Benar bahwa Yesus mengasihi semua Rasul-Nya, yang kepada mereka semua Dia karuniai kebahagiaan menikmati kebersamaan dengan-Nya, mendengarkan pengajaran-Nya, dan menyaksikan mukjizat-mukjizat-Nya. Meski begitu, Ia mempunyai kasih sayang khusus kepada St. Yohanes. Ini karena Yohanes masih suci ketika Yesus memanggilnya, dan tetap demikian sepanjang hidupnya. Keadaan khususnya kekudusan menyenangkan Tuhan. Hal ini menjadikan kita seperti para Malaikat dan, dalam arti tertentu, lebih unggul dari mereka, karena roh-roh murni ini secara alami kudus, dan kita hanya dapat berhasil menjadi kudus melalui pengendalian diri yang besar. “Berbahagialah orang yang suci hatinya,” kata Yesus dalam Injil, “karena mereka akan melihat Allah.” (Mat. 5:8)
Keistimewaan melihat Tuhan secara khusus dikaitkan dengan kemurnian hati. Oleh karena itu St Yohanes, Rasul suci, memulai Injilnya dengan gambaran tentang kehidupan intim Allah yang kekal. “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yohanes 1:1) Ia terbang seperti seekor elang di atas bumi, seperti yang diamati oleh St. Hieronimus, dan menembus ke dalam hadirat Allah sendiri.
Kita tahu bahwa kita tidak akan pernah terpanggil untuk mencapai ketinggian seperti itu. Kita bahkan mungkin tidak mempunyai panggilan untuk hidup sebagai perawan. Namun kita semua dituntut untuk bersih hati. Kemurnian adalah kebajikan yang harus dimiliki oleh semua umat Kristiani dengan cara apa pun yang sesuai dengan posisi hidup mereka. Marilah kita memeriksa diri kita sendiri dengan cermat mengenai masalah ini dan membuat resolusi yang sesuai untuk masa depan.
St Yohanes membuktikan dirinya layak mendapat bantuan khusus dari Gurunya. Dia tidak pernah meninggalkan Kristus. Dia hadir pada Penderitaan di Getsemani. Dia berada di halaman Imam Besar ketika Petrus menyangkal Kristus, namun dia tetap setia. Dia adalah satu-satunya Rasul yang hadir di kaki Salib di Gunung Kalvari, di mana dia mendapat hak istimewa untuk mendengar kata-kata terakhir Tuhan kita.
Setelah kebangkitan, Yohanes adalah salah satu orang pertama yang bergegas ke makam. Seperti para Rasul lainnya, ia membuktikan kasihnya yang abadi kepada Yesus dengan menanggung penderitaan kemartiran, meskipun secara ajaib nyawanya terselamatkan. Dia menghabiskan hidupnya yang panjang dengan mempelajari cara mengasihi dan melayani Yesus Kristus. Bisakah hal yang sama berlaku untuk kita? Kita belum diberikan keistimewaan seperti yang diberikan kepada St. Yohanes, namun kita telah menerima nikmat yang tak terhitung jumlahnya dari Tuhan. Mari kita belajar dari teladan Rasul yang agung ini bagaimana bekerja sama dengan murah hati dengan rahmat Allah.
Baik dalam Injilnya maupun dalam suratnya, St. Yohanes terus-menerus menekankan keutamaan kasih. Dia menekankan perlunya kasih kepada Tuhan dan kasih terhadap sesama. “Allah adalah kasih,” tulisnya, “dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16) Menurut St Hieronimus, ketika Rasul Yohanes hampir berusia seratus tahun dan tidak mempunyai kekuatan untuk berbicara terlalu lama, ia terbiasa pergi dengan didukung oleh murid-muridnya ke pertemuan umat beriman. Di sana dia mengulangi nasihat yang sama di setiap kesempatan: “Anak-anakku, kasihilah satu sama lain.” Pengikutnya bosan dengan hal ini dan akhirnya bertanya mengapa dia terus mengulangi kalimat yang sama. “Karena itu adalah perintah Tuhan,” jawabnya, “dan jika kita tidak berbuat apa-apa selain menaatinya, itu sudah cukup.”
Mari kita renungkan kata-katanya dan ingatlah bahwa kasih kita kepada Tuhan akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kasih nyata terhadap sesama. Kasih kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kasih terhadap sesama manusia.