HARI MINGGU BIASA III/C - 27 Januari 2013
Neh 8:3-5a.6-7.9-11; 1Kor 12:12-30; Luk 1:1-4; 4:14-21
Neh 8:3-5a.6-7.9-11; 1Kor 12:12-30; Luk 1:1-4; 4:14-21
Ketika membaca dan merenungkan bacaan-bacaan hari
ini, khususnya bacaan pertama dan Injil saya menangkap salah satu pesan pokok
untuk kita semua, yaitu pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan kita. Dalam bacaan
pertama (Neh 8:3-5a.6-7.9-11) dikisahkan bagaimana Imam Ezra membawa
kitab Taurat ke hadapan jemaat (ay.3). Kitab itu kemudian dibacakan dengan
jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga dimengerti (ay.9). Jemaat pun
mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian berlutut dan sujud menyembah
kepada Allah (ay.7).
Sementara itu, pada bagian awal bacaan Injil (Luk
1:1-4; 4:14-21), St. Lukas menceritakan bagaimana ia berproses menulis
Injilnya. Sebelum menulis Injilnya, ia melakukan penyelidikan dengan seksama
mengenai peristiwa-peristiwa seputar kehidupan Yesus (ay.3). Maka, tidak
mengherankan kalau ia menampilkan kisah-kisah yang khas dan tidak terdapat
dalam Injil-Injil yang lain, seperti misalnya kisah kanak-kanak Yesus (Luk1-2).
Maksud Lukas menulis Injilnya adalah supaya kita dapat semakin tahu dan
mengenal secara benar siapakahYesus Kristus yang kita imani (ay.4).
Apa yang dilakukan Yesus dengan membaca nas Kitab
Suci dari Yes 62:1-2, kemudian menegaskan bahwa “Pada hari ini genaplah nas ini
sewaktu kamu mendengarnya” (ay.21) juga menegaskan arti pentingnya Kitab Suci
dalam kehidupan Yesus. Yesus datang untuk menggenapi nas Kitab Suci.
Oleh
karena itu, pesan dan ajakan Sabda Tuhan hari ini sangat jelas, yaitu agar kita
mencintai Sabda Tuhan yang terlulis dalam Kitab Suci. Kita diajak untuk tekun
dan setia membaca dan membacakan Kitab Suci seperti yang dilakukan Imam Ezra;
kemudian menyelidikinya seperti yang dilakukan Lukas dengan merenungkannya;
setelah itu mewartakannya; dan yang tidak boleh dilupakan, kita harus menggenapinya
seperti yang dilakukan oleh Yesus.
Seringkali
kita ragu-ragu bahkan takut untuk membaca Kitab Suci. Kita merasa takut kalau
salah mengartikan. Kita merasa tidak ada gunanya membaca Kitab Suci kalau kita
tidak mampu memahaminya. Namun, kemungkinan alasan yang sebenarnya ya hanya
karena malas saja. Mulai sekarang, kita tidak perlu takut dan ragu membaca dan
merenungkan Kitab Suci, meskipun tidak tahu atau tidak paham maksudnya. Percayalah,
bahwa Kitab Suci yang kita baca dan renungkan – meskipun kita kurang
memahaminya – tetap akan berkarya dalam diri kita dengan cara-cara yang tidak
kita ketahui. Bukankah kalau kita makan, kita juga tidak memahami sepenuhnya
kandungan zat-zat dari makanan tersebut, apalagi gunanya masing-masing bagi
tubuh kita. Namun, begitu kita makan, tubuh kita akan memprosesnya sehingga
kita hidup, sehat dan memperoleh kekuatan atau energi. Sabda Tuhan pun kiranya
akan berkarya demikian juga dalam diri kita.
Seringkali,
kita juga berpikir, “Ah, apa gunanya membaca Kitab Suci dan mendengarkan homili
atau kotbah, toh baru sebentar saja sudah lupa”. Kalau kita berpikir demikian,
coba bertanyalah kepada seorang bapak yang telah menikah selama 25 tahun. Setiap
hari, istrinya selalu memasak untuknya. Namun, saya jamin bahwa bapak tersebut
tidak akan ingat 25 tahun yang lalu istrinya memasak apa; 20 tahun yang lalu
dimasakkan apa; 10 tahun yang lalu dimasakkan apa. Bahkan, apa yang dimasak
istrinya seminggu yang lalu saja mungkin sudah lupa. Namun, karena hari demi
hari, ia menyantap masakan yang disediakan oleh istrinya – kendati tanpa
mengingatnya – nyatanya dia tetap hidup, sehat dan memperoleh kekuatan untuk bekerja.
Bukankah sabda Tuhan itu merupakan makanan rohani bagi kita, yang kalau kita
tekun dan setia membaca dan merenungkannya, pasti akan memberi kekuatan dan
energi rohani bagi kita.
Seringkali
pula kita tidak mau membaca Kitab Suci sendiri dan mengandalkan (njagakke) dibacakan dan diuraikan oleh
orang lain. Ya ini baik, tetapi itu sama saja dengan kita makan tetapi tidak
mau mengunyah sendiri namun dikunyahkan orang lain atau diblender. Tentu rasanya
menjadi kurang enak dan kita tidak bisa menikmati lezatnya makanan tersebut. Sabda
Tuhan pun akan lebih terasa dan bermakna kalau selain kita menerima uraian hasil
permenungan orang lain, juga membaca dan merenungkan sendiri.
Sekali
lagi, marilah kita semakin mencintai Kitab Suci. Kita bertekun dan setia
membaca dan membacakan Kitab Suci seperti yang dilakukan Imam Ezra; kemudian
menyelidikinya seperti yang dilakukan Lukas dengan merenungkannya; setelah itu
mewartakannya; dan yang tidak boleh dilupakan, kita harus menggenapinya seperti
yang dilakukan oleh Yesus. Meskipun sabda Tuhan sudah digenapi oleh Yesus,
namun kita pun juga diutus untuk menggenapinya. Dalam diri kita, sabda Tuhan
juga akan tergenapi manakala kita tekun dan setia membaca, merenungkan,
mewartakan dan melaksanakannya.
Rm. Ag. Agus Widodo, Pr