Perlihatkanlah kepada kami kasih setia-Mu, ya Tuhan, dan berilah keselamatan yang dari pada-Mu.(Mzm 85:8)
| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |
| Meditasi Antonio Kardinal Bacci |
Lumen Christi | Facebook
| Gabung Saluran/Channel WhatsApp RenunganPagi.ID
CARI RENUNGAN
Tampilkan postingan dengan label Tahun Iman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tahun Iman. Tampilkan semua postingan
Surat Gembala Tahun Iman Bagi Umat Katolik Keuskupan Banjarmasin
Para
Pastor, Frater, Suster serta seluruh umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin yang
terkasih,
Salam
sejahtera bagi anda sekalian,
- Paus Benediktus XVI, melalui Surat Apostolik Porta Fidei – “Pintu kepada Iman” yang diedarkan pada tanggal 11 Oktober 2011, mencanangkan Tahun Iman. Masa ini dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012 dan akan ditutup pada perayaan Hari Raya Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam yang jatuh pada tanggal 24 Nopember 2013. Pencanangan Tahun Iman ini adalah dalam rangka memperingati 50 tahun pembukaan Konsili Vatikan II (11 oktober 1962) oleh Paus Yohanes XXIII dan 20 tahun keluarnya Katekismus Gereja Katolik oleh Paus Yohanes Paulus II (11 Oktober 1992). Tahun Iman ini menjadi kesempatan yang sangat bernilai bagi seluruh anggota Gereja - mulai dari para Uskup, para imam, dan seluruh umat – untuk mengerti secara lebih mendalam dasar iman kristiani, yakni: “pertemuan dengan peristiwa dan dengan pribadi, yang memberi kepada HIDUP suatu horison yang baru dan suatu arah yang lebih jelas”. Yang dimaksud adalah pertemuan dengan Pribadi Yesus Kristus yang telah bangkit. Di dalamnya, Iman dengan seluruh kedalaman dan kemegahannya dapat ditemukan kembali. Iman adalah suatu anugerah untuk ditemukan kembali, untuk disemaikan dan untuk diwujudkan dalam kesaksian hidup karena Allah telah memberikan kepada setiap dari kita keindahan dan kebahagiaan sebagai orang kristiani. Untuk itu, Paus mengajak kita untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman iman kita dengan kembali mempelajari sumber-sumber iman kita, misalnya membaca kembali Katekismus Gereja Katolik. Dengan cara ini diharapkan bahwa seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya, memurnikannya, mengukuhkannya dan mengakuinya”.
- Menanggapi seruan Bapa Paus Benediktus XVI, Keuskupan Banjarmasin memulai pembukaan Tahun Iman pada Hari Minggu Biasa ke XXVIII ini dengan pembacaan Surat Gembala ini. Pada tingkatan para imam dan biarawan-biarawati, sudah diadakan rekoleksi bersama dengan bahan dari Surat Apostolik Porta Fidei di awal bulan Oktober ini. Kita sungguh bersyukur dengan pencanangan Tahun Iman ini oleh Bapa Paus Benediktus XVI. Ajakan Paus untuk kembali mendalami sumber iman kita sungguh sejalan dengan apa yang dihasilkan oleh kegiatan Pra-Sinode di tingkat Paroki di Keuskupan kita. Semua Paroki menyadari dan menyatakan bahwa persoalan utama yang ada di paroki-paroki berakar pada kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan perwujudan iman Katolik dalam kehidupan sehari-hari. Keprihatinan dan kesadaran ini, mau tidak mau, mendorong kita untuk kembali mencari dan menemukan Pribadi Kristus yang telah Bangkit dan juga mendorong kita untuk mendalami sumber-sumber iman kita. Saya mengajak para imam, biarawan-biarawati serta seluruh umat sekalian untuk mengisi Tahun Iman ini dengan suatu gerakan untuk mendalami kembali Iman Kepercayaan kita (Credo), menggali kembali sumber-sumber Iman, dan mempelajari Dokumen-dokumen Gereja serta ajaran-ajaran para Bapa Gereja. Apa yang kita lakukan bukan hanya untuk memenuhi seruan dan harapan Bapa Suci Benediktus XVI, tetapi juga sebagai langkah konkrit untuk menjawab keprihatinan yang ditemukan dalam kegiatan Pra-Sinode tingkat Paroki. Kita perlu mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengajaran iman, baik di tingkat Keuskupan maupun di tingkat Paroki. Hendaknya para Deken, para pastor Paroki, para Ketua Komisi sesuai dengan lingkup dan kewenangan masing-masing menghidupkan kembali dan merintis aneka kegiatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pendalaman iman umat.
- Pada langkah pertama, kita akan membaca dan merenungkan bersama Surat Apostolik Pintu Kepada Iman (Porta Fidei) dalam kegiatan Pra-Sinode di Tingkat Dekenat. Selanjutnya saya berharap bahwa surat apostolik tersebut juga menjadi bahan bacaan dan permenungan para imam, biarawan-biarawati serta umat di tingkat paroki, komunitas/KBG dan komunitas biara. Di tingkat Keuskupan, kita akan mengadakan berbagai kegiatan pengajaran iman yang disesuaikan dengan persiapan menuju Sinode Keuskupan di tahun 2013 nanti. Kegiatan-kegiatan pengajaran dan pendalaman iman kristiani itu meliputi segala usia, baik anak-anak, kaum muda, maupun orang-orang dewasa. Keluarga, sebagai Gereja mini, hendaknya juga menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan iman katolik yang benar.
- Di tingkat Paroki, diharapkan akan tumbuh semangat baru untuk mendalami Iman- Kepercayaan kita. Selain Kitab Suci, buku-buku yang bisa membantu kita untuk mengenal Kristus dengan lebih baik serta memperdalam iman kita adalah Katekismus Gereja Katolik, buku Iman Katolik serta Kompendium Gereja Katolik. Hendaknya tema-tema yang diangkat dalam buku-buku itu diusahakan untuk diwartakan, didalami, dan dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan umat maupun pertemuan dalam keluarga. Sekolah-sekolah katolik, sebagai tempat pembinaan dan pendidikan bagi para siswa, seyogyanya juga menjadi tempat pengajaran iman dan wadah bagi kesaksian iman kristiani.
- Saudari-saudara yang terkasih, selama Tahun Iman, semua orang beriman dipanggil untuk memperbaharui kurnia iman yang telah diterimanya dan digerakkan oleh iman yang hidup mampu membina sikap tobat serta hidup berdasarkan imannya. Terdorong oleh kebahagiaan hidup sebagai buah pertemuannya dengan Yesus Kristus, semua orang beriman harus berupaya untuk membagikan pengalaman iman dan kasih mereka, baik kepada saudara seiman maupun saudara-saudari yang tidak seiman, bahkan kepada mereka yang tidak beriman sehingga kabar gembira keselamatan yang dibawa dan diwartakan oleh Kristus juga bisa sampai kepada semua orang.
- Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para misionaris yang telah memulai penyebaran benih iman di Keuskupan ini. Para Uskup pendahulu saya, para imam, para biarawan-biarawati serta katekis yang telah turut serta menaburkan, menyemaikan dan memelihara benih-benih iman sehingga Gereja di Keuskupan Banjarmasin bisa bertumbuh dan berkembang hingga saat ini. Semoga benih-benih tersebut tetap tumbuh dengan baik dan nantinya menghasilkan buah yang melimpah demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan semua orang.
Selamat menjalani dan mengisi Tahun Iman yang
penuh rahmat ini dengan semangat
untuk memperdalam dan memperbaharui iman yang memungkinkan kita bertemu dengan
Pribadi Yesus Kristus yang bangkit dan mengaruniakan rahmat keselamatan
Tuhan memberkati Anda sekalian.
Diberikan di Banjarmasin, pada Pembukaan Tahun Iman, 11 Oktober 2012
Mgr. Petrus Boddeng Timang
Uskup Keuskupan Banjarmasin
Melalui Radio Publik: Sambutan Uskup Agung Semarang pada pembukaan Tahun Iman, 11 Oktober 2012
Saudari dan saudaraku terkasih
dalam Tuhan,
marilah kita bergembira dalam
beriman, bergairah dalam pewartaan!
Patut
kita syukuri bersama, bahwa Tuhan kita Yesus Kristus telah diimani oleh ratusan
juta orang di dunia ini sejak para rasul. Ia kita imani sebagai jalan,
kebenaran dan kehidupan. Iman akan Yesus Kristus itu setiap kali dibarui dalam
Syahadat para rasul, dirayakan dalam Ekaristi, diwujudkan dalam tindakan dan
akhirnya diperdalam terus-menerus melalui doa.
