"BELAJAR SEPANJANG HIDUP"
Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat beriman Katolik Keuskupan Agung Makassar: Salam sejahtera dalam Kristus Yesus,
Firman yang “telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14) dan yang “telah belajar menjadi taat” (Ibr. 5:8).
Hari Rabu Abu, sebagai awal Masa Prapaskah, tahun ini jatuh pada tanggal 5 Maret 2014 yang akan datang. Lingkaran 5-tahunan APP Nasional (2012-2016), dengan tema pokok ”Mewujudkan Hidup Sejahtera”, tahun ini telah memasuki tahun ke-3. Sub-tema tahun lalu ialah “Menghargai Kerja”. Panggilan sebagai mitra kerja Allah (manusia adalah citra Allah) dengan demikian menempatkan daya kreativitas dan inovasi tepat-arah sebagai prasyarat untuk proses dan hasil kerja yang semakin berdampak, berdaya guna dan sekaligus memberdayakan bagi orang lain. Oleh karena itu, manusia tertuntut untuk terus-menerus belajar sepanjang hidup. Sedemikian itu, maka fokus pastoral Gerakan APP tahun 2014 ini adalah “BELAJAR SEPANJANG HIDUP”.
Sebagaimana terjadi setiap tahun, Komisi PSE-KWI menyediakan bahan pembelajaran menyangkut tema yang bersangkutan; demikian juga Komisi PSE/APP-KAMS menyiapkan kerangka bahan animasi untuk tema yang sama. Surat Gembala Prapaskah Uskup tidak dimaksudkan sebagai pengganti kedua bahan tersebut. Surat Gembala justru dimaksudkan menunjang keduanya, misalnya dengan lebih mengembangkan salah satu aspek berkaitan dengan tema tersebut atau mengangkat aspek-aspek lain yang belum disinggung dalam kedua bahan itu.
Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”. Dengan demikian manusia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; ia ditetapkan Allah sebagai tuan atas segala makhluk di dunia ini (Kej. 1:26; Keb. 2:23); “kepadanya dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri” untuk menguasai dan menggunakan segala makhluk itu sambil meluhurkan Allah (Sir. 17:3-10; lih. juga Mzm. 8:5-7). Jadi sebagai “gambar Allah” manusia itu co-creator, mitra kerja Allah; karenanya, dari kodratnya, manusia mempunyai sifat kreatif. Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awalmula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej. 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama, ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya (GS,12). Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab Suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej. 1:31).
Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awalmula sejarah, atas bujukan si Jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati mereka diliputi kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk daripada Sang Pencipta (Rom. 1:21-25). Apa yang kita ketahui berkat Pewahyuan itu memang cocok dengan pengalaman sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga, bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal-hal buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak keterarahannya yang sejati kepada tujuannya terakhir, begitu pula seluruh hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan segenap ciptaan. Oleh karena itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau sebagai perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas kekuatannya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif, sehingga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Dosa memang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk mencapai kepenuhannya. (GS,13).
Akan tetapi datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan ke luar penguasa dunia ini (Yoh. 12:31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa (Yoh. 8:34). Dialah Yesus Kristus, “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15; 2 Kor. 4:4). “Dia pulalah manusia sempurna, yang mengembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan (Konsili Konstantinopel II dan III), maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur. Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaannya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akalbudi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi (Konsili Konstantinopel III), Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang di antara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa (Ibr. 4:15)” (GS,22).
