Meskipun hal ini mungkin belum banyak dipraktikkan, penghinaan terhadap kekayaan telah diajarkan oleh beberapa filsuf pagan kuno. Akan tetapi, tidak ada seorang pun sebelum Kristus yang berpikir untuk menuntut penyangkalan diri juga. Penyangkalan diri mungkin tampak seperti sebuah degradasi dan hampir merupakan pemusnahan sifat manusia. Ini mungkin terlihat sangat mustahil. Meskipun demikian, Yesus pernah bersabda: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat. 16:24)
Akankah Tuhan memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang mustahil? Tentu tidak. Seperti yang dikatakan Santo Agustinus, Penebus ilahi kita tidak memerintahkan kita melakukan apa pun yang mustahil, tetapi melakukan apa pun yang sempurna. Kesempurnaan memang sulit, namun bukan tidak mungkin. Apakah kita harus menjawab perintah Yesus Kristus dengan cara yang sama seperti yang dilakukan para murid pada suatu kesempatan: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yohanes 6:61) Tidak, jawaban kita pasti adalah jawaban yang diberikan Santo Petrus ketika Tuhan kita bertanya dengan nada mencela: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yohanes 6:67) Kita harus mengulangi seperti Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yohanes 6:69)
Mari kita telaah baik-baik apa yang dimaksud dengan penyangkalan diri ini. Hal ini menimbulkan dua tuntutan utama pada kita. Pertama, kita harus meninggalkan semua dorongan hati dan keinginan rendah yang mengepung jiwa. (I Petrus 2:11) Artinya, kita harus mengendalikan dan mendisiplinkan hawa nafsu kita. Karena dosa asal telah merusak sifat kita, nafsu ini harus dikendalikan dan ditaklukkan, dan kemudian diarahkan pada tujuan-tujuan yang baik. Nafsu kita harus diubah menjadi kebajikan. Ini adalah tugas yang sulit, untuk mencapainya kita harus menggunakan cara-cara alami dan supranatural.
Tapi kita tidak bisa berhenti di situ saja. Persyaratan kedua akan membuat kita mengeluarkan biaya lebih banyak lagi. Kita harus meninggalkan ego kita sendiri, keinginan kita sendiri. Bagaimana kita bisa melakukan ini? Kita tidak boleh lagi menginginkan apa pun yang berkenan pada diri kita, melainkan apa pun yang berkenan pada Tuhan. Kehendak kita harus berhenti menjadi milik kita agar menjadi kehendak Tuhan. Apakah Allah menghendaki kita menjadi sakit, miskin, atau terhina? Terima kasih Tuhan untuk itu. Apakah Dia ingin memberi kita penghiburan, kehormatan, atau kesuksesan? Berterima kasihlah kepada-Nya juga untuk hal ini. Tidak menginginkan yang lain selain apa yang Dia kehendaki. Kita bukan lagi diri kita sendiri. Kehendak kita sepenuhnya terserap dalam kehendak Tuhan. Ini bukanlah suatu degradasi sifat manusia; itu adalah sublimasinya. Penyangkalan diri memungkinkan Tuhan hidup dan bertindak di dalam kita. Siapa pun yang mencapai tujuan ini dapat berkata bersama St. Paulus: “tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal. 2:20)
Penyangkalan terhadap diri kita sendiri hingga mengidentifikasikan kehendak kita dengan kehendak Allah menghasilkan kedamaian yang mendalam dalam diri kita. Para Orang kUDUS mendaki ketinggian ini dan menemukan di sana ketenangan jiwa yang menuntun mereka bersukacita dalam kemartiran dan aib. Kedamaian jiwa inilah yang membuat St. Aloysius Gonzaga yang sekarat tersenyum dan berkata: “Aku senang bisa pergi.” Inilah yang memampukan Kardinal Fisher yang saleh, ketika dia pergi ke tiang gantungan, untuk melihat sebuah cahaya yang tidak pernah padam dan berkata: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan ... Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang." (Mzm. 36:5-6) Inilah sebabnya mengapa "Mengikuti Jejak Kristus" memberi tahu kita bahwa tidak seorang pun lebih bebas daripada orang yang tahu cara menyangkal dirinya sendiri.—Antonio Kardinal Bacci, Meditations for Every Day, 1959.
Antonio Bacci (4 September 1885 – 20 Januari 1971) adalah seorang kardinal Gereja Katolik Roma asal Italia. Ia diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohanes XXIII, Meditations for Every Day, 1959.