Sebagai rasa syukur atas iman
yang berkembang itu, Bapa Suci Paus Benedictus XVI mencanangkan Tahun
Iman, 11 Oktober 2012 - 24 November 2013.
Agar
Tahun Iman memiliki makna bagi kita, saya mengharapkan paroki-paroki, kelompok-kelompok,
komunitas-komunitas bahkan keluarga-keluarga
mengadakan kegiatan - kegiatan yang mengembangkan iman dan
meneguhkan perutusan di tengah dunia.
Kita
ingin menjadi seperti Wanita Samaria, seperti dikatakan oleh Bapa Suci Paus
Benediktus XVI dalam surat apostolik Porta
Fidei (Pintu Kepada Iman). Wanita Samaria adalah orang yang bertemu Yesus
di pinggir sumur, dan menimba sumber air hidup yang memancar keluar dari diri
Yesus. Berkat perjumpaannya dengan Yesus Wanita Samaria itu menemukan
kegembiraan dalam beriman dan kegairahan dalam meng-komunikasi-kan imannya
kepada orang lain.
Pengalaman
Wanita Samaria itu bukan pengalaman sesaat, tetapi pengalaman yang dipupuk dari
waktu ke waktu dan diasah oleh pergulatan hidup yang keras di padang gurun.
Maka untuk zaman sekarang, untuk menjadi seperti Wanita Samaria, kita juga
harus pergi ke sumur, tidak hanya sekali tetapi berkali-kali untuk berjumpa
dengan Yesus yang siap mengajar dan menawarkan air hidup kepada kita. Sumur itu
adalah dokumen-dokumen ajaran Gereja dan peristiwa-peristiwa yang menyimpan
kekayaan iman kita. Dokumen-dokumen Ajaran Gereja itu diantaranya Kitab Suci,
Konsili Vatikan II, Katekismus Gereja Katolik dan ajaran-ajaran iman
lainnya. Sedangkan peristiwa-peristiwa
iman diantaranya adalah perayaan-perayaan liturgi, devosi dan doa yang menjadi saat penuh rahmat untuk mengenal dan
mengalami kehadiran Yesus yang menyapa dan meneguhkan.
Di
Tahun Iman ini kita semua ingin menjadikan iman sebagai peristiwa hidup,
artinya menjadi suatu kesibukan pertama dan utama dalam kehidupan menggereja. Dengan
demikian
kita semakin bergembira dalam beriman, bergairah dalam pewartaan.
Saya
berterimakasih kepada semua saja yang dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, tanpa
lelah,
telah dan akan, dengan caranya masing-masing
melibatkan diri dalam pengembangan iman dan peneguhan hidup umat di Keuskupan
Agung Semarang.
Semoga
Tahun Iman ini menjadikan semua gerak kita bermakna bagi semakin banyak orang
dalam peziarahan menuju Bapa.
Tahun Iman ini hati penuh rasa
syukur
atas rahmat iman rahmat bagi
sluruh umat
Bahagia, hidup suci, penuh
sukacita
dalam karya pelayanan kasih
setiap hari
Semoga kita
semua dilindungi dan diberkati oleh Allah yang mahakuasa: Bapa, Putra dan Roh
Kudus. Amin.
+ Johannes Pujasumarta
Uskup
Agung Semarang
Surat Gembala Tahun Iman Bagi Umat Katolik Keuskupan Surabaya
Surat Gembala Tahun Iman
Bagi Umat Katolik Keuskupan Surabaya
(Dibacakan di semua gereja dan kapel di seluruh wilayah Keuskupan Surabaya, tanggal 6-7 atau 13/14 Oktober 2012)
================================================
Para saudara terkasih,
Bapa Suci Paus Benediktus XVI melalui Surat Apostolik dengan judul “Porta Fidei”
(Pintu Kepada Iman) telah mengumumkan Tahun Iman, yang akan dimulai
pada tanggal 11 Oktober 2012, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita
Yesus Kristus Raja Semesta Alam pada tanggal 24 November 2013. Perayaan
Tahun Iman ini berkaitan dengan peringatan 50 tahun pembukaan Konsili
Vatikan II dan 20 tahun sejak terbit buku Katekismus Gereja Katolik.
Untuk di Keuskupan Surabaya, saya akan membukanya dengan perayaan
Ekaristi pada tanggal 18 Oktober 2012 di Gua Maria Lourdes Puhsarang-
Kediri pukul 23.00 wib.
Dalam Surat Apostolik tersebut Bapa Suci
mengharapkan agar karunia iman yang telah kita peroleh berkat sakramen
baptis sungguh dapat memberikan kekuatan dan pembaharuan nyata dalam hidup.
Oleh karena itu melalui Surat Gembala ini saya ingin menyapa para
imam, biarawan-biarawati, katekis, para pengurus Gereja dan seluruh umat
Allah di Keuskupan Surabaya ini, agar memberi perhatian khusus akan pentingnya iman bagi kehidupan,
dan agar mengisi Tahun Iman ini dengan pelbagai kegiatan yang diadakan
di tempat masing-masing di tingkat kevikepan, paroki, wilayah,
lingkungan, stasi, maupun juga di kelompok-kelompok kategorial.
Tahun Iman akan sungguh menjadi saat
berahmat, bila kita mengisi tahun ini dengan: memperdalam, mempelajari,
merayakan dan menghayati iman yang benar dalam kehidupan nyata. Sumber iman
kita adalah Kitab Suci dan Tradisi penerusan iman oleh kuasa mengajar
Gereja (Magisterium). Dalam hal ini, Bapa Suci mengingatkan bahwa
Katekismus Gereja Katolik merupakan salah satu buah dari Konsili Vatikan
II sebagai sumber pengajaran iman yang resmi dan benar.
Iman adalah tanggapan pribadi dan perjumpaan dengan Allah yang mewahyukan diri dalam pribadi Yesus Kristus yang sudah bangkit.
Dari perjumpaan pribadi tersebut kita didorong untuk memahami isi
pengakuan iman-kepercayaan yang benar dan meneruskannya kepada generasi
yang akan datang .
Saat ini kita menghadapi dua krisis dalam hal iman: kehilangan identitas kekatolikan dan selanjutnya bahaya kehilangan iman.
Ditandai dengan maraknya tren 'jajan rohani' di tengah aneka aliran
kerohanian serta relativisme keyakinan yang bisa mengaburkan identitas
dan otentisitas iman Katolik sebagaimana diwariskan para Rasul.
Gereja Katolik kaya dengan kekayaan
kebenaran ilahi namun kita kurang menggali dan menyantap citarasa
sedapnya Sabda Allah dan khazanah Ajaran Gereja. Maka tepatlah seruan
Paus, bahwa di jaman kita ini, “iman adalah anugerah yang perlu
ditemukan kembali, dipelihara dan dinyatakan dalam kesaksian”. Jikalau
tidak demikian, kita ada dalam bahaya kehilangan iman.
Manusia dibenarkan karena iman (Rm 3:28)
namun iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong (bdk. Yak 2:20.24).
Iman membuat kita menjadi tanda yang nyata akan kehadiran Tuhan yang
menyelamatkan jikalau diwujudkan dalam kesaksian hidup. Orang zaman
sekarang membutuhkan kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang
yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan,
sekaligus mampu membuka hati dan budi banyak orang untuk merindukan
Allah serta kehidupan yang sejati.
Untuk menghidupkan, memperdalam dan
menguatkan iman agar menjadi subur dan menghasilkan buah berlimpah,
perlu pendalaman Kitab Suci dan ajaran Gereja, perayaan liturgi serta
kesaksian hidup nyata. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan
sakramental di mana Kristus hadir, bertindak dan terus membangun
Gereja-Nya. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman akan
kehilangan daya gunanya, sebab ia akan kehilangan rahmat yang mendukung
kesaksian Kristiani. Dalam hal ini, katekese memiliki peran yang
sentral.
Sarana katekese yang tak tergantikan untuk
sampai pada pemahaman yang sistematis pada iman yang benar adalah
Katekismus Gereja Katolik. Apakah kita sudah cukup mengenal dan
mendalami Katekismus Gereja Katolik ini, sekurang-kurangnya ringkasannya
dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik? Apakah kita sudah
memelihara anugerah iman ini dan mewartakannya?
Konsili Vatikan II telah membangkitkan
kesadaran baru tentang arti dan peran Kitab Suci dalam kehidupan iman
Gereja. Gereja telah melihat kembali dirinya melalui Kitab Suci.