Setelah Ia lahir, Ia bertumbuh, “bertambah besar dan menjadi kuat” (Luk. 2:40). Keluarga-Nya menjadi bagi-Nya sekolah pertama dalam pendidikan nilai-nilai kemanusiaan dan religius. Orang tua-Nya sejak dini menanamkan tradisi keagamaan Yahudi pada-Nya, termasuk kebiasaan berziarah ke Yerusalem tiap-tiap tahun pada hari raya Paskah (Luk. 2:41). Terjadilah pada usia 12 tahun Yesus tertinggal di Bait Allah di Yerusalem, dan baru sesudah tiga hari orang tua-Nya menemukan Dia kembali. Yesus mengatakan kepada orang tua-Nya: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49). Tetapi Kitab Suci mencatat, bahwa orang tua-Nya tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Yang jelas Maria dan Yusuf memperlakukan Yesus sebagaimana umumnya orang tua memperlakukan anak mereka. Dan memang selanjutnya ditegaskan: “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka” (Luk. 2:51). Dan Yesus tentu belajar bertukang pada Yusuf, ayah piara-Nya, demi menghidupi keluarga mereka. Maka setelah ditempa dalam keluarga dan di tengah lingkungan masyarakat-Nya selama kurang-lebih 30 tahun, Yesus akhirnya dapat tampil dan berkarya di depan umum sebagai seorang yang utuh dan matang. Ciri serba biasa hidup tersembunyi Yesus, sebagaimana halnya setiap anak manusia lainnya, dengan sangat kuat terasa dalam kata-kata penolakan orang-orang sekampung-Nya di Nazaret, ketika Ia sudah mulai tampil di depan umum: “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudaranya yang perempuan ada bersama kita?” (Mrk. 6:3). Sejak Ia mulai berkarya di depan umum mewartakan Kerajaan Allah, Yesus juga terus belajar sampai akhir hidup-Nya. Kitab Suci menegaskan: “Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr. 5:8).
Kita baca dalam Injil, di tengah kesibukan-Nya yang luar biasa dalam mewartakan Kerajaan Allah, pada malam hari atau pagi-pagi buta, Yesus mengundurkan diri ke tempat sunyi di puncak bukit atau di bawah rerindang pohon-pohon Zaitun. Untuk apa? Untuk berdoa, berkomunikasi dengan Allah, Bapa-Nya, mencari dan merenungkan kehendak-Nya. Ia sendiri menegaskan: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Di taman Getsemani, menjelang Dia ditangkap, Ia mengungkapkan kepasrahan total kepada kehendak Bapa dalam bentuk doa: “Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42).
Tolok ukur satu-satunya dalam hidup dan karya Yesus ialah KEHENDAK Allah. Dan inilah yang membawa Dia berani bertindak kreatif dan inovatif. Ia membawa pembaharuan atas peraturan Hukum Taurat yang melarang orang bekerja pada hari Sabat. Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ia menegaskan: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh. 5:17). Ia menerobos tradisi “sok saleh” kaum beragama pada zaman-Nya. Ia bergaul dan makan bersama dengan orang-orang yang dicap pendosa. Ia berkata: “Anak Manusia datang (diutus) untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Ia merombak pelbagai adat istiadat Yahudi yang bertentangan dengan perintah Allah. Ia menegaskan kepada orang Farisi dan ahli Taurat: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri” (Mrk. 7:9). Bahkan Dia memperbaharui dan menyempurnakan Hukum Taurat: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:43-44).
Tetapi Yesus tidak hanya mengajarkan sesuatu. Ia sendiri melaksanakan apa yang diajarkan-Nya. Ketika Ia digantung oleh orang-orang sebangsa-Nya di atas salib, Ia berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Kematian Yesus di salib, di samping merupakan ungkapan ketaatan total kepada kehendak Bapa, sekaligus juga merupakan ungkapan kasih tanpa batas kepada manusia. Ia sendiri telah mengatakan: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Di tempat lain Ia menegaskan: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24).
Senyatanya, penyerahan diri secara total kepada Bapa dan kasih tanpa batas kepada manusia menuntut pengorbanan dan pengingkaran diri. Itulah makna salib dalam hidup dan karya Yesus. Ia sungguh telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya. Oleh sebab itu, “Yesus dapat disebut Guru dalam arti yang sepenuh-penuhnya justru karena Dia tidak berpegang teguh pada hak-hak istimewa-Nya; akan tetapi menjadi salah satu dari antara manusia yang harus belajar. Hidup-Nya menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak memerlukan senjata, bahwa kita tidak perlu menyembunyikan diri kita, atau saling menantang untuk bersaing. Hanya orang yang tidak takut untuk memperlihatkan kelemahannya dan membiarkan dirinya disentuh oleh tangan halus Sang Guru dapat menjadi murid yang sejati” (Henri J.M. Nouwen).
Menjelang akhir hidup dan karya-Nya di depan umum, pada Perjamuan Malam Terakhir, Yesus menegaskan kepada para rasul-Nya: “Aku telah memberi teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu” (Yoh. 13:15). Tentu teladan yang dimaksudkan-Nya tidak hanya terbatas pada apa yang Dia perbuat pada malam itu: membasuh kaki murid-murid-Nya. Teladan yang dimaksudkan-Nya menyangkut seluruh hidup dan karya-Nya, yang masih akan memuncak pada Jumat Agung di atas salib. Sesungguhnya pada pemberitahuan pertama tentang penderitaan-Nya, Ia berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga”. Dan segera saja Dia menyambung: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Luk. 9:22-23).
Kembalilah kita sekarang ke tema: “Belajar Sepanjang Hidup”. Citra Allah, yang dirusak oleh dosa, ditebus dan dipulihkan dalam Yesus Kristus. Yesus Kristuslah Adam Baru, Manusia Baru, Citra Allah yang sempurna. Pada Dialah kita harus berguru sepanjang hidup. Dialah dasar dan sekaligus model (contoh) bagi kita dalam menjalani kehidupan dan berkarya di dunia ini. Kita harus meneladani hidup dan karya-Nya tidak hanya selama hidup di depan umum, melainkan seluruh hidup-Nya, mulai dari penjelmaan-Nya (Natal) sampai pemuliaan-Nya (misteri Paskah: sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya). Khusus untuk hidup keduniaan, kita perlu mencontoh hidup-Nya yang tersembunyi dalam keluarga dan di tengah lingkungan masyarakat-Nya. Konsili Vatikan II menegaskan: Hendaklah umat Kristiani bergembira, bahwa mereka mengikuti teladan Kristus yang hidup bertukang, dan dapat menjalankan segala kegiatan duniawi, sambil memperpadukan semua usaha manusiawi, kerumah-tanggaan, kejuruan, usaha di bidang ilmu pengetahuan maupun teknik dalam suatu sintesa yang hidup-hidup dengan nilai-nilai keagamaan, yang menjadi norma tertinggi untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah” (GS,43).
Dalam pernyataan itu Konsili dengan jelas mendorong orang Kristiani meneladan Yesus Kristus yang bekerja demi kesejahteraan hidup duniawi. Untuk itu tidak ada kegiatan duniawi yang baik yang dikecualikan. Orang Kristiani diajak terlibat dalam semua usaha manusiawi demi membangun hidup duniawi yang lebih sejahtera: kerumah-tanggaan, kejuruan, usaha di bidang ilmu pengetahuan maupun teknik. Tetapi semua itu harus diukur dengan norma tertinggi, berupa nilai-nilai keagamaan. Karena itu setiap usaha yang berlawanan dengan nilai-nilai keagamaan jelas terlarang, seperti memproduksi dan memperjual-belikan narkoba, korupsi, perdagangan manusia dan pelacuran, perjudian, hiburan yang tidak sehat. Adapun arah segala usaha membangun hidup duniawi yang lebih baik dan sejahtera itu, ialah “demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia” (AG,9; LG,17). Demikianlah, usaha Kristiani membangun hidup duniawi yang lebih baik dan sejahtera berlawanan dengan usaha membangun Menara Babel atau “surga dunia” ala Komunisme Ateistis. Orang Kristiani harus selalu awas terhadap godaan nyata ini.
Mari kita terus belajar seumur hidup pada Sang Guru sejati kita, Yesus Kristus, Manusia Baru, Citra Allah yang sempurna. Selamat menjalani Masa Praspaskah!
Makassar, Medio Februari 2014
+ John Liku-Ada’
Uskup Agung Makassar