| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

SERI CATATAN RINGAN: Kemuliaan Kepada Allah di Surga

Dalam tradisi liturgi Gereja, ada 2 madah yang dikenal dengan sebutan Kemuliaan / Gloria. Pertama adalah madah ‘Kemuliaan kepada Allah di surga’ yang selalu kita nyanyikan pada perayaan Ekaristi hari Minggu, dan kedua adalah Gloria Patri atau ‘Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus....’ yang lazim digunakan untuk menutup doa atau sebagai ayat terakhir dalam pendarasan Mazmur. Dari keduanya, yang akan dibahas berikut adalah yang pertama: Gloria in excelsis Deo.

Madah ini bisa dikatakan adalah salah satu madah tertua dalam tradisi Gereja, yang sudah digunakan dalam liturgi sejak masa awal Gereja. Untuk menghargai sejarahnya yang panjang, Gereja saat ini menetapkan aturan bahwa Kemuliaan yang dapat dipakai dalam perayaan Ekaristi adalah yang sesuai dengan Missale Romanum atau terjemahannya yang telah disetujui Takhta Suci. Itu artinya teks eksperimental terhadap madah ini atau lagu lain yang menggantikannya tidak dapat dipakai lagi.

Secara tekstual, Kemuliaan dibagi menjadi empat bagian:

Bagian pertama adalah kalimat pertama madah ini: “Kemuliaan kepada Allah di surga, dan damai di bumi kepada orang yang berkenan pada-Nya.” Kalimat ini sama sekali tidak asing bagi orang kristen, apalagi yang rajin membaca alkitab. Seruan ini diucapkan oleh para malaikat yang menemui para gembala pada malam saat Yesus dilahirkan (lihat Luk 2:14).

Pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa seruan ini diucapkan oleh “sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah” (Luk 2:13). Maka saat melambungkan kembali madah ini, umat beriman ikut menggabungkan diri dengan penghuni surga. Jika dahulu para malaikat memuji Allah karena Sang Sabda telah menjadi manusia, kini Gereja memuji Allah karena sebentar lagi Sabda Allah akan dimaklumkan dan kemudian hadir dalam rupa Hosti Suci.

Bagian kedua dari madah Kemuliaan adalah pujian kepada Allah Bapa. Bagian ini diawali dengan pujian langsung: “Kami memuji Dikau. Kami meluhurkan Dikau. Kami menyembah Dikau. Kami memuliakan Dikau.’ Baru di kalimat selanjutnya disebutkan alasan kenapa Allah patut dipuji, diluhurkan, disembah dan dimuliakan: ‘Kami bersyukur kepada-Mu, karena kemuliaan-Mu yang besar.’ Sekali lagi disebutkan tentang kemuliaan-Nya setelah yang pertama di awal tadi.

Bagian ini ditutup dengan pengakuan tentang siapa Allah itu. Dia adalah ‘Tuhan Allah, Raja surgawi, Allah Bapa yang mahakuasa.’ Pengakuan tentang kemahakuasaan Allah tidak hanya ditemukan dalam madah Kemuliaan, tapi juga pada pengakuan iman baik Syahadat Para Rasul maupun Syahadat Nikea-Konstantinopel. Kedua syahadat ini diawali dengan ‘Aku percaya akan (satu) Allah, Bapa yang mahakuasa

Bagian ketiga adalah pujian kepada Yesus Kristus. Pujian ini sama seperti bagian terakhir sebelumnya, berupa pengakuan tentang siapa itu Yesus. Bagian ini secara singkat-padat menyebutkan tentang Yesus sebagai pribadi kedua dalam misteri Tritunggal Mahakudus. Dia adalah ‘Tuhan Yesus Kristus, Putra yang tunggal, Tuhan Allah, Anakdomba Allah, Putra Bapa.

Tiga kalimat berikutnya lebih tampak sebagai permohonan yang alkitabiah. Ketika Yohanes Pembaptis melihat Yesus, ia menyebut-Nya sebagai “yang menghapus dosa-dosa dunia” (Yoh 1:29). Seruan “kasihanilah kami” banyak kali disebutkan dalam Injil oleh orang-orang yang merasa berdosa atau membutuhkan pertolongan entah bagi dirinya sendiri maupun orang lain (Mat 9:27, 20:30; Mrk 10:47; Luk 17:13).  Dalam berbagai kesempatan orang-orang meminta “kabulkanlah doa kami” kepada-Nya (Mrk 5:13, 10:35).  Yesus pula yang menyatakan diri-Nya “duduk di sisi Bapa” (Mat 26:64, Mrk 15:62, Luk 22:69, Kis 7:55-56).

Jika ada pertanyaan kenapa tiga permohonan ini muncul dalam madah tentang kemuliaan Tuhan, jawabannya adalah tiga pernyataan berikutnya: “Karena hanya Engkaulah kudus. Hanya Engkaulah Tuhan. Hanya Engkaulah mahatinggi, ya Yesus Kristus.” Tiga pertanyaan dan tiga pernyataan ini adalah pengakuan terhadap kemahakuasaan Yesus, sebagaimana kemahakuasaan Allah Bapa yang sudah diakui sebelumnya.

Bagian keempat sangatlah singkat, hanya terdiri dari satu kalimat yang sesungguhnya melanjutkan kalimat terakhir di atas: “bersama dengan Roh Kudus dalam kemuliaan Allah Bapa.” Kalimat ini singkat namun padat makna. Pertama bisa dilihat bahwa sekali lagi, disebutkan tentang ‘kemuliaan’. Kedua, penyebutan Roh Kudus menggenapi misteri Tritunggal Mahakudus yang juga hendak disampaikan dalam madah Kemuliaan ini: di awal menyebut Allah Bapa, kemudian Allah Putra, dan di akhir Allah Roh Kudus. Ketiga, kalimat trinitaris seperti ini juga banyak ditemukan dalam doa atau madah lainnya misalnya pada doa pembuka atau yang sudah disebutkan di awal artikel ini pada doa “Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus...” dan masih banyak lagi. Seluruh rangkaian pemuliaan ini, seperti halnya pada doa umumnya, ditutup dengan seruan “Amin.

Selain makna literal yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa hal lain terkait dengan madah Kemuliaan ini:
  1. Ada satu aturan dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) tentang menundukkan kepala ketika menyebutkan nama Yesus sebagai tanda hormat. Itu artinya saat Kemuliaan, kita, termasuk Imam, menundukkan kepala pada saat nama Yesus disebut, pada awal dan akhir bagian ketiga.
  2. Terkait dengan poin 1 di atas, pada penyebutan nama Yesus yang kedua kali umumnya dijadikan puncak pada banyak karya musik, entah dibuat lebih meriah atau sedikit lebih lambat untuk memberikan kesan bagian itu memang berbeda dari yang lain dan memberi semacam tanda untuk menundukkan kepala. Contohnya yang dapat ditemukan di Puji Syukur adalah pada Kemuliaan Misa Lauda Sion, Misa Kita II dan Misa Kita IV.
  3. Ada kebiasaan untuk memperlambat tempo, memperlembut dinamika atau memberi harmoni minor pada bagian permohonan pada Yesus Kristus. Ini sebenarnya bukan merupakan keharusan, tergantung interpretasi dari komposer atau dirigen.
  4. Kalimat “Kemuliaan kepada Allah di surga” umumnya dinyanyikan oleh Imam selebran. Ini pun juga bukan keharusan, bahkan di dalam PUMR disebutkan bahwa kalimat ini dapat dinyanyikan oleh koor atau solis. Jadi tidak perlu merasa janggal jika suatu waktu bukan Imam yang menyanyikannya, atau Imam meminta koor yang menyanyikan.

Sumber: Saint Raphael Publishing

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy