| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Berbeda dalam iman, bersatu dalam cinta

Pastoral Khusus Terhadap Keluarga Kawin Campur

Oleh: Ign. Budiono, O.Carm

“Saya bukan contoh yang baik,” ujar Mayong Suryo Laksono merendah. “Pernikahan kami beda agama, bukankah itu yang harus dihindari?” lanjut wartawan yang menikah dengan artis Nurul Arifin (kemudian juga anggota DPR) ini dalam sebuah wawancara dengan Majalah Hidup (7/12/2011).

Memang dalam Gereja idealnya adalah perkawinan satu iman. Namun, Gereja Katolik tetap menghormati martabat pribadi setiap orang, kebebasan untuk [tetap] memeluk agama[nya] dan kebebasan nuraninya, dan akhirnya menghormati hak pasangan untuk tetap menikah, walau berbeda keyakinan.

Dukungan dari Keluarga Besar, Lingkungan dan Paroki
 
Walaupun yang diharapkan adalah perkawinan sama-sama Katolik, tidak jarang terjadi, ada perkawinan campur (beda agama atau beda Gereja). Namun, keluarga besar atau warga lingkungan tidak perlu mengucilkan mereka. Yang paling utama adalah sikap yang wajar dan baik pada mereka. Penting juga kunjungan (silahturahmi). Umat, pengurus lingkungan dan pastor paroki bisa mengunjungi keluarga-keluarga itu, entah dalam kesempatan biasa atau kesempatan-kesempatan khusus, misalnya Idul Fitri, dan sebagainya. Ini akan menjadi dukungan bagi mereka itu, dan menjadi bagian penting dari pastoral.

Kata-kata Yesus ini mungkin bisa dikenakan di sini, “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga...” (Yoh 10:16). Kalaupun pasangan yang tidak Katolik itu kemudian tidak menjadi Katolik, mereka telah mendapat penggembalaan dan kesaksian akan cinta kasih kristiani. Inisiatif-inisiatif lain bisa diusahakan. Misalnya: paroki mengorganisir pertemuan dengan keluarga-keluarga kawin campur. Di situ bisa diadakan berbagi pengalaman (iman), atau pembinaan-pembinaan tertentu yang perlu, seperti: tentang bagaimana membangun komunikasi atau mendalami bersama kekayaan tradisi-tradisi iman masing-masing.

Menghayati Iman dan Hidup Bersama dalam Suasana Penuh Toleransi

Selanjutnya keluarga-keluarga kawin campur juga punya tugas penting yang mestinya sudah disepakati sejak awal. Pertama, menghayati hidup iman dengan sungguh-sungguh. Gereja memang mengajarkan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain (LG, 15-16; KGK 847-848), tetapi juga menjunjung tinggi nilai iman (LG, 14; KGK 846).

Jadi keliru, misalnya, demi “toleransi” pada pasangan yang berbeda agama, lalu orang menghayati imannya secara setengah-setengan, atau cenderung tak peduli dengan segala sesuatu yang berbau iman/agama. Penghayatan iman yang benar dan mendalam tidak menghalangi toleransi itu. Karena itu, sebagaimana telah disepakati, pihak yang Katolik punya kewajiban untuk mendidik anak-anak mereka sejak awal dalam iman Katolik yang serius.

Di lain pihak, anak-anak perlu tumbuh dalam suasana keluarga yang toleran. Maka, kedua, orangtua sejak awal bisa membangun kebiasaan-kebiasaan toleransi yang baik dengan contoh-contoh kecil seperti: saling mengantar untuk pergi beribadah (ke gereja, masjid), menemani pasangan yang sahur atau buka puasa, atau makan bersama dengan didahului doa secara bergiliran menurut keyakinan masing-masing. Sangat baik, jika anak-anak yang dibesarkan dalam iman Katolik itu juga dibesarkan dalam keterbukaan dan hormat terhadap nilai-nilai tradisi iman dari bapak/ibunya yang berbeda darinya. Karena baik jika di rumah, ada berbagi Kitab Suci, buku dari keyakinan bapa/ibunya yang berbeda, kadang pula, saling bercerita satu sama lain, tentang pengalaman iman dan khazanah kepercayaan masing-masing.

Ada satu kalimat sangat bagus dari St. Agustinus, “Dalam hal-hal esensial: persautan; dalam hal-hal yang masih diragukan: kebebasan; dalam segala hal cinta kasih” (In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas). Ini adalah sebuah prinsip yang sangat bagus untuk keluarga-keluarga kawin campur. Dalam perbedaan keyakinan ada kemerdekaan, tetapi mereka disatukan dalam hal-hal yang esensial (misalnya apa yang penting bagi kebaikan anak-anak dan kebahagiaan keluarga).

Akhirnya, dalam semuanya, yang paling penting adalah cinta kasih. Karena cinta itulah, walau berbeda keyakinan pasangan itu memutuskan untuk membangun satu keluarga. (CAFE ROHANI 08/2014)

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy