| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Katekese Tahun Iman

“Saya mengumumkan tahun yang spesial ini dalam surat Apostolik Porta Fidei (Pintu Kepada Iman), agar Gereja dapat memperbaharui antusiasme dalam percaya kepada Yesus Kristus, satu-satunya Penyelamat dunia, agar Gereja dapat membangkitkan sukacita dalam berjalan di jalan yang telah Ia tunjukkan kepada kita, dan agar Gereja dapat menjadi saksi yang nyata bagi kekuatan iman yang mengubah ” – Paus Benediktus XVI
 
Setiap hari Rabu selama Tahun Iman, Bapa Suci Paus Benediktus XVI selalu mengadakan audiensi dan memberikan katekese tentang Iman. Penulis akan menampilkan beberapa kutipan yang telah diterjemahkan dari teks audiensi beliau ( sumber teks audiensinya ada di website vatikan : http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/audiences/2012/index_en.htm ).
Semoga hal tersebut dapat semakin memperkaya dan menguatkan iman kita dalam Yesus Kristus!
 
 
Katekese Tahun Iman : Perkenalan
 
“Melalui wahyunya, Allah sesungguhnya mengkomunikasikan dirinya kepada kita, menceritakan dirinya dan membuat diri-Nya terjangkau. Dan kita dimampukan untuk mendengar Sabda-Nya dan menerima kebenaran-Nya. Ini adalah keajaiban iman : Allah, dalam kasih-Nya, menciptakan didalam kita – melalui tindakan Roh Kudus – kondisi yang pantas bagi kita untuk mengenali Sabda-Nya. Allah sendiri, dalam hasrat-Nya untuk menunjukkan diri-Nya, datang berhubungan dengan kita, menghadirkan diri-Nya didalam sejarah kita, memampukan kita untuk mendengar dan menerimaDia. St. Paulus mengungkapkan hal ini dengan sukacita dan syukur dalam kata-kata berikut :”Dan kami juga berterima kasih secara terus menerus kepada Allah karena hal ini, yaitu ketika kamu menerima Sabda Allah yang kamu dengar dari kami, kamu menerimanya bukan sebagai perkataan manusia tapi sebagai apa adanya, yaitu sabda Allah, yang bekerja di dalam engkau orang beriman” (1 Thes 2 : 13)”
 
“Tapi dimana kami bisa menemukan rumusan iman yang esensial? Dimana kami bisa menemukan kebenaran-kebenaran yang dengan setia telah diteruskan kepada kami dan yang menjadi terang bagi kehidupan kami sehari-hari? Jawabannya sederhana. Dalam syahadat, dalam Pengakuan Iman, kita dihubungkan kembali dengan peristiwa asali Pribadi dan Sejarah Yesus dari Nazareth; apa yang dikatakan rasul non yahudi kepada umat Kristen di Korintus terjadi :”Pada tempat pertama, aku menyampaikan kepadamu apa yang telah kuterima sendiri, bahwa Kristus wafat bagi dosa-dosa kita seperti yang dikatakan Kitab Suci, bahwa Ia dikubur, dan Ia dibangkitkan pada hari ketiga sesuai dengan kitab suci” (1 Kor 15 : 3-5)”
 
“Sekarang juga syahadat perlu diketahui dengan lebih baik, dipahami dan didoakan. Penting sekali bahwa syahadat harus “dikenali”. Memang, mengetahui merupakan semata-mata kerja intelek, sementara “mengenali” berarti perlunya menemukan ikatan yang mendalam diantara kebenaran yang kita akui dalam Syahadat dan keberadaan sehari-hari, agar kebenaran-kebenaran ini dapat sungguh dan menjadi … terang  bagi langkah-langkah kita melalui kehidupan, air yang mengairi kekeringan yang membentang di jalan kita, kehidupan yang menjadi lebih baik dari area-area kehidupan yang kering sekarang ini.”
 
“Orang Kristen sering tidak mengetahui inti iman katolik mereka, Syahadat, karenanya mereka memberikan ruang bagi sinkretisme dan relativisme religius tertentu, mengaburkan kebenaran untuk beriman juga keunikan keselamatan Kekristenan. Resiko membuat-buat agama “lakukan bagi dirimu sendiri” tidak begitu jauh sekarang ini. Kita harus kembali kepada Allah, kepada Allah Yesus Kristus, kita harus menemukan kembali pesan injil dan menjadikannya suara hati dan kehidupan sehari-hari kita lebih mendalam.”
 
 
Katekese Tahun Iman : Apakah Iman itu?
 
“Kita tidak hanya memerlukan roti, kita memerlukan cinta, makna dan harapan, fondasi yang kokoh, tanah yang kuat yang membantu kita menghidupi dengan makna autentik bahkan di masa-masa krisis, dalam kegelapan, dalam kesulitan, dan dalam masalah sehari-hari. Iman memberikan kita hal ini : iman adalah penyerahan yang yakin kepada “Engkau”, yang adalah Allah, yang memberikan aku kepastian yang berbeda, tapi tidak kurang kokoh daripada sesuatu yang berasal dari kalkulasi atau ilmu pengetahuan. Iman bukan semata-mata persetujuan intelektual tentang Allah, iman adalah tindakan yang dengannya aku mempercayakan diriku dengan bebas kepada Allah yang adalah bapa dan yang mencintai aku; iman adalah ketaatan kepada “Engkau” yang memberikanku harapan dan kepercayaan.”
 
“Iman berarti percaya dalam cinta Allah yang tidak pernah berkurang dalam menghadapi kejahatan manusia, dalam menghadapi keburukan dan kematian, tapi iman sanggup mengubah setiap jenis perbudakan, memberikan kita kemungkinan keselamatan. Memiliki iman, berarti bertemu dengan “Engkau” yang ini, Allah, yang mendukung dan memberikan aku janji akan kasih yang tak terhancurkan yang tidak hanya mengaspirasi kepada kekekalan tapi memberikannya; beriman berarti mempercayakan diriku kepada Allah dengan sikap seorang anak, yang tahu dengan baik segala kesulitannya, semua permasalahannya dipahami dalam ke-Engkau-an dari ibunya.”
 
“Percaya dalam tindakan Roh Kudus harus selalu mendorong kita untuk pergi dan mewartakan Injil, menjadi saksi iman yang berani; tapi, selain dari kemungkinan adanya tanggapan positif terhadap karunia iman, juga ada kemungkinan penolakan terhadap Injil, kemungkinan untuk tidak menerima pertemuan penting dengan Kristus. St. Augustinus sudah menyatakan masalah ini dalam salah satu komentarnya terhadap perumpamaan Penabur. “Kita berbicara”, ia berkata, “kita menebar benih, kita menaburkan benih. Ada orang yang mengejek kita, mereka yang mengolok-olok kita, mereka yang mencemoohkan kita. Bila kita takut pada mereka kita tidak memiliki apapun untuk ditabur dan pada hari panen kita tidak akan menuai hasil panen. Karenanya semoga benih didalam tanah yang baik dapat bertumbuh” (Discourse on Christian Discipline, 13,14: PL 40, 677-678). Penolakan, karenanya tidak dapat melemahkan kita. Sebagai orang Kristen, kita adalah bukti dari tanah yang subur ini. Iman kita, bahkan dengan kelemahan-kelemahan kita, menunjukkan bahwa ada tanah yang baik, dimana benih Sabda Allah menghasilkan buah keadilan, kedamaian, cinta, kemanusiaan dan keselamatan yang melimpah. Dan seluruh sejarah Gereja, dengan semua persoalannya, juga menunjukkan bahwa ada tanah yang baik, bahwa ada benih yang baik dan benih tersebut menghasilkan buah.”
 
“Percaya berarti mempercayakan diri sendiri dalam kebebasan yang penuh dan dengan suka cita kepada rencana penyelenggaraan Allah bagi sejarah, seperti Bapa Abraham, seperti Maria dari Nazareth. Iman, karenanya, adalah persetujuan yang dengan pikiran dan hati kita mengucapkan “Ya” mereka kepada Allah, mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. Dan “Ya” ini mengubah kehidupan, menyingkapkan jalan kepada kepenuhan makna, dan menjadikannya baru, kaya dalam sukacita dan pengharapan yang dapat dipercaya.“
 
 
Katekese Tahun Iman : Iman Personal dan Iman Gereja
 
“Apakah iman hanya memiliki hakekat yang personal atau individual? Apakah iman hanya mempedulikan diriku sendiri? Apakah aku menghidupi imanku saja? Tentu, tindakan iman adalah tindakan yang sangat personal; ia terjadi di bagian paling dalam dari diri kita dan menandakan perubahan melalui pertobatan personal. Hidupku lah yang berubah, yang diberikan arah yang baru. Dalam ritus baptisan, pada saat pengucapan janji baptis, selebran bertanya demi sebuah pengakuan iman katolik dan merumuskan tiga pertanyaan : Apakah kamu percaya pada Allah Bapa yang Maha kuasa? Apakah kamu percaya pada Yesus Kristus Putra Tunggal-Nya? Apakah kamu percaya pada Roh Kudus? Pada masa kuno tiga pertanyaan ini ditujukan kepada orang yang akan menerima baptisan sebelum dicelupkan tiga kali ke dalam air. Dan sekarang, jawabannya tetap satu dan sama : “Aku percaya”. Tapi iman milikku ini bukan hasil dari refleksiku sendiri, iman milikku ini bukan hasil dari pemikiranku, melainkan adalah buah sebuah hubungan, sebuah dialog, dimana ada pendengar, penerima dan orang yang memberikan jawaban, iman milikku ini adalah komunikasi bersama Yesus yang menarikku keluar dari “Aku”yang mengisi didalam diriku untuk terbuka pada kasih Allah, Bapa.”
 
“Aku tidak bisa membangun iman pribadiku dalam dialog pribadi bersama Yesus, karena iman diberikan kepadaku oleh Allah melalui komunitas umat beriman yang adalah Gereja dan melemparkan aku ke dalam sekumpulan orang beriman, ke dalam sebuah persekutuan yang tidak hanya bersifat sosiologis tapi juga berakar dalam kasih Allah yang kekal yang ada dalam diri-Nya persekutuan Bapa, Putra dan Roh Kudus, yang adalah Kasih Trinitarian. Iman kita sungguh personal, hanya bila ia juga komunal : ia bisa menjadi imanku saja bila ia berdiam didalamnya dan bergerak bersama “Kami” nya Gereja, hanya ini adalah iman kita, iman bersama dari Satu Gereja.”
 
““Tidak seorangpun memiliki Allah sebagai Bapa-Nya, bila ia tidak memiliki Gereja sebagai Ibu-Nya” (St. Cyprian) (no 181). Karenanya, iman lahir didalam Gereja, menuntun kepada Gereja dan hidup di dalamnya. Ini penting untuk diingat.”
 
“Gereja, karenanya, sejak awal mula adalah tempat bagi iman, tempat bagi penyampaian iman, tempat dimana, melalui baptisan, kita dicelupkan ke dalam Misteri Paskah Kematian dan Kebangkitan Kristus, yang membebaskan ktia dari perbudakan dosa, memberi kita kebebasan sebagai anak dan memperkenalkan kita kepada persekutuan dengan Allah Tritungal. Pada saat yang sama, kita dicelupkan juga ke dalam persekutuan berasam saudara saudari dalam iman, bersama seluruh Tubuh Kristus, dibawa keluar dari isolasi kita.”
 
“Ada rantai yang tak terputus dalam kehidupan gereja, dalam proklamasi Sabda Allah, dari perayaan Sakramen-sakramen, yang telah turun kepada kita dan yang kita sebut Tradisi. Tradisi memberikan kita jaminan bahwa apa yang kita percaya adalah pesan asli Kristus, yang dikotbahkan oleh Para Rasul.”
“Seorang Kristen yang membiarkan dirinya dibimbing  dan dibentuk secara bertahap oleh iman Gereja, walaupun ia memiliki kelemahan, keterbatasan, dan kesulitannya, ia menjadi seperti jendela yang terbuka kepada terang Allah yang hidup, menerima terang ini dan menyebarkannya kepada dunia”
 
 
Katekese Tahun Iman : Kerinduan akan Allah
 
Perjalanan refleksi yang kita lakukan bersama pada tahun iman ini membawa kita untuk meditasi terhadap aspek yang mengagumkan dari pengalaman manusia dan pengalaman Kristiani : Manusia membawa didalam dirinya kerinduan yang misterius akan Allah…Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya. Hanya dalam Allah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicarinya terus-menerus (KGK No 27).
 
Hasrat atau kerinduan manusia selalu cenderung bergerak ke arah harta yang berwujud, yang seringkali jauh dari hal yang rohani, dan karenanya masih dihadapkan pada pertanyaan apa yang sungguh baik, dan sebagai akibat dari konfrontasi dirinya sendiri dengan sesuatu yang lain dari dirinya, sesuatu yang tidak bisa diciptakan manusia, tetapi manusia dipanggil kepadanya untuk mengenalinya. Apa yang sungguh dapat memuaskan hasrat manusia?
Bila apa yang aku alami bukan ilusi semata, bila aku sungguh menginginkan kebaikan orang lain sebagai jalan menuju kebaikanku, maka aku harus rela mendesentralisasi diriku, menempatkan diriku demi pelayanan orang lain sampai pada titik penyerahan diriku.
 
Manusia, mengetahui apa yang tidak dapat memuaskan [hasratnya], tapi tidak bisa membayangkan atau mendefinisikan sesuatu yang membuat ia mengalami kebahagiaan yang dirindukan oleh hatinya. Seseorang tidak bisa mengetahui Allah, mulai secara sederhana dengan kerinduan manusia.
Dari sudut pandang ini misteri tetap ada : manusia mencari yang Absolut, dalam langkah yang kecil dan tidak pasti. Dan pengalaman akan kerinduan, “hati yang gelisah”, seperti yang dikatakan St. Augustinus, sangatlah penting. Ini membuktikan bahwa manusia, jauh di lubuh hatinya, adalah makhluk yang religius (cf. Catechism of the Catholic Church, 28), pengemis dihadapan Allah…Mata mengenali objek ketika objek tersebut diterangi oleh terang. Karenanya hasrat untuk mengenal terang itu sendiri, yang membuat hal-hal duniawi bersinar dan karenanya menerangi kesadaran akan keindahan.
Kita tidak seharusnya melupakan dinamisme hasrat yang selalu terbuka kepada penebusan. Bahkan ketika hasrat [atau kerinduan] mengambil jalan yang salah, mengejar surga yang dangkal dan tampak kehilangan kemampuan untuk  merindukan kebaikan yang sejati. Bahkan di dalam lembah dosa percikan api [kerinduan] tersebut masih hidup di dalam hati manusia yang memampukan manusia untuk mengenali kebaikan yang sejati, untuk  merasakannya, dan memulai kembali pendakian ke atas, dimana Allah, dengan karunia rahmat-Nya, tidak pernah gagal menolong manusia.
 
Semua orang perlu menginjak jalan pemurnian dan penyembuhan hasrat. Kita adalah peziarah di jalan menuju kampung halaman surgawi, menuju kepada kepenuhan, kebaikan yang kekal, yang tidak ada apapun yang dapat mengambilnya dari kita. Ini bukan persoalan tentang menyesakkan hasrat yang ada dalam hati manusia, tapi ini adalah tentang membebaskannya, agar ia dapat mencapai ketinggiannya yang sebenarnya. Ketika hasrat terbuka bagi Allah, ini sudah merupakan tanda kehadiran iman di dalam jiwa, iman yang adalah rahmat Allah
 
 
Katekese Tahun Iman : Jalan Setapak Menuju Allah : Dunia, Manusia, dan Iman
 
Bahwa Inisiatif Allah selalu mendahului tiap tindakan manusia, bahkan dalam perjalanan menuju kepada-Nya, adalah Ia yang pertama kali menerangi kita, membimbing dan menuntun kita, selalu menghargai kebebasan kita. Dan Ia selalu mengijinkan kita masuk ke dalam keintiman-Nya, menyatakan dan menghadiahi dirinya bagi kita rahmat untuk sanggup menyambut pewahyuan dalam iman. Jangan pernah melupakan pengalaman St. Augustinus : bukan kita yang mencari atau memiliki kebenaran, tapi Kebenaran lah yang mencari dan memiliki kita.
 
Kesulitan dan pencobaan masa sekarang tidaklah kurang bagi iman,yang seringkali dipahami secara dangkal, ditantang, atau ditolak. “Selalu siap sedialah untuk menanggapi, tapi dengan kelembutan dan rasa hormat, kepada siapapun yang menanyakan harapan yang ada di dalam hatimu” (1 Pet 3 : 15). Di masa lalu, di Barat, dalam masyarakat yang dianggap Kristen, iman adalah lingkungan dimana kita bergerak, petunjuk dan kepatuhan kepada Allah, bagi sebagian besar orang merupakan bagian kehidupan sehari-hari. Mereka yang tidak percaya lah yang harus membenarkan ketidakpercayaan mereka. Di dunia kita, situasi telah berubah, dan secara meningkat,  orang percaya harus sanggup memberikan alasan bagi imannya.
 
Pada waktu kita sekarang terdapat fenomena yang berbahaya bagi iman; ada fakta sebuah bentuk ateisme yang kita definisikan sebagai “praktis” yang tidak menolak kebenaran-kebenaran iman atau ibadah-ibadah religius tetapi dengan mudah menganggap itu semua tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, terlepas dari hidup, tidak berguna. Seringkali, kemudian, orang-orang percaya kepada Allah dengan cara yang mudah, tetapi hidup “seolah-olah Allah tidak ada” (etsi Deus non daretur). Pada akhirnya, cara hidup seperti ini lebih menghancurkan karena membawa kepada sikap acuh tak acuh terhadap iman dan pertanyaan mengenai Allah.
 
Jawaban apa yang harus iman berikan dengan lemah “lembut dan rasa hormat” kepada ateisme, skeptisisme, dan keacuhan terhadap dimensi vertikal, agar manusia jaman sekarang dapat terus menanyakan tentang eksistensi Allah dan berjalan sepanjang jalan yang menuntun kepada-Nya? Aku akan menyebutkan beberapa jalan, yang dihasilkan dari refleksi alamiah dan kekuatan iman. Aku akan dengan singkat merangkumnya dalam tiga kata : dunia, manusia, dan iman.
 
Pertama : Dunia. St Augustinus, yang dalam hidupnya begitu lama mencari Kebenaran dan ditangkap oleh Kebenaran, memiliki halaman yang indah dan terkenal, dimana ia menegaskan : “Tanyalah akan keindahan bumi, tanyalah akan keindahan laut…tanyakan keindahan langit…tanyakan semua realita ini. Semua menjawab : Lihat, kami begitu indah” Keindahan mereka adalah sebuah pengakuan. Keindahan mereka tunduk pada perubahan. Siapa yang menciptakan mereka jika bukan Ia yang Indah yang tidak tunduk pada perubahan?” “(Sermo 241, 2: PL 38, 1134). Aku pikir kita perlu memulihkan dan mengembalikan kemampuan untuk mengkontemplasikan ciptaan, keindahannya, strukturnya. Dunia bukanlah magma tak berbentuk, tapi semakin kita mengetahuinya, semakin kita menemukan mekanisme yang luar biasa, semakin kita melihat sebuah pola, kita melihat bahwa terdapat inteligensi kreatif.
 
Kata kedua : Manusia. Lagi St Augustinus memiliki kutipan yang terkenal yang mengatakan bahwa Allah lebih dekat kepadaku daripada aku kepada diriku sendiri (cf. Confessions, III, 6, 11). Dari sini ia merumuskan sebuah undangan : “Jangan pergi keluar dari dirimu, kembalilah kedalam dirimu : kebenaran berdiam di hati manusia” (True Religion, 39, 72). Ini merupakan aspek lain yang beresiko untuk hilang di dalam dunia yang berisik dan membingungkan dimana kita tinggal : Kemampuan untuk berhenti dan mengambil pandangan mendalam ke dalam diri kita dan membaca bahwa rasa haus bagi yang tak terbatas yang kita bawa didalam diri kita, mendorong kita untuk pergi lebih jauh dan menuju Seseorang yang dapat memuaskan rasa haus tersebut.
 
Kata ketiga : Iman. Khususnya dalam realita masa sekarang, kita tidak boleh lupa bahwa sebuah jalan kepada pengetahuan dan pertemuan dengan Allah adalah kehidupan iman. Ia yang percaya disatukan dengan Allah, terbuka bagi rahmat-Nya, terbuka pada kekuatan kasih. Jadi keberadannya menjadi saksi bukan demi dirinya sendiri, tapi demi Kristus yang bangkit, dan imannya tidak takut menunjukkan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, imannya terbuka kepada dialog yang mengungkapkan persahabatan mendalam untuk perjalanan setiap manusia, dan mengetahui bagaimana membawa terang harapan kepada kebutuhan akan penebusan, kebahagiaan dan masa depan. Iman, faktanya, adalah pertemuan dengan Allah yang berbicara dan bertindak dalam sejarah dan yang mengubah kehidupan sehari-hari kita, mengubah mentalitas kita, sistem nilai, pilihan dan tindakan. Iman bukan ilusi, pelarian diri, perlindungan yang nyaman, sentimentalitas, tapi keterlibatan dalam setiap aspek kehidupan dan proklamasi Injil, Kabar Baik yang dapat membebaskan semua manusia.
 
Katekese Tahun Iman : Rasionalitas Iman
 
Iman diungkapkan dalam hadiah diri bagi orang lain, dalam persaudaraan yang menciptakan solidaritas, kemampuan untuk mencintai, mengatasi kesendirian yang membawa kesedihan..cinta kepada Allah, terlebih, membuat kita melihat, membuka mata kita, memampukan kita mengetahui seluruh realitas, yang menambahkan kepada pandangan sempit terhadap individualisme dan subjektivisme yang membingungkan suara hati.
Tradisi katolik, menolak apa yang disebut “fideisme”, yang merupakan hasrat untuk percaya yang melawan akal budi. Credo quia absurdum (Saya percaya karena hal itu absurd) bukanlah rumusan yang menafsirkan iman katolik. Allah tidaklah absurd, Ia adalah sebuah misteri. Misteri, pada gilirannya, tidaklah irasional tapi merupakan keberlimpahan indra, makna, dan kebenaran. Bila melihat kepada misteri, nalar melihat kegelapan, bukan karena tidak ada terang dalam misteri, tapi karena terlalu banyak terang di dalamnya.
 
St. Augustinus, sebelum pertobatannya mencari kebenaran dengan kegelisahan yang besar melalui semua filosofi yang ia miliki, dan menemukan bahwa semuanya tidak dapat memuaskannya. Tuntutannya, pencarian yang rasional, adalah pedagogi bermakna baginya untuk bertemu dengan kebenaran Kristus. Ketika ia berkata :”Aku percaya supaya aku mengerti ,dan aku mengerti agar aku percaya lebih baik” (Discourse 43, 9: PL 38, 258), seolah-olah ia sedang menceritakan kembali pengalaman hidupnya. Intelek dan iman tidaklah asing atau berlawanan terhadap Wahyu ilahi melainkan keduanya adalah syarat bagi pemahaman maknanya, bagi penerimaan pesan autentiknya, bagi pendekatan terhadap ambang batas misteri. St. Augustinus, bersama dengan pengarang Kristen lainnya, adalah saksi iman yang dipraktekkan dengan nalar, yang berpikir dan mengundang pikiran.
 
Iman katolik karenanya rasional dan mendorong kepercayaan dalam akal budi manusia. Konsili Vatikan Pertama, dalam Konstitusi Dogmatik Dei Filius, berkata bahwa nalar mampu mengetahui dengan kepastian, bahwa Allah itu ada melalui ciptaan, dimana kemungkinan untuk mengetahui “dengan mudah, dengan kepastian utuh dan tanpa kesalahan” (DS 3005) kebenaran-kebenaran yang berkaitan dengan Allah dalam terang rahmat, yang merupakan milik iman saja.
St. Petrus juga mendorong orang Kristen diaspora untuk menyembah :”di dalam hatimu hormatilah Kristus sebagai Tuhan. Siap sedialah untuk mempertanggungjawabkan kepada siapapun mereka yang meminta penjelasan bagi pengharapan yang ada didalam kamu (1 Pet 3 : 15)”. Dalam atmosfer penyiksaan dan dengan kebutuhan yang menekan untuk menjadi saksi iman, kita umat beriman diminta untuk membenarkan dengan nalar yang memilki dasar, kesetiaan kita kepada perkataan Injil, untuk menjelaskan alasan bagi pengharapan kita.
 
Kareananya iman yang sungguh dihidupi, tidak berasal dari konflik dengan ilmu pengetahuan, tapi bekerja sama dengannya … Untuk alasan ini juga, merupakan hal yang rasional untuk percaya : bila ilmu pengetahuan merupakan sebuah teman iman yang berharga untuk memahami rencana Allah bagi alam semesta, iman, tetap setia pada rencana ini, mengijinkan ilmu pengetahuan berkembang selalu untuk mencapai kebaikan dan kebenaran manusia.
 
 
Katekese Tahun Iman : Bagaimana Berbicara tentang Allah
 
Bagaimana kita bsia berbicara tentang Allah sekarang? Jawaban pertamanya adalah kita bisa berbicara tentang Allah karena Ia telah berbicara pada kita; jadi syarat pertama untuk berbicara tentang Allah adalah mendengarkan semua yang Allah sendiri telah katakan. Allah telah berbicara pada kita! Allah karenanya bukanlah hipotesis yang jauh mengenai asal usul dunia; ia bukan intelegensi matematis yang jauh dari kita. Allah peduli pada kita, Ia mencintai kita, Ia telah masuk secara personal kedalam realita sejarah kita, ia telah mengkomunikasikan diri-Nya, bahkan sampai menjadi manusia. Karenanya Allah adalah realita kehidupan kita, Ia begitu agung sehingga Ia memiliki waktu bagi kita juga, Ia peduli pada kita. Dalam Yesus dari Nazareth kita menemui wajah Allah, yang turun dari surga untuk menceburkan diri-Nya ke dunia manusia, di dunia kita, dan untuk mengejar “seni kehidupan”, jalan menuju kebahagiaan; untuk membebaskan kita dari dosa dan menjadikan kita anak-anak Allah (Efes 1:5; Roma 8:14). Yesus datang untuk menyelamatkan kita dan menunjukkan kepada kita kehidupan Injil yang baik.
 
Berbicara tentang Allah pertama-tama mengungkapkan dengan jelas Allah seperti apa yang harus kita bawa kepada pria dan wanita jaman sekarang : bukan Allah yang abstrak, sebuah hipotesis, tapi Allah yang nyata, Allah yang ada, yang telah masuk kedalam sejarah dan hadir dalam sejarah : Allah Yesus Kristus sebagai jawaban bagi pertanyaan mendasar tentang makna kehidupan dan bagaimana kita seharusnya hidup. Konsekuensinya, berbicara tentang Allah menuntut familiaritas dengan Yesus dan Injil-Nya, ini mengimplikasikan bahwa kita memiliki pengetahuan tentang Allah yang nyata dan personal, dan hasrat yang kuat bagi rencana keselamatan-Nya tanpa tunduk kepada godaan keberhasilan, tapi mengikuti cara Allah. Cara Allah adalah kerendahan hati – Allah menjadikan dirinya sama seperti kita – caranya dibawa melalui Inkarnasi di rumah Nazareth yang sederhana; melalui Gua Bethlehem; melalui perumpaan Biji Sesawi.
 
Ketika berbicara tentang Allah, dalam karya evangelisasi, dibawah bimbingan Roh Kudus, kita harus menemukan kesederhanaan, kita harus kembali kepada esensi proklamasi : Kabar Baik tentang Allah yang nyata dan efektif, Allah yang peduli tentang kita, Allah-Cinta yang menjadikan diri-Nya dekat dengan kita dalam Yesus Kristus, sampai di Salib, dan yang dalam Kebangkitan-Nya memberi kita harapan dan membukakan kita kepada kehidupan yang tak berujung, kehidupan kekal, kehidupan sejati.
 
St. Paulus..memberi kita pelajaran yang langsung menuju pada inti permasalahan iman :”bagaimana berbicara tentang Allah” dengan kesederhanaan yang besar.
 
Dalam Surat Pertama kepada Umat di Korintus ia menulis :”Ketika Aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang untuk memproklamasikan kepadamu kesaksian tentang Allah dalam kebijaksanaan atau kata-kata yang mulia. Karena aku memutuskan untuk tidak mengetahui apapun diantara kamu kecuali Yesus Kristus dan Ia yang disalibkan” (2:1-2).
 
Ia berbicara tentang Allah yang masuk dalam kehidupannya, ia berbicara tentang Allah yang nyata yang hidup, yang berbicara dengannya dan akan berbicaradengan kita, ia berbicara tentang Kristus yang disalibkan dan bangkit.
 
St. Paulus memproklamasikan Kristus dan ingin mengumpulkan orang-orang untuk Allah yang benar dan nyata. Keinginan Paulus adalah berbicara dan mengkotbahkan Ia yang masuk dalam kehidupannya dan yang merupakan kehidupan sejati, yang memenangkannya di jalan menuju Damaskus. Karenanya, berbicara tentang Allah berbarti membuka ruang bagi Ia yang memampukan kita mengetahuinya, yang menyatakan wajah kasih-Nya pada kita; artinya mengosongkan diri kita dari ego kita, mempersembahkannya kepada Kristus, dalam kesadaran bahwa bukan kita yang memenangkan orang lain demi Allah, tapi bahwa kita harus mengharapkan Allah untuk mengirim mereka, kita harus memohon kepada Allah bagi mereka. Berbicara tentang Allah karenanya berasal dari mendengarkan, dari pengetahuan kita tentang Allah yang dibawa melalui familiaritas dengan-Nya, melalui kehidupan doa dan dalam kesesuaian dengan 10 Perintah Allah.
 
Menyampaikan iman, bagi St. Paulus, tidak berarti menempatkan dirinya di depan, tapi berkata secara umum dan terbuka tentang apa yang telah ia lihat dan dengar dalam pertemuannya dengan Kristus, apa yang telah ia alami dalam hidupnya yang diubah melalui pertemuan itu : artinya menempatkan Yesus didepan, yang ia rasakan kehadiran-Nya di dalam ia dan yang menjadi orientasi keberadaannya yang sebenarnya, untuk memperjelas bagi semua orang bahwa Yesus diperlukan bagi dunia dan penting bagi kebebasan setiap orang.
 
Untuk berbicara tentang Allah, kita harus meninggalkan ruang bagi-Nya, percaya bahwa Ia akan bertindak dalam kelemahan kita : kita harus membuat ruang bagi-Nya tanpa rasa takut tapi dengan kesederhanaan dan sukacita, dalam keyakinan mendalam bahwa semakin kita menempatkan Ia di pusat dan bukan diri kita, semakin berbuah komunikasi kita. Dan ini jua benar bagi komunitas Kristen : mereka dipanggil untuk menunjukkan tindakan rahmat Allah yang mengubah, dengan mengatasi individualisme, kedekatan, keegoisan, keacuhan, dengan menghidupi kasih Allah dalam relasi sehari-hari mereka. Mari kita bertanya apakah komunitas kita sungguh seperti ini. Untuk menjadi seperti ini, kita harus, selalu dan sungguh memproklamasikan Kristus dan bukan diri kita.
 
Yesus bertindak dan mengajar, selalu mulai dari hubungan yang dekat dengan Bapa. Gaya ini menjadi petunjuk yang hakiki bagi kita sebagai orang Kristen : cara hidup kita dalam iman dan kasih menjadi cara untuk berbicara tentang Allah sekarang, karena hal ini menunjukkan, melalui kehidupan yang dijalani dalam Kristus, kredibilitas dan realisme terhadap apa yang kita katakan dengan kata-kata, yang bukan sekedar kata tapi dinyatakan dalam realita, realita yang sebenarnya. Dan dalam hal ini kita harus peduli untuk memahami tanda-tanda zaman…untuk mengidentifikasi potensi, aspirasi, dan tantangan yang kita temui dalam budaya jaman sekarang dan khususnya dalam keinginan bagi autentisitas, kerinduan terhadap yang transendens, dan kepedulian untuk menjaga Ciptaan dengan mengkomunikasikan tanpa rasa takut tanggapan yang iman persembahkan dalam Allah.
 
Berbicara tentang Allah artinya mengkomunikasikan apa yang esensial…melalui kata-kata dan kehidupan kita : Allah Yesus Kristus, Allah yang menunjukkan kita cinta yang begitu besar hingga ia menjadi manusia, wafat dan bangkit lagi demi kita : Allah yang meminta kita mengikuti-Nya dan membiarkan diri kita diubah oleh cinta yang mendalam untuk memperbaharui hidup dan hubungan kita; Allah yang memberi Gereja pada kita, agar kita dapat berjalan bersama dan melalui sabda dan sakramen, memperbaharui seluruh kota pria dan wanita, sehingga menjadi Kota Allah.
 
 
---------------------------------------------
Penulis : Paus Benediktus XVI 
Penerjemah : Cornelius

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy