| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Rabu Abu - 13 Februari 2013

-->
Rabu Abu, 13 Februari 2013
Yoel 2:12-18; 2Kor 5:20-6:2; Mat 6:1-6.16-18


Hari ini kita memulai masa Prapaskah yang ditandai dengan penerimaan abu di dahi kita. Dalam kehidupan masyarakat sederhana yang belum mengenal aneka macam sabun atau detergent untuk mencuci peralatan dapur, abu seringkali digunakan untuk mencuci perlatan dapur, lebih-lebih untuk menghilangkan bau amis dan kerak. Jadi, abu mempunyai manfaat untuk membersihkan barang-barang yang kotor.

Selain itu, abu juga menjadi tanda betapa kecil, rapuh, lemah dan tidak berdayanya diri kita. Di hadapan Tuhan, kita ini ibarat debu/abu yang amat kecil. Bahkan, berhadapan dengan diri kita sendiri dan alam semesta ini, kita tampak begitu lemah dan rapuh. Hal ini tampak nyata dalam ketidakberdayaan kita untuk mengendalikan diri, menguasai emosi-emosi negatif, mengalahkan godaan dan menghindari dosa serta menghindari penyakit. Terhadap alam, kita juga tampak rapuh. Kita tidak bisa mengendalikan bencana alam (gempa, gunung meletus), musim, dll.

Lantas, apa maknanya kalau kita menerima tanda abu di dahi kita pada permulaan masa prapaskah ini? Masa prakaskah merupakan kesempatan istimewa bagi kita untuk mempersiapkan diri merayakan paskah. Selama masa prapaskah kita diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri menyambut Tuhan yang bangkit dan membawa keselamatan bagi kita. Tuhan bangkit berarti Ia hidup, hadir dan menyertai kita. Jadi, kita mempersiapkan diri untuk menerima kehadiran Tuhan yang menyertai dan menyelamatkan kita, yang memberikan kehidupan baru kepada kita.

Nah, dalam rangka mempersiapkan diri menyambut kebangkitan Tuhan yang membawa kehidupan baru ini, kita membutuhkan “Abu”. Mengapa?

Pertama, abu mempunyai manfaat membersihkan. Kalau kita makan untuk mendapatkan energi kehidupan jasmani, kita pasti membutuhkan piring yang bersih khan, bukan piring kotor. Masak, kita makan makanan yang enak, lezat dan bergizi kok dengan piring kotor. Ya, selera makan kita berkurang, makanan yang enak dan bergizi itu menjadi kurang enak lagi, bahkan malah menimbulkan penyakit. Demikianlah kita, kita diajak untuk membersihkan diri kita supaya siap dan pantas menerima kehadiran Tuhan yang memberikan energi hidup, tidak hanya jasmani tetapi juga rohani. Kita diajak untuk memperbarui hidup kita, mengoyakkan hati kita – bukan pakaian kita – (Yl 2:13), dan berdamai kembali dengan Allah (1Kor 5:20) melalui amal, doa, dan puasa (bacaan Injil). Maka, selama masa prapaskah ini, marilah kita meningkatkan ketiga hal tersebut: puasa (+ pantang) sebagai ungkapan lahir dari pengendalian diri kita; doa sebagai usaha kita untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan; dan amal (APP) sebagai upaya kita untuk mendekatkan diri dengan sesama, bersolider, memberi pertolongan, dll.

Kedua, abu melambangkan kerapuhan dan kelemahan kita. Rasanya tidak mungkin kita bisa berhasil membersihkan diri kita, kalau kita hanya mengandalkan diri pada usaha dan perjuangan kita sendiri. Maka, kita perlu rendah hati, menyadari kelemahan dan kerapuhan kita di hadapan Tuhan agar Tuhan berkarya dalam diri kita dan memampukan kita untuk menghayati dan mewujudkan pertobatan yang sejati. 

Marilah kita serahkan kepada Tuhan, seluruh usaha-usaha kita untuk bertobat yang kita wujudkan dalam kegiatan amal, doa, dan puasa. Kita percaya, kalau Tuhan berkerja dalam diri kita, usaha-usaha kita tersebut pasti membuahkan hasil yang baik (bdk. Perumpamaan tentang pokok Anggur dalam Yoh 15:4). Kita percaya pula bahwa, “Allah yang telah memulai pekerjaan-pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya” (bdk. Flp 1:6).

Ag. Agus Widodo, Pr

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy