anak-anak Allah. Namun, kita menyadari bahwa meskipun kita sudah dibasuh dan
dibersihkan dari dosa, kita masih sering melakukan dosa. Meskipun kita sudah
diangkat menjadi anak Allah, sering/kadang kita meninggalkan Allah seperti anak
yang hilang (Luk 15:11-32) atau domba yang tersesat (Luk 15:1-7). Dengan demikian,
ajakan St. Yohanes untuk bertobat ini selalu relevan untuk kita.
Bertobat
bukan sekedar kapok untuk berbuat dosa dan kesalahan, apalagi kalau alasannya
hanya karena takut dihukum Tuhan. Memang, membersihkan diri dari dosa dan
berusaha menghindari dosa merupakan salah satu aspek dari pertobatan. Akan tetapi,
aspek terdalam dari pertobatan adalah berbalik kembali kepada Allah yang telah
kita tinggalkan seperti kembalinya di anak hilang (Luk 15:11-32) dan membiarkan
diri ditemukan oleh Tuhan serta dituntun-Nya kembali ke jalan yang benar
seperti domba sesat yang ditemukan dan dipanggul-Nya untuk disatukan kembali
dengan kawanan (Luk 15:1-7).
Usaha
pertobatan tersebut dapat kita lakukan dengan mengikuti ajakan St. Yohanes: “Siapkanlah
jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya, setiap lembah akan ditimbun,
setiap gunung dan bukit akan diratakan. Yang berliku-liku akan diluruskan, yang
berlekuk-lekuk akan diratakan” (Luk 3:4-5). Mengapa sebagai bentuk pertobatan
kita harus menyiapkan jalan bagi Tuhan dan meluruskan jalan bagi-Nya? Ya,
seperti yang dinyatakan di atas, bertobat berarti berjalan bersama Tuhan dan
membiarkan diri dibimbing oleh-Nya (Sebaliknya, berdosa berarti berjalan
bersama setan dan membiarkan diri dibimbing oleh setan). Dari pihak Tuhan sudah
jelas, Ia telah membuka jalan bagi kita; Ia telah berkenan mendatangi kita. Sekarang,
tinggal kita-nya. Supaya kita bisa berjumpa dengan Tuhan dan berjalan
bersama-Nya, atau lebih tepat-Nya dibimbing oleh-Nya, kita harus mempersiapkan dan
meluruskan jalan itu. Kalau selama ini jalan kita berliku-liku karena membuat
banyak belokan dan menyimpang dari jalan Tuhan (Jw: tlencengan), mari kita luruskan dengan kembali ke jalan Tuhan. Kalau
selama ini jalan kita banyak lubangnya, misalnya bolong-bolong dalam berdoa dan
ber-Ekaristi, mari kita timbun dengan cara lebih tekun dan setia berdoa dan
ber-Ekaristi. Kalau sikap dan tutur kata kita sering keladuk sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, mari kita
ratakan dengan lebih berhati-hati dalam sikap dan tutur kata.
Selain itu,
pertobatan sebagai hidup bersama Tuhan dan membiarkan diri dibimbing oleh Tuhan,
juga tampak dalam sikap dan usaha untuk bertekun megembangkan cinta kasih, cakap
memilih apa yang baik, mengusahakan kekudusan, dan menghasilkan buah kebenaran (bdk.
Fil 1:9-11). Dengan demikian, pertobatan bukan sekedar perubahan pikiran tetapi
menuntut pula usaha yang nyata. Cinta kasih, jelas tidak cukup hanya dikatakan
tetapi harus diwujudkan dalam tindakan memberi dan rela berkorban seperti yang
dilakukan Allah sendiri. “Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Memilih apa yang baik juga merupakan tindakan konkret. Kita seringkali
berhadapan dengan banyak pilihan yang tidak semuanya baik. Seringkali pilihan-pilihan
yang tidak baik itu justru tampaknya lebih menarik, menggoda dan menggiurkan. Kalau
kita membiarkan diri dibimbing oleh Tuhan, tentu kita akan memilih hanya yang
baik dan mewujudkannya secara
nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Usaha untuk selalu memilih dan melakukan
yang baik ini akan membawa kita pada kesucian hidup dan pada akhirnya kita akan
menghasilkan dan menikmati buah kebenaran. Nah, apakah buah dari kebenaran itu?
Buah dari kebenaran adalah damai sejahtera (Bar 5:4).
Semoga, dengan
usaha-usaha pertobatan yang konkret ini, hidup kita menjadi semakin bersih dan
tertata, jalan hidup kita menjadi semakin rata dan lurus sehingga semakin
pantas merayakan Natal. Dengan demikian, Natal yang merupakan peristiwa iman di
mana Tuhan berkenan “menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14)
sungguh-sungguh berbuah dalam kehidupan kita. Kita semakin jenak berjalan bersama Tuhan (bukan bersama setan) dan kita semakin
membiarkan diri dibimbing oleh Tuhan (bukan oleh setan) sehingga mengalami damai
sejahtera. Damai sejehtera dalam relasi dengan sesama sekaligus damai sejahtera
dalam relasi kita dengan Tuhan.
RD. Ag. Agus Widodo