Demikianlah, Sabda Allah itu menjadi “penopang dan keteguhan Gereja”
serta “kekuatan iman, santapan jiwa, sumber murni dan abadi dari hidup
rohani bagi putera-puteri Gereja” (DV 21). Sabda Allah merupakan sarana
untuk memupuk iman, sehingga iman kita tumbuh, berkembang, dan berbuah,
dan kita dapat bertahan dalam iman sampai akhir (lih. KGK no. 162).
Sungguh relevan bagi kita, bertepatan dengan fokus pastoral Keuskupan Surabaya di tahun 2013 adalah Kitab Suci dan Orang Muda Katolik (OMK). Kita melihat bahwa Sabda Allah adalah sumber iman, sedangkan Orang Muda adalah penerus iman.
Dalam konteks orang muda sebagai penerus
iman, perlulah kita memberi kesempatan kepada Orang Muda Katolik untuk
mengalami kegembiraan yang berasal dari iman kepada Yesus Kristus dalam
persekutuan dengan seluruh Gereja Katolik. Kita perlu mengusahakan
pertemuan katekese untuk Orang Muda Katolik, sehingga mereka menemukan kebanggaan beriman Katolik dan menjadi saksi iman ditengah masyarakat.
Umat Allah yang terkasih, pada kesempatan
ini, saya mengajak Anda untuk juga memberikan perhatian pada sekolah dan
perguruan Katolik. Ditempat inilah kekayaan iman Gereja hadir secara
nyata di tengah masyarakat. Maka hendaklah kita memelihara iman insan
Katolik di dalamnya dengan menggunakan Katekismus Gereja Katolik sebagai
referensi utama pengajaran iman.
Saya berharap agar seluruh umat Allah di keuskupan
Surabaya sungguh terlibat dalam mengisi Tahun Iman ini. Hendaknya para
imam, biarawan-biarawati, katekis, guru agama, pengurus DPP-BGKP,
kelompok-kelompok kategorial menjadikan Tahun Iman ini sebagai gerakan bersama.
Kita semua mengambil bagian secara aktif, memperdalam pengetahuan
tentang dokumen Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik,
menyegarkan kembali akan tugas dan tanggung jawab serta ketrampilan
dalam berkatekese dan membangun kesadaran sebagai saksi iman yang
sejati. Secara khusus saya mengingatkan para imam untuk mengajar
katekumen, memberikan pendalaman iman bagi umat, lebih intensif dalam
pelayanan sakramen serta mendalami dokumen-dokumen Ajaran Gereja.
Akhirnya marilah kita mempercayakan saat
berahmat ini kepada Bunda Maria, yang diwartakan sebagai yang berbahagia
karena telah percaya (Luk 1:45). Semoga melalui doa dan perlindungannya
kita sampai pada kepenuhan hidup iman.
Surabaya, 1 Oktober 2012
Pesta St. Theresia dari kanak-kanak Yesus
Berkat Tuhan,
Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono
Uskup Keuskupan Surabaya
Surat Gembala Tahun Iman Bagi Umat Katolik Keuskupan Sibolga
Umat Allah yang saya kasihi!
Melalui Surat Apostolik dengan judul “PINTU KEPADA IMAN” (“Porta Fidei”), Santo Bapa Benediktus XVI telah mengumumkan Tahun Iman, yang akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam pada tanggal 24 November 2013. Dalam Surat Apostolik ini Bapa Suci mengharapkan agar kurnia iman yang telah kita peroleh berkat sakramen babtis sungguh dapat memberikan pencerahan dan pembaharuan nyata dalam hidup. Oleh karena itu saya menulis surat gembala ini untuk menyapa para imam, diakon, katekis, para pengurus Gereja, biarawan-biarawati dan seluruh umat Allah di Keuskupan ini, agar memberi perhatian khusus akan pentingnya iman bagi kehidupan, dan agar mengisi Tahun Iman ini dengan pelbagai kegiatan yang diadakan di tempat masing-masing di tingkat dekanat dan paroki, bahkan stasi dan lingkungan.
Saat Berahmat
Tahun Iman ini menjadi saat berahmat bagi kita umat katolik, karena seluruh umat diingatkan akan dasar dan inti hidup kita, yakni iman, yang kita miliki sejak kita dibaptis. Baptisan telah memasukkan kita ke dalam hidup yang baru, yakni hidup sebagