Hari Biasa Pekan XXIII
Bagaimana Kitab Suci seharusnya dibaca? Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan dengan bantuan Roh Kudus dan di bawah tuntunan Kuasa Mengajar Gereja menurut kriteria: 1) harus dibaca dengan memperhatikan isi dan kesatuan dari keseluruhan Kitab Suci, 2) harus dibaca dalam Tradisi yang hidup dalam Gereja, 3) harus dibaca dengan memperhatikan analogi iman, yaitu harmoni batin yang ada di antara kebenaran-kebenaran iman itu sendiri. (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, No. 19)
Doa Pagi
Ya Allah, dalam diri Yesus Kristus, Putra-Mu, Engkau telah menaruh Sabda cinta kasih-Mu. Kami mohon, buatlah Sabda-Mu itu berkembang subur dalam diri kami agar kami semakin menyerupai Putra-Mu dalam cinta kasih yang tulus kepada sesama kami. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Bacaan dari Surat Pertama Rasul Paulus kepada umat di Korintus (1Kor 9:16-19.22b-27)
Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
Mazmur Tanggapan
Ref. Betapa menyenangkan tempat kediaman-Mu, ya Tuhan semesta alam!
Ayat. (Mzm. 84:3.4-5-6.8.12)
1. Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran Tuhan; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.
2. Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya Tuhan semesta alam, ya Rajaku dan Allahku!
3. Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!
4. Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion.
5. Sebab Tuhan Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.
Bait Pengantar Injil
Ref. Alleluya, alleluya
Ayat. (Yoh 17:17b.a)
Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas (6:39-42)
Pada suatu ketika Yesus menyampaikan perumpamaan ini kepada murid-murid-Nya, "Mungkinkah seorang buta membimbing orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang? Seorang murid tidak melebihi gurunya, tetapi orang yang sudah tamat pelajarannya, akan menjadi sama dengan gurunya. Mengapa engkau melihat selumbar dalam mata saudaramu, sedangkan balok dalam matamu sendiri tidak kauketahui? Bagaimana mungkin engkau berkata kepada saudaramu, 'Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar dalam matamu', padahal balok dalam matamu tidak kaulihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
Demikianlah Injil Tuhan
U. Terpujilah Kristus.
Renungan
Saudara-saudari terkasih dalam nama Tuhan Yesus Kristus.
Yesus menyatakan pesan yang baru saja kita dengar tadi melalui perumpamaan orang buta, bahwasanya tidak mungkin orang buta menuntun orang buta lain, karena keduanya akan masuk lubang bersama-sama. Demikian jugalah orang berdosa tidak mungkin mempertobatkan orang berdosa lain. Keduanya melekat pada dosa yang sama. Hanya saja memilih cara berlawanan. Orang munafik tidak mengakui kelekatannya pada dosa, dengan mati-matian berupaya menekan, menolak, dan memerangi kelekatannya. Pengikut hasrat mengalah dan tunduk mengikuti dorongannya, dengan menyalurkan dan bertindak dosa. Orang munafik jelas marah, karena iri pada pengikut hasrat, tidak terima mereka bebas menyalurkan hasrat, menghakiminya salah dan merasa dirinya yang benar. Pengikut hasrat merasa dirinya lebih jujur dan tidak menyukai kepalsuan orang munafik.
Saudara-saudari terkasih.
Seolah terbentang jurang perbedaan antara orang munafik dan pengikut hasrat. Sikap mereka terhadap dorongan dosa memang bertentangan, namun sebetulnya kondisi batin mereka sama. Sama-sama melekat, sama-sama budak yang tidak bebas menentukan tindakan sendiri. Setiap kali dorongan itu datang, orang munafik akan bersegera memerangi dan pengikut hasrat akan bersegera menyalurkan. Dorongan dosa menjadi tuan yang berkuasa atas jiwa dan menentukan apa yang harus mereka lakukan, entah memerangi ataupun mengikutinya. Ada masanya, dimana orang munafik kemudian berubah menjadi pengikut hasrat. Mereka lelah terus-terusan berperang. Atau mereka menyesal atas kehilangan akibat tidak mengikuti hasrat. Mereka lalu berubah menjadi jujur mengakui dan mengikuti hasratnya agar kekecewaan yang mendalam tidak terulang.
Saudara-saudari terkasih.
Ada seorang ibu yang bersahabat secara istimewa dengan seorang bapak. Kehidupan mempertemukan mereka secara natural sedemikian indahnya, dan dapat ditafsirkan mereka saling jatuh cinta, meski masing-masing sudah menikah. Ibu merasa takut salah. Ia menarik diri sehingga intensitas komunikasi berkurang. Bapak awalnya memperjuangkan cintanya, karena pernah kecewa tidak mengikuti hasratnya saat muda dan tidak mau mengalami penyesalan yang sama. Namun melihat ibu yang lambat laun belajar konsisten menarik diri, bapak pun menyesuaikan caranya berelasi. Ia tidak lagi mengekspresikan keintiman sebagaimana sebelumnya. Awalnya, ibu lega, karena ada ruang dan merasa aman. Namun ibu mulai kehilangan. Ia mulai memahami latar belakang penyesalan yang mendorong perjuangan bapak. Terbersit niat meminta bapak untuk kembali berhubungan seperti dulu. Namun ia sadar, segalanya sudah bergeser. Ibu berada di ujung persimpangan. Apakah ia mau mengikuti dorongan hatinya untuk kembali berhubungan dekat sebelum peluang itu sirna? Atau ia mau konsisten menarik diri dan menerima statusnya kini teman biasa?
Saudara-saudari terkasih.
Ibu tidak mau menjadi orang munafik, yang mati-matian menolak kenyataan diri. Ia paham, penolakan kenyataan diri hanya akan memancingnya mudah cemburu saat bapak bersahabat intim dengan perempuan lain, ataupun ia akan mudah menghakimi persahabatan lawan jenis dari rekan-rekannya. Namun di sisi lain, ia juga tidak mau melanggar pesan Yesus untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri, yang menimbulkan konsekuensi ia perlu menahan diri untuk bersahabat intim dengan lawan jenis untuk menghormati perasaan dan keinginan suaminya. Di ujung persimpangan ini, ia pun berefleksi. Apa yang menyebabkan ia gundah saat ini? Hasrat menjadi yang utama, ia tolak, dan kini ia menyesal saat tidak lagi diutamakan. Rasanya serupa dengan pejabat pensiun, karyawan turun pangkat, istri dimadu, kekasih menjadi teman, dan situasi lain yang melahirkan rasa downgrade. Bagaimana mengatasinya? Bukan dengan menghilangkan rasa, tapi menerima.
REFLEKSI:
Kenyataan diri apa yang saya tolak saat ini? Maukah saya menerimanya? Maukah saya menerima bahwa saya sedang menolak kenyataan tersebut?
MARILAH KITA BERDOA:
Yesus, terima kasih, atas saran-Mu, untuk membongkar dan menata diri sendiri dulu, sebelum menuntut perubahan dari sesama. Jernihkan sejenak pikiran kami, untuk menyadari kenyataan diri yang sedang ada, lalu menerima kenyataan diri sebagaimana adanya. Bimbing kami untuk berperilaku sesuai kehendak-Mu, ajari kami berbelas kasih pada sesama, ya Tuhan. Amin.