| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Seri Alkitab: FIRMAN DITERUSKAN LISAN

Seri Alkitab

FIRMAN DITERUSKAN LISAN
Bukti Alkitabiah

Syalom aleikhem.
Alkitab berisi firman Allah. Itu jelas. Namun, firman Allah tak hanya ada di dalam Alkitab. Itulah cara Gereja Katolik beriman. Gereja Katolik percaya bahwa firman Allah yang kekal itu tak terbelenggu dalam bentuk buku. Firman Allah lebih luas dan dalam dan tinggi daripada sekadar buku (Alkitab).

Berikut ini bukti alkitabiah yang diuntai untuk makin meyakinkan bahwa Alkitab bukan satu-satunya sumber iman – firman Allah disampaikan kepada umat dalam bentuk lisan dan tulisan, bukan cuma lisan saja alias berbentuk buku.

BAGIAN I

Mrk. 3:14: “Ia menetapkan dua belas orang, yang juga disebut-Nya rasul-rasul, untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil.” Tuhan Yesus mengutus Para Rasul untuk memberitakan Injil. Memberitakan itu mengkhotbahkan, menyampaikan lisan. Harap paham, “Injil” dalam ayat itu bukan Injil dalam bentuk buku, melainkan Injil dalam bentuk kabar alias lisan. Tuhan Yesus tak memberi perintah “tulis Injil”. Tuhan Yesus tak pernah mengarahkan bahwa ajaran-Nya (perkataan dan perbuatan-Nya) hanya akan termuat dalam sebuah buku (i.e. Alkitab) kelak.

Hal itu lebih tegas lagi pada akhir Injil Markus (16:15): “Lalu Ia berkata kepada mereka, ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.’” Beritakanlah. Bagi yang ingin tahu: kata bahasa asli (Yunani) untuk “beritakanlah” bermakna ‘khotbahkanlah’, Inggrisnya “preach”. Lisan. Kalimat itu juga bukan dimaksudkan agar kabar lisan berhenti dengan kematian Para Rasul. Bukankah perintah-Nya jelas: “ke seluruh dunia”.

Ketika Para Rasul meninggal semua, kabar lisan tentang ajaran Yesus Kristus belum mencapai seluruh dunia. Sekarang pun belum. Artinya, Tuhan Yesus tak menghentikan perintah itu untuk suatu masa. Perintah itu berlanjut sampai akhir zaman. Lagipula bagaimana coba para murid dan orang beriman dari abad pertama sampai abad keempat mengenal Tuhan Yesus? Ya umumnya – kalau bukan satu-satunya – dengan ajaran lisan alias berita Injil, bukan dengan buku Injil. Catat: buku Injil baru dibendel pada abad keempat. Come on.

Ayat lain dalam Injil Markus (13:31): “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” Perkataan Tuhan, bukan “buku Tuhan”. Perkataan Tuhan tak dapat dibatasi hanya dalam bentuk buku. Perkataan Yesus tak akan hilang. Apa artinya jika buku tentang perkataan-Nya tak mencakup seluruh perkataan dan perbuatan-Nya (lihat Yoh. 20:30, 21:25)?

Artinya, ada cara lain selain tulisan untuk menyampaikan firman-Nya. Cara lain itu lisan, pengajaran langsung. Bagaimana firman Allah diteruskan? Dengan lisan. Oleh siapa? Oleh para uskup, yaitu pengganti Para Rasul, dan para imam, yaitu pembantu dari pengganti para Rasul. Mereka itu pengajar-pengajar iman tentang Tuhan Yesus, pemberita Injil.

BAGIAN II

Perhatikan kutipan ini (Luk. 10:16): “Siapa saja yang mendengarkan kamu [tujuh puluh murid], ia mendengarkan Aku [Yesus]; dan siapa saja yang menolak kamu, ia menolak Aku; dan siapa saja yang menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” Di situ dikatakan “mendengarkan”. Artinya? Tujuh puluh murid diutus menyampaikan ajaran Tuhan dengan lisan. Tiada dikatakan “membaca”. Tertulis jelas “siapa mendengarkan”, bukan “siapa membaca”.

Apa arti semua itu? Perkataan (lisan) Yesus disampaikan kepada Para Rasul dan para murid, lalu oleh mereka dilanjutkan kepada para penerus atau pengganti mereka (suksesor). Para penerus melanjutkannya kepada para penerus seterusnya. Itu disebut “suksesi apostolik”. Kepemimpinan dan ajaran dilanjutkan terus secara lestari. Semua itu terjaga dengan baik dalam Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik (dikenal luas dengan nama “Gereja Katolik”).

Lukas melanjutkan (24:47): “Dalam nama-Nya [Mesias] berita tentang pertobatan untuk pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem.” Kata “disampaikan” itu dalam bahasa aslinya, Yunani, terbaca “dikhotbahkan”, Inggrisnya “preach” yang maknanya ‘diwartakan lisan’. Jadi, firman Allah tak terbatas dalam bentuk buku (Alkitab). Dalam seri keduanya, Lukas menulis hal senada (Kis. 2:3-4): “Dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti lidah api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Lalu mereka semua dipenuhi dengan Roh Kudus dan mulai berbicara dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk dikatakan.” Sekali lagi: “dikatakan”. Nah lisan. Bukan “dituliskan”.

Nas berikut lebih telak (Kis. 15:27): “Jadi, kami telah mengutus Yudas dan Silas yang secara lisan akan menyampaikan sendiri hal-hal ini kepada kamu.” Hal-hal apakah itu? Mengenai sunat. Zaman Para Rasul (baca Kis. 15:1-2), ada orang-orang berpendapat bahwa orang wajib sunat ketika jadi pengikut Kristus. Paulus dan Barnabas melawan dan membantah pendapat itu. Lalu, Paulus dan Barnabas dkk menghadap Para Rasul di Yerusalem untuk bicara soal itu. Keputusan bulat: pengikut Kristus tak wajib sunat (baca Kis. 15:19). Keputusan itu lalu ditulis dalam sepucuk surat (baca Kis 15:20). Namun, tulisan itu tak berdiri sendiri. Ada para utusan yang menerangkan secara lisan.

“Kepada mereka diserahkan surat yang bunyinya: ‘Salam dari rasul-rasul dan penatua-penatua…. Jadi, kami telah mengutus Yudas dan Silas yang secara lisan akan menyampaikan sendiri hal-hal ini kepada kamu.” (baca Kis. 15:22-32). Surat (tulisan) dibaca, lalu penjelasan (lisan) diberikan. Terang benderang ‘kan, sejak semula tak bisa tulisan berdiri sendiri sebagaimana kini Alkitab tak bisa sendirian tanpa Tradisi Suci.

BAGIAN III

Tak tersangkal, sekurang-kurangnya menurut apa yang tertulis yang masih tersimpan hingga kini, Paulus adalah rasul yang (paling) banyak menulis. Kendati banyak menulis, ia menekankan betapa pentingnya ajaran lisan sebagai hal yang tak terpisahkan dengan iman Kristen. Apa yang tertulis tak pernah (bisa) berdiri sendiri. Cermati kata-kata Rasul Paulus berikut.

Rom. 10:8: “‘Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu.’ Itulah firman iman, yang kami beritakan.” Disebut di sana “kami beritakan”. Berita itu kabar, kabar itu lisan. Itu berarti “kami lisankan”. Ini senada dengan Rom. 10:17: “Jadi, iman timbul dari apa yang didengar, dan apa yang didengar itu berasal dari pemberitaan tentang Kristus.” Seksama lihat, menurut Rasul Paulus, iman justru timbul dari pendengaran. Hal ini tak hanya sekali diingatkan oleh Rasul Segala Bangsa.

Resapkan pula ini: 1Kor. 15:1: “Dan sekarang, Saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri.” Kata “Injil” di situ bukan berarti buku, namun “kabar”. Injil itu membuat umat percaya kepada Sang Kristus, seperti ternyata pada 1Kor. 15:11: “Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar dan demikianlah kamu menjadi percaya.”

Injil dalam arti kabar juga dijelaskan di sini: Gal. 1:11-12: “Sebab aku menegaskan kepadamu, Saudara-saudaraku bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil yang berasal dari manusia. Karena aku tidak menerimanya dari manusia dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya melalui penyataan Yesus Kristus.” Rasul Paulus percaya kepada Tuhan Yesus bukan karena membaca, melainkan karena pernyataan; sekali lagi, artinya “lisan”. Dan Injil (dalam arti lisan) itu diberitakan oleh Rasul Paulus (juga dalam arti lisan).

Berkali-kali Sang Rasul menyatakannya, juga di sini: Ef. 1:13: “Di dalam Dia kamu juga -- karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu -- di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.” Jadi, Injil didengar. Mengenai “dengar” ini, begitu terang dicantumkan di sini: 2Tim. 1:13: “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari aku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih di dalam Kristus Yesus.” Di situ, Rasul Paulus meminta Uskup Timotius memegang segala yang didengar dari Rasul Paulus. Jadi, pemberitaan Injil tak terbatas pada Injil dalam bentuk tertulis saja, juga tak berhenti dengan kematian Para Rasul, melainkan diteruskan dalam Gereja Kristus.

BAGIAN IV

Pemberitaan Injil tak terbatas pada Injil dalam bentuk tertulis saja, juga tak berhenti dengan kematian Para Rasul, melainkan diteruskan dalam Gereja Kristus. Setelah Para Rasul meninggal, para uskup melanjutkan pemberitaan Injil. Para Rasul memberikan mandat itu sebagaimana tercantum dalam 2Tim. 4:1-8. Rasul Paulus menjelang akhir hidup (ay. 6-7): “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan… saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik….” Dalam rangka itu, ia berpesan kepada Uskup Timotius (ay. 2 & 5): “Beritakanlah firman, … baik atau tidak baik waktunya…” dan “… lakukanlah pekerjaan pemberita Injil.”

Kepada Uskup Timotius, Rasul Paulus berpesan (2Tim. 1:13), “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari aku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih di dalam Kristus Yesus.” Mana yang diajarkan? Apakah ditulis oleh Rasul Paulus? Tidak. Apakah juga kemudian ditulis oleh Uskup Timotius? Juga tidak. Lalu bagaimana? Diteruskan oleh Uskup Timotius, dan diteruskan lagi, lagi dan lagi oleh para penggantinya.

Begitulah, ajaran iman Kristen tak mati dengan matinya Para Rasul, juga tak “mati” dalam wujud buku. Ajaran itu hidup dalam “diri” para uskup, pengganti Para Rasul. Harap dicatat, Timotius yang namanya jadi nama surat dalam Alkitab adalah seorang uskup.

Sama persis cara kerjanya, Rasul Petrus mewejang (2Ptr. 1:15), “Tetapi aku akan berusaha, supaya juga sesudah kepergianku itu kamu selalu mengingat semuanya itu.” Umat Allah diminta mengingat, bukan menulis. Sang Rasul pergi – artinya memberitakan Injil di tempat lain, juga nantinya meninggal. Lalu? Para penggantinya diminta mengingat semua ajarannya. Perintah pertama-tama bukanlah menulis. Sungguh jelas, itu berarti ajaran lisan menduduki tempat penting dalam iman Kristen.

Sekarang Rasul Yohanes. Ia penulis Injil, namun ketika mengajar, ia “tak suka” menulis. Ia lebih suka melisankan ajarannya. Terang-benderang itu dalam suratnya (2Yoh. 1:12): “Sungguhpun banyak yang harus kutulis kepadamu, aku tidak mau melakukannya dengan kertas dan tinta, tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita.” Sang Rasul mau berbicara. Ia bukan tak pandai menulis, bukan tak bisa. Ia justru mau membicarakannya langsung. Hal itu persis diulangi dalam suratnya yang ketiga (3Yoh. 1:13).

Bukti-bukti alkitabiah jelas menyatakan bahwa firman Allah diteruskan lisan. Maka, tak benar bahwa firman Allah diteruskan hanya dalam bentuk buku. Firman Allah lestari dalam buku (Alkitab) dan dalam ajaran para pengganti Para Rasul (Tradisi). Keduanya tetap dilanjutkan tanpa saling meniadakan.

Rev. D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Katkiter

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy