1. St. Yohanes Penginjil menceritakan bagaimana, setelah mukjizat penggandaan roti, Yesus Kristus ingin membuat orang-orang mengerti bahwa Ia akan memberi manusia roti yang jauh lebih berharga, yaitu, Diri-Nya sendiri, Roti hidup, roti hidup yang telah turun dari surga. Karena orang banyak yang mengelilingi-Nya masih belum mengerti, Ia menambahkan: "Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan memberi hidup kepada dunia."
Pada tahap ini, bagaimanapun, orang-orang Yahudi mulai berdebat satu sama lain. "Bagaimana orang ini dapat memberikan dagingnya kepada kita untuk dimakan?" Yesus berusaha menghilangkan semua keraguan dengan jawaban-Nya. "Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak akan mempunyai hidup di dalam dirimu... Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan sama seperti Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa memakan Aku, ia akan hidup oleh Aku.” (Bdk. Yohanes 6:48-58)
Ketika mereka mendengar kata-kata ini, yang di dalamnya Yesus menubuatkan mukjizat agung Ekaristi Kudus, beberapa murid mulai bergumam di antara mereka sendiri. “Perkataan ini keras. Siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yohanes 6:61) Ketika Yesus melihat bahwa beberapa pengikut terdekat-Nya menjauh dari-Nya, Ia berpaling kepada kedua belas Rasul. “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” tanya-Nya. Saat itulah Simon Petrus memberikan jawabannya yang berkesan. “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal…” (Yohanes 6:68-69)
Kita juga mungkin mengalami rasa ketidakpastian mengenai perkataan Yesus Kristus. Ada misteri yang luar biasa dalam agama Kristen. Namun, agama yang tidak mengandung misteri hampir tidak mungkin benar. Ada misteri alam yang mengelilingi kita dan di dalam diri kita. Bagaimana kita dapat membayangkan bahwa tidak ada misteri dalam Tuhan, Pribadi yang tertinggi dan paling sempurna? Mungkinkah intelek kita yang picik dapat sepenuhnya memahami Tuhan dalam Diri-Nya dan dalam wahyu-Nya? Oleh karena itu, marilah kita menundukkan kepala kita di hadapan misteri Keilahian. Marilah kita menyembah Tuhan dan mengulanginya bersama Santo Petrus: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal"
2. Para Rasul tidak ingin meninggalkan Yesus secara teori, tetapi dalam praktiknya mereka melakukannya. Ingatlah kisah tragis di Getsemani. Seorang Rasul telah pergi untuk mengkhianati Yesus seolah-olah Dia seorang penjahat, dan menjual-Nya seolah-olah Dia seorang budak. Yang lainnya tertidur. Yesus, sendirian dan ditinggalkan, sedang berdoa untuk manusia yang tidak tahu berterima kasih. Dia berkeringat darah dan bersiap untuk meminum cawan pahit penghinaan dan bentuk kematian yang paling hina. Para prajurit bayaran datang dan menangkap-Nya sebagai seorang penggoda orang banyak. Apa reaksi para Rasul yang telah begitu sering berjanji untuk setia kepada Guru mereka sampai mati? Penginjil memberi tahu kita, "Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri." (Matius 26:56)
3. Mari kita periksa diri kita sendiri. Apakah kita setia kepada Yesus hanya ketika semuanya berjalan baik, ketika salib tidak terlalu berat, dan ketika kita tidak terlalu tergoda untuk berbuat dosa? Tidak ada gunanya setia ketika semuanya mudah. Kita harus tetap setia setiap saat, bahkan ketika kesetiaan menuntut pengorbanan yang besar. Bukankah Yesus mengorbankan diri-Nya sepenuhnya demi kita? Bukankah sudah sepantasnya kita terus bermurah hati kepada Juruselamat kita sampai mati?
Jika kita menjauh dari Yesus, yang adalah jalan, kebenaran, dan hidup, pikiran kita akan gelap dan hati kita akan menjadi hampa. Mungkin kita terkadang telah menjauh dari Yesus dan mengalami kegelapan dan penyesalan ini. Hanya ketika kita bersama Yesus, ada tujuan dan sasaran dalam hidup kita. Hanya dengan Dia kita dapat berharap memiliki kekuatan untuk mencapai tujuan itu. Hanya Dia yang dapat mengeringkan air mata kita dan meredakan penderitaan kita. Hanya ketika kita bersama Yesus, kegembiraan kecil dalam hidup ini memiliki arti, karena kegembiraan itu merupakan awal dari kebahagiaan abadi di Surga. (Antonio Kardinal Bacci)
Antonio Bacci (4 September 1885 – 20 Januari 1971) adalah seorang kardinal Gereja Katolik Roma asal Italia. Ia diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohanes XXIII.