MINGGU PASKAH II/C – 7 APRIL
2013
Kis 5:12-16; Why
1:9-11a.12-13.17-19; Yoh 20:19-31
Hari Minggu
Paskah II merupakan Minggu Kerahiman Ilahi. Pesta Kerahiman Ilahi ini berasal
dari Permintaan Yesus kepada St. Faustina pada penampakan-Nya tanggal 22
Februari 1931 yang mengatakan, “Aku mau supaya ada Pesta Kerahiman. Aku mau
gambar itu diberkati secara mulia pada hari Minggu pertama sesudah Paskah. Hari
Minggu ini harus menjadi Pesta Kerahiman.” Permintaan Yesus ini baru terwujud
pada tahun 2000, ketika Bapa Suci Yohanes Paulus II menetapkan Hari Minggu
Paskah II sebagai Pesta Kerahiman Ilahi.
Dalam salah
satu homilinya, pada tanggal 17 Agustus 2002, Beato Yohanes Paulus II
menyatakan bahwa dunia saat ini sangat membutuhkan Kerahiman Ilahi. Dunia saat itu – dan ternyata masih juga pada saat
sekarang – sedang menderita karena konflik berkepanjangan, kematian orang-orang
yang tak bersalah, kebencian dan dendam yang merajalela, martabat manusia yang
tidak dihargai, dan budaya kematian yang menggerogoti pengaruh budaya
kehidupan. Semua itu berakar dari kedosaan manusia. Manakala kuasa dosa telah
begitu kuat mencengkeram umat manusia maka yang terjadi hanyalah penderitaan
demi penderitaan.
Dalam suasana
demikian, Kerahiman Ilahi mutlak dibutuhkan untuk menolong para korban dari
keganasan kuasa dosa yang merasuk di hati banyak orang. Lebih dari itu, Kerahiman
Ilahi amat dibutuhkan untuk mengubah pikiran dan hati manusia agar mengarah
kembali pada orientasi hidup untuk menegakkan damai dan kasih di dalam
kehidupan bersama. Dengan kata lain, kerahiman Ilahi sungguh dibutuhkan untuk mengubah
suasana penghancuran menjadi suasana pendamaian serta kasih, untuk mengubah
budaya kematian menjadi budaya kehidupan. Kerahiman Ilahi juga mutlak
dibutuhkan karena manusia sudah tidak dapat menolong dirinya sendiri untuk
keluar dari kuasa dosa yang mengakibatkan penderitaan yang tanpa akhir.
Kata
“kerahiman” berasal dari bahasa Ibrani “rahamin”, yang erat berkaitan dengan kata “rehem”, artinya “rahim atau
kandungan”. Dengan demikian, rahamim menunjuk sifat kasih Allah yang serupa dengan sifat rahimnya seorang ibu, yakni “melindungi,
menghidupi, menghangatkan, memberi pertumbuhan, menjaga, menerima tanpa syarat,
membawa kemana-mana”. Dengan kerahiman-Nya, Allah melindungi, menghidupi,
menghangatkan, memberi pertumbuhan, menjaga, menerima tanpa syarat, membawa
kemana-mana. Seperti janin tidak dapat hidup dan berkembang tanpa rahim
ibu, demikian pula manusia tidak akan dapat hidup tanpa kerahiman dari Allah.
Dalam terang
bacaan-bacaan hari ini, kerahiman Tuhan dinyatakan melalui para rasul yang
menyembuhkan banyak orang yang menderita penyakit dan kerasukan setan (bacaan
I). Oleh karena kerahiman Tuhan, “mereka semua disembuhkan” (Kis 5:16). Dalam
diri Yesus, kerahiman Allah itu mencapai puncaknya (bacaan II). Dia telah mati
namun kemudian hidup kembali untuk selama-lamanya dan menguasai baik kerajaan
maut maupun kehidupan (Why 1:18). Dalam kehidupan setelah kematian-Nya itulah,
Yesus membawa damai sejahtera (Injil). “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19b.21.26b).
Di tengah
situasi masyarakat kita yang banyak diwarnai penderitaan ini, pesan damai
sejahtera dari Tuhan hanya akan terwujud secara nyata kalau kita masing-masing
mau berperan serta mewujudkan kerahiman dan belas kasih Tuhan. Untuk itu, dalam
sabda damai sejahtera Injil tadi, Yesus juga menekankan pentingnya pengampunan.
“Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. …
Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan
jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh
20:22-23).
Antara
kedamaian dan pengampunan mempunyai hubungan yang amat erat sebab kita tahu bahwa
pengampunan merupakan prasarat mutlak bagi perdamaian. Hal ini sungguh nyata
dalam hubungan dengan Tuhan. Kita semua adalah orang berdosa dan dengan
dosa-dosa itu, kita meninggalkan dan melawan Allah. Namun, berkat korban dan
penebusan Kristus yang megampuni dosa-dosa kita, maka kita didamaikan kembali
dengan Allah.
Oleh karena
itu, pesan Yesus untuk
mengampuni sesama merupakan pesan yang amat relevan sepanjang zaman. Beato
Yohanes Paulus II dalam pesan hari perdamaian se dunia tahun 2002-2003 berkali-kali
mengatakan: “Tidak ada damai
tanpa keadilan, tidak ada keadilan tanpa pengampunan.” Senada dengan hal
ini, kata-kata indah dalam Prefasi Doa Syukur Agung VI, kiranya merupakan pesan
damai sejahtera yang harus kita gemakan, “Berkat kuasa-Mu juga, cinta
mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih
mengenyahkan perselisihan”.
Untuk
menghadirkan kerahiman Allah yang berupa pengampunan, semoga kisah nyata yang
pernah terjadi di Taiwan ini memberi inspirasi bagi kita:
“Ada seorang
pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan
cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewek-cewek yang kenal dia. Baru beberapa
tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah
dipromosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan. Tempat tinggalnya tidak
terlalu jauh dari kantor.
Tipe orangnya
yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman kantor senang
bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewek-cewek jomblo. Bahkan putri
owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Di rumahnya
ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak
dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya
tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak.
Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul-betul
seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar
dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting.
Wanita tua ini
tidak lain adalah Ibu kandung A Be. Walau demikian, sang Ibu selalu setia
melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan
rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga
selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu-satunya, A be.
Namun A be
adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi
ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap
kali ada teman atau kolega bisnis yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya,
A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut ibunya dulu sebelum
meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan."
jawab A be. Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang
Ibu. Tentu saja ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah
pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya
sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya.
Hari demi hari
kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak
kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu,
mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya
di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu
sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu,
kalaupun ada mahal sekali). Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan
uring-uringan di rumah.
Pada saat ia
mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Dia mengira, box itu berisi perhiasan emas, intan, dan
berlian milik ibunya. Namun, setelah dibuka, ternyada dalam box itu hanya ada sebuah foto dan potongan
koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran
postcard itu menunjukkan wajah seorang wanita cantik. Potongan koran usang
memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan
anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan dan menutup
dirinya dengan sprei kasur basah, wanita itu menerobos api yang sudah mengepung
rumah.
Sang wanita
menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka
sedikitpun. Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita
cantik di dalam foto itu dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan
koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit
tak berdaya.
Spontan air
mata A be menetes keluar tanpa bisa dibendung. Dengan menggenggam foto dan Koran usang
tersebut, A be langsung bersujud di samping ranjang sang Ibu yang terbaring.
Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya
selama ini. Sang ibu pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya.
“Yang sudah, ya sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan diungkit lagi".
Setelah
sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja ke supermarket. Walau
menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek.
Bahan bacaan:
· Gagasan
Homili Rm. Hari Kustono