Tetapi kapan kekerdilan kita menjadi nyata bagi kita seperti ketika kita berdiri di hadirat Tuhan? Dia adalah Tuhan yang agung, yang ada hari ini dan kemarin, yang tahun-tahunnya ratusan dan ribuan, yang mengisi tempat di mana kita berada, kota, dunia yang luas, ruang tak terukur dari langit berbintang, yang di matanya alam semesta kurang dari sebuah partikel debu, mahakudus, maha murni, maha benar, maha tinggi. Dia begitu hebat, saya begitu kecil, begitu kecil sehingga di sampingnya saya tampak hampir tidak ada, jadi saya kekurangan nilai dan substansi. Seseorang tidak perlu diberi tahu bahwa kehadiran Tuhan bukanlah tempat berdirinya martabat seseorang. Agar terlihat tidak terlalu sombong, menjadi sekecil dan serendah yang kita rasakan, kita berlutut dan dengan demikian mengorbankan setengah tinggi badan kita; dan untuk memuaskan hati kita lebih jauh kita menundukkan kepala kita, dan perawakan kita yang berkurang berbicara kepada Tuhan dan berkata, Engkau adalah Allah yang agung; aku bukan apa-apa.
Oleh karena itu janganlah menekuk lutut kita menjadi gerakan tergesa-gesa, suatu bentuk kosong. Masukkan makna ke dalamnya. Berlutut, dalam niat jiwa, adalah bersujud di hadapan Tuhan dengan rasa hormat yang paling dalam.