Pengantar
Hidup
sejahtera merupakan harapan semua orang. Pendapat umum mengatakan bahwa orang
dikatakan sudah hidup sejahtera bila cukup sandang, pangan, papan, terjamin
kesehatan dan pendidikannya. Namun demikian kesejahteraan tentu tidak hanya
diukur dari sisi duniawi saja. Kesejahteraan juga menyangkut segi batin seseorang. Kedekatan seseorang
dengan Allah sebagai sumber kehidupan juga merupakan salah satu sisi ukuran
kesejahteraan seseorang. Manusia diharapkan sungguh-sungguh menyadari bahwa
segala yang duniawi itu berasal dari Allah yang diberikan kepada kita secara
cuma-cuma.
Untuk
mencukupi kebutuhan hidup manusia, Allah menciptakan barang-barang duniawi
berupa alam semesta dan segala isinya. Allah memberi tugas kepada
manusia,”penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di
laut dan burung-burung di udara dan atas segala yang merayap di bumi” (Kej
1:28). Manusia dipanggil oleh Allah untuk “berkuasa” atas alam semesta demi
kesejahteraan hidupnya. Manusia diberi wewenang dan tanggung jawab mengolah
bumi dan segala isinya melalui kerjanya. Karena itu dalam mengerjakan alam
ciptaan itu manusia ditentukan Allah sebagai penjaga yang bijaksana dan adil (bdk. Redemptor Hominis, art.15)
Melalui
kerjanya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumber-sumber
alam pemberian Tuhan. Tantangan yang kita hadapi saat ini berkaitan dengan
kerja manusia adalah pudarnya atau bahkan hilangnya kebijaksanaan. Manusia
menjadi menjadi serakah. Kerja hanya melulu mengejar materi sehingga untuk
memenuhi materi itu manusia mengorbankan harga dirinya. Manusia sebagian sudah
kehilangan kendali kebijaksanaan, budaya korupsi, merampas harta orang lain
sudah dianggap hal yang wajar. Orang tidak tahu malu lagi, mereka bekerja tidak
semestinya. Sudah saatnya kita kembali memaknai kerja sebagai upaya kita
bersama untuk menjadi rekan sekerja Allah dalam “menguasai” alam semesta. Hasil
bumi dan alam sekitar yang melimpah bukan untuk memperkaya diri sendiri tetapi
untuk membangun kesejahteraan kita bersama. Melalui pekerjaan yang kita tekuni
apapun pekerjaan kita, kita ingin memberi kesaksian bahwa kerja itu suci. Kerja
itu suci jika dilaksanakan dengan jujur, gembira, bijaksana dan mensejahterkan
kehidupan bersama.
Makna Kerja
Secara Biblis dan Teologis
Sebagai orang beriman, hal-hal yang
berkaitan dengan kerja sudah semestinya jika kita tempatkan dalam terang Kitab
Suci. “Perjanjian Lama menampilkan Allah sebagai Pencipta
mahakuasa (bdk. Kej 2:2; Ayb 38-41; Mzm 104; Mzm 147) yang
membentuk manusia seturut citra-Nya dan mengundang dia untuk mengolah
tanah (bdk. Kej 2:5-6) serta mengusahakan dan memelihara taman
Eden di mana Allah telah menempatkannya. Kepada pasangan manusia pertama
Allah mempercayakan tugas untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas semua
makhluk hidup (bdk. Kej 1:28). Namun kekuasaan yang dilaksanakan manusia atas
semua makhluk hidup yang lain, bukanlah sesuatu yang lalim atau
sewenang-wenang; sebaliknya, ia harus “mengusahakan dan memelihara” (Kej 2:15)
harta benda yang telah diciptakan Allah. Harta benda ini tidak diciptakan
manusia, tetapi telah diterimanya sebagai suatu karunia berharga yang
ditempatkan Sang Pencipta di bawah tanggung jawabnya. Mengusahakan bumi berarti
tidak membiarkan dan menelantarkannya; menaklukkannya berarti memeliharanya,
seperti seorang raja arif yang mengayomi rakyatnya dan seorang gembala yang
menjaga kawanan dombanya.” (Kompendium
ASG No.255).
Gereja
sungguh menghargai setiap pekerjaan dan menempatkan manusia sebagai subyek atas
pekerjaan. Sebagai ciptaan yang sungguh amat baik, ciptaan yang mempunyai akal
budi, manusia sungguh-sungguh dipercaya oleh Allah dalam meneruskan karya Allah
yang begitu agung dan mulia. Kita diharapkan dapat menemukan nilai-nilai dalam
setiap pekerjaan untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama. Sebab
sering kali masih kita jumpai dimana orang begitu sibuk dengan pekerjaannya
sehingga melupakan Tuhan dan sesama.
Mungkin masih ada di antara kita yang tidak sempat ikut kegiatan lingkungan
karena alasan pekerjaan. Bisa jadi kesibukan kerja dapat menjauhkan kita dengan
Tuhan dan sesama. “Dalam khotbah-Nya, Yesus mengajarkan agar manusia jangan
diperbudak oleh kerja. Sebelum segala sesuatu yang lain, ia mesti peduli dengan
jiwanya; memperoleh seluruh dunia bukanlah tujuan hidupnya (bdk. Mrk 8:36).
Harta benda duniawi malah fana, sedangkan harta milik surgawi tidak
dapat binasa. Pada harta milik yang terakhir itulah manusia mesti
menaruh hati mereka (bdk. Mat 6:19-21). Maka, kerja tidak boleh menjadi
sumber kecemasan (bdk. Mat 6:25,31,34). Kalau orang khawatir dan
menyusahkan dirinya dengan banyak hal, mereka menanggung risiko akan
mengabaikan Kerajaan Allah beserta kebenaran-Nya (bdk. Mat 6:33), yang
sebenarnya mereka butuhkan. Segala sesuatu yang lain, termasuk kerja,
akan menemukan tempat, makna dan nilainya yang tepat jika diarahkan
kepada hanya satu yang perlu dan yang tidak akan diambil darinya (bdk.
Luk 10:40-42) (Kompendium ASG
No.260)
Yesus
sendiri adalah seorang pekerja. Ia hidup di keluarga Nasareth bersama dengan
Yusup, seorang tukang kayu dan bersama dengan Maria. Yesus juga mencela
perilaku hamba yang tidak berguna, yang menyembunyikan talentanya di dalam
tanah (bdk. Mat 25:14-30) dan memuji hamba yang setia lagi bijaksana yang
didapati sang Tuan sedang melakukan tugas yang telah dipercayakan kepadanya
(bdk. Mat 24:46). Yesus menerangkan misiNya sendiri sebagai ihwal
bekerja:”BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh 5:17)
(Kompendium ASG No.259)
Martabat Kerja
dan Martabat Manusia
Kerja manusia memiliki dua makna
ganda: obyektif dan subyektif. Dalam arti obyektif, kerja merupakan jumlah aneka
kegiatan, sumber daya, sarana serta teknologi yang digunakan menusia untuk menghasilkan
barang-barang. Kerja dalam arti objektif
merupakan segi yang dapat berubah dari kegiatan manusia, yang senantiasa bervariasi dalam bentuk ungkapannya sesuai dengan kondisi-kondisi teknologi,
budaya, sosial dan politik yang tengah
berubah.
Dalam
arti subyektif, kerja adalah kegiatan
pribadi manusia sebagai makluk dinamis yang mampu melaksanakan aneka ragam
tindakan yang merupakan bagian dari proses kerja dan yang bersepadanan dengan
panggilan pribadinya. Kerja
dalam arti subjektif adalah matranya yang stabil, karena tidak bergantung pada orang-orang yang menghasilkannya atau pada
jenis kegiatan yang mereka lakukan, tetapi hanya dan semata-mata pada martabat
mereka sebagai manusia. Pemilahan ini penting, baik untuk memahami apa yang
menjadi landasan paling tinggi nilai dan martabat kerja, maupun yang berkenaan
dengan berbagai kesukaran dalam menata sistem ekonomi dan sistem sosial yang
menghormati hak asasi manusia. (Kompendium
ASG No.270)
Memang
harus diakui bahwa antara kerja dan kehidupan ekonomi ada kaitan yang
begitu erat. Kebanyakan orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Singkatnya, orang bekerja untuk mendapatkan uang. Fakta ini tidak dapat
disangkal. Dengan bekerja orang berharap kesejahteraan hidupnya meningkat dan
akhirnya tidak jatuh dalam kemiskinan. Sebab saat ini masalah kemiskinan
manusiawi cukup menonjol dan masih dirasakan oleh banyak orang. Di satu pihak
bisa diamati bahwa belum semua jenis pekerjaan menguntungkan semua orang, dan
dari lain pihak disadari bahwa sikap manusia terhadap kerja cukup berbeda.
Namun demikian kerja harus dipandang dan diperlakukan sebagai kunci seluruh
persoalan sosial (bdk. Laborem Exercens
art.3). Karena itu makna dan nilai kerja pertama-tama harus diarahkan
sebagai suatu tindakan yang membebaskan manusia dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Unsur non ekonomis dalam kerja manusia tidak boleh diabaikan
atau dimatikan oleh unsur yang semata-mata bercorak ekonomis, antara lain
mendapatkan keuntungan stinggi-tingginya, konsumsi sampai habis, penghisapan
dan penindasan manusia lain. Dalam setiap pekerjaan martabat manusia tetap
harus dijunjung tinggi sebab mereka adalah pribadi yang luhur, citra Allah
sendiri. Maka dari itu setiap orang apapun pekerjaannya harus diperlakukan
secara manusiawi.
Dalam setiap pekerjaan, manusia
harus mendapat kesempatan untuk mengungkapkan kepribadiannya; hasil kerjanya
hendaknya memampukan manusia untuk mengembangkan harga diri. Dengan bekerja,
manusia mengungkapkan dan menyempurnakan diri. Sekaligus kerja mempunyai dimensi
sosial karena hubungannya dengan keluarga maupun dengan kesejahteraan sosial (Centesimus Anus art.6). Kerja, baik
kerja di kantoran, buruh pabrik, penjual rokok di pinggir jalan, pemulung,
petani, nelayan sampai kerja yang dilakukan oleh ibu rumah tangga, merupakan
ungkapan hakiki dari kepenuhan pribadi manusia yang adalah Gambar dan Citra
Allah. Landasan untuk menetapkan makna
dan nilai kerja manusia bukanlah pertama-tama corak kerja yang sedang
dijalankan, melainkan kenyataan bahwa pelakunya adalah pribadi manusia (Laborem Exercens art. 6).
Kenyataannya, masih banyak terjadi
bahwa kerja manusia lebih diukur oleh pengalaman yang coraknya terlalu
materialistik. Hal seperti ini dapat kita maklumi karena kerja dan penghidupan
yang layak berkaitan erat sekali. Sebagaimana ditegaskan dalam Ajaran Sosial
Gereja,”Kerja mempunyai suatu
tempat terhormat karena kerja merupakan sumber berbagai kekayaan, atau
setidak-tidaknya syarat bagi suatu kehidupan yang layak, dan pada prinsipnya
merupakan sebuah sarana yang efektif melawan kemiskinan (bdk. Ams 10:4). Namun
orang tidak boleh jatuh ke dalam godaan menjadikan kerja sebagai berhala, sebab
makna kehidupan yang paling tinggi dan menentukan tidak boleh dicari dan
ditemukan dalam kerja. Kerja itu hakiki, namun Allah itulah – dan bukan kerja –
yang merupakan sumber kehidupan serta tujuan akhir manusia” (Kompendium ASG
257).
Ajaran
Gereja mencita-citakan hal seperti itu. Namun cita-cita kadang berbeda dengan
kenyataan.
Kemiskinan masih mewarnai kehidupan kita. Orang membutuhkan makan, orang
membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak jarang kita
masih menjumpai seorang anak harus bekerja membantu orang tuanya karena
himpitan ekonomi. Ada yang menjadi pemulung, pengamen atau bahkan menjadi buruh.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan memadai menjadi hilang.
Orang menjadi tidak peduli lagi apakah kerjanya menjadikannya semakin seorang
manusia menurut gambar pencipta-Nya atau tidak.
Pekerjaan apapun harus diarahkan
untuk menjunjung tinggi martabat manusia sebab manusia adalah subyek atas
pekerjaannya. Gereja menegaskan bahwa,” Kerja manusia tidak hanya berasal dari pribadi, tetapi juga secara hakiki
ditata menuju dan memiliki sasaran akhirnya pada pribadi manusia. Terlepas dari muatan objektifnya, kerja mesti
diarahkan kepada subjek yang melaksanakannya, karena tujuan kerja, jenis
kerja yang mana pun, adalah selalu manusia. Bahkan walaupun orang tidak dapat
mengabaikan komponen objektif kerja yang berkenaan dengan kualitasnya, namun bagaimanapun
juga unsur tersebut mesti dikebawahkan pada perwujudan diri pribadi, dan
karenanya pada matra subjektif, dan berkat itu pula menjadi mungkinlah untuk
menegaskan bahwa kerja untuk manusia dan bukan manusia untuk kerja.
“Selalu manusia itulah yang merupakan tujuan kerja, entah kerja mana pun yang
dijalankannya – juga kalau tatanan nilai pada umumnya menganggapnya sebagai
sekadar ‘pengabdian’ belaka, sebagai kerja yang sangat monoton, bahkan kerja
yang paling
mengasingkan.” (Kompendium
ASG no.272).
Spiritualitas Kerja
Spiritualitas kerja manusia ha rus digali dari semangat hidup Yesus sendiri. Yesus juga seorang
pekerja keras. Siang malam Dia terus bekerja melalui sabda dan karyaNya
sehingga makanpun tidak sempat (bdk. Mrk 6:31). Selama pelayananNya di atas
bumi, Yesus bekerja tiada heti-hentinya, seraya melakukan perbuatan-perbuatan
menakjubkan untuk membebaskan manusia dari penyakit, penderitaan dan kematian.
Bahkan hari Sabat yang menjadi larangan dalam tradisi Yahudi untuk bekerja
tetap dijadikan sarana bagi Yesus untuk berbuat baik. “Hari Sabat diadakan
untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27). Dengan
menyembuhkan orang pada hari Sabat Ia berkehendak menunjukkan bahwa hari Sabat
adalah milikNya, karena sesungguhnya Ia adalah Putra Allah, dan bahwa inilah
hari ketika manusia hendaknya membaktikan diri mereka kepada Allah dan kepada
sesama (Kompendium ASG No.261). Dan satu hal yang menarik adalah bahwa
di dalam Yesus Kristus, dunia yang telah rusak oleh dosa manusia, melalui karyaNya
telah dipulihkan kembali hubungannya dengan Allah sumber ilahi Kebijaksanaan
dan Cinta Kasih. Dengan cara ini, artinya, seraya menerangkan dalam takaran
yang semakin besar “kekayaan Kristus yang tak terduga” (Ef 3:8) dalam ciptaan,
kerja manusia menjadi sebuah pelayanan yang diangkat ke kemuliaan Allah.
Sebagai umat beriman, kitapun sudah semestinya dalam
bekerja selalu berpegang pada semangat dan perintah Kristus. Dalam kisah
panggilan murid-murid yang pertama dikisahkan amat bagus oleh Lukas. Ketika itu
Simon dan kawan-kawannya sudah bekerja sepanjang malam namun tidak mendapatkan
apa-apa. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak
menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala
juga. Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan,
sehingga jala mereka mulai koyak” (Luk 5:5-6). Kerja dalam bentuk apapun harus
dimengerti sebagai keikutsertaan pribadi Yesus Kristus, manusia pekerja (Laborem
Exercens art.25). Orang beriman kristiani yang melaksanakan
pekerjaannya berdasarkan prinsip iman kristiani mewujudkan kemuridan Kristus
dalam hidupnya. Keutamaan-keutamaan yang mesti
dihidupi dalam kerja adalah tanggung jawab, disiplin, kerja keras, inisiatif
dan kreatif, jujur, cermat, tertib, tekun dan teliti.
Selain keutamaan-keutamaan tersebut
di atas, sebagai murid-murid Yesus Kristus, spriritualitas salib juga
harus ditempatkan dalam setiap pekerjaan kita. Berulang kali Yesus menegaskan
bahwa Anak Manusia harus menderita sengsara dan pada hari ketiga dibangkitkan
dari alam maut (bdk. Mrk 8:31). Sejak awal karyaNya, Yesus menegaskan bahwa
pekerjaanNya adalah melaksanakan kehendak Bapa (bdk. Yoh 4:34). Kehendak Bapa
tersebut dituntaskan oleh Yesus saat Dia ditinggikan dan wafat di kayu salib
(bdk. Yoh 20:30). Yesus setia dan taat kepada kehendak Bapa sampai wafat. Ini
mengandung arti yang sangat dalam bahwa bekerja membutuhkan totalitas atau
kterlibatan sepenuh hati dan harus dapat menyelesaikan sampai tuntas. Kerja mewakili satu matra
hakiki dari keberadaan manusia sebagai keterlibatan tidak saja dalam tindakan
penciptaan tetapi juga tindakan penebusan.
Orang-orang yang menerima tanpa mengeluh keras dan sulitnya kerja dalam persatuan dengan Yesus, dalam arti
tertentu mereka bekerja sama dengan
Sang Putra Allah dalam karya penebusan-Nya, dan menunjukkan bahwa mereka adalah para murid Kristus seraya
memikul salib-Nya setiap hari,
dalam kegiatan baginya mereka dipanggil untuk melaksanakannya. Seturut perspektif ini, kerja dapat dipandang
sebagai sebuah sarana
pengudusan serta menerangi aneka realitas duniawi dengan Roh Kristus (Kompendium
ASG No.263)
Disusun oleh: APP PSE Keuskupan Agung Semarang