| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Minggu Biasa X/C – 9 Juni 2013


Minggu Biasa X/C – 9 Juni 2013
1Raj 17:17-24; Gal 1:11-19; Luk 7:11-17

Dua dari tiga bacaan Ekaristi hari ini berbicara tentang karya Allah yang membangkitkan orang mati. Keduanya adalah anak laki-laki satu-satunya dari seorang janda, yaitu anak janda di Sarfat (bacaan I) dan janda di Nain (Injil). Renungan kita kali ini berpijak dari bacaan Injil dan ditambah sedikit dari bacaan I.

Dalam Injil, dikisahkan bahwa Yesus pergi ke kota Nain diikuti oleh murid-murid-Nya dan orang banyak (Luk 7:11). Ketika sampai di dekat pintu gerbang kota, mereka berjumpa dengan rombongan lain yang sedang keluar dari kota itu. Rombongan ini mengusung mayat seorang pemuda, anak tunggal seorang janda. Mereka hendak ke makam dan memakamkan pemuda tersebut (Luk 7:12). Mayat pemuda tersebut dibawa keluar karena bagi orang Yahudi, mayat itu najis dan menajiskan (Bil 5:2; 6:6-7) sehingga di wilayah Yahudi, tidak boleh ada makam dan penguburan.

Kematian anak laki-laki, apalagi anak tunggal, merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi para janda di Israel pada waktu itu. Mereka bukan hanya sedih karena ditinggal oleh anak tunggalnya untuk selama-lamanya tetapi juga karena kematian anaknya itu membuat mereka berada pada posisi lemah dan sulit. Mengapa? Karena dalam masyarakat Yahudi pada waktu itu, hidup seorang wanita amat tergantung pada lelaki yang ada di rumahnya, entah itu suaminya atau anak laki-lakinya. Untuk seorang janda, berarti ia amat tergantung pada anak laki-lakinya. Dengan demikian, bagi seorang janda, anak laki-laki sungguh merupakan segala-galanya karena menjadi tumpuan hidup dan masa depannya. Maka, ketika anak tunggalnya meninggal, hancurlah nasib si janda tersebut! Ia tidak lagi mempunyai siapa-siapa untuk menanggung dan menjamin hidupnya. Kesedihan yang amat mendalam ini dialami baik oleh janda Nain maupun janda Sarfat.

Ketika Yesus melihat janda Nain yang sedih dan meratap, tidak hanya meratapi kemarian anaknya tetapi juga meratapi nasib dan masa depannya, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan (Luk 7:13). Yesus adalah Tuhan yang amat tersentuh oleh persoalan manusiawi dan terlibat di dalamnya. Maka, ketika melihat seorang janda sedang kesusahan, Yesus  menyampaikan penghiburan, ‘‘Jangan menangis!” (Luk 7:13). Kata-kata yang disampaikan Yesus ini bukanlah omong kosong belaka karena yang mengucapkan adalah Tuhan yang berkuasa atas kehidupan dan kematian.

Yesus mendekati usungan itu. Ketika para pengusung berhenti, Ia menyentuh dan membangkitkan orang muda itu,Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah! (Luk 7: 14). Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya” (Luk 7:15). Yesus mengambil risiko untuk dianggap najis karena menyentuh mayat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: bukan mayat itu yang menajiskan diri-Nya, tetapi kuasa Yesus membangkitkan pemuda itu. Pemuda yang telah menjadi mayat yang najis dan menajiskan, setelah disentuh oleh Yesus menjadi hidup kembali. Hal ini berarti ia tidak lagi najis karena bukan lagi mayat.

Selain itu, tindakan Yesus ini menjadikan persoalan yang sedang dihadapi si janda teratasi. Situasi gelap dan putus asa yang melingkupinya telah sirna karena putra satu-satunya yang sudah mati, hidup kembali. Hal yang sama tentu saja dialami oleh janda Sarfat, yang anak laki-laki tunggalnya dihidupkan kembali oleh Allah melalui Elia.

Melihat peristiwa menakjubkan ini, “Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata, ‘Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,’ dan ‘Allah telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya.’” (Luk 7:16). Rasa ‘takut’ ini merupakan perasaan antara takut-segan dan terpesona (ajrih-asih). Ini tentu suatu sikap yang wajar disampaikan kepada Allah sendiri, karena Dia datang untuk menyelamatkan umat-Nya. Dalam peristiwa ini, Allah bertindak melalui seorang utusan-Nya, yang disebut sebagai seorang ‘nabi besar.’ Ia lebih besar daripada Elia yang pada masa jauh sebelumnya telah membangkitkan anak janda Sarfat dan membangkitkan iman pada ibunya, “Sekarang aku tahu bahwa Engkau abdi Allah, dan Firman Tuhan yang kuucapkan itu adalah benar” (1Raj 17:24).

Peristiwa yang dialami oleh kedua janda tersebut, amat mungkin juga kita alami. Dan memang, baik dalam bacaan I maupun Injil, sama sekali tidak disebut siapa nama janda tersebut. Maka, kita pun bisa memasukkan nama kita masing-masing pada apa yang dialami oleh janda tersebut sehingga kita pun juga mengalami dan merasakan belas kasih Tuhan yang pada gilirannya juga mendorong kita untuk semakin berbela rasa dan berbelas kasih terhadap sesama dan semakin beriman kepada Tuhan.

Oleh karena itu, dari kedua bacaan yang telah diuraikan di atas, kita dapat menarik setidaknya tiga inspirasi hidup. Pertama, kita diajak untuk berbela rasa seperti orang banyak yang datang melayat dan membantu penguburan anak janda dari Nain tersebut. Hal ini kiranya meneguhkan kebiasaan baik di antara kita yang selama ini juga selalu berbela rasa dan hadir untuk membantu saudara dan tetangga yang sedang berkesusahan, menghibur yang sedang sedih, menemani yang sedang mempunyai masalah, melayat yang sedang keripahan, mendoakan arwah, dll. Kedua, kita juga diajak untuk berbelas kasih seperti Yesus dan Elia. Dengan demikian, semangat bela rasa yang kita lakukan tidak hanya sekedar sebagai kewajiban dan melakukan yang umumnya dilakukan oleh orang lain, tetapi sungguh-sungguh didorong dan dijiwai oleh hati yang penuh belas kasih.

Ketiga, kita diajak untuk semakin beriman kepada Tuhan. Kita percaya bahwa Tuhan selalu hadir dan menyertai kita, juga pada saat kita mengalami kesulitan, penderitaan dan kesedihan seperti halnya Ia mengutus Elia kepada janda Sarfat dan Yesus sendiri hadir bagi janda Nain. Maka, dalam situasi derita, sulit dan sedih, jangan sampai kita putus asa, sebab Tuhan selalu dapat kita harapkan. Semua doa yang kita panjatkan kepada-Nya pasti dikabulkan, kendati ada tiga kemungkinan: langsung dikabulkan – karena yang kita mohon memang sesuai dengan kehendak Tuhan; ditunda – karena Tuhan melihat bahwa kita belum siap untuk menerima apa yang kita mohon dan Tuhan ingin melatih atau menguji kesabaran kita; diberi sesuatu yang lain dari yang kita mohon – karena Tuhan ingin memberikan kepada kita yang lebih baik. Maka, marilah kita kuatkan iman kita bahwa Tuhan selalu memberikan pertolongan tepat pada waktunya, seperti ia hadir dan menolong para janda tersebut.

Ag. Agus Widodo, Pr 

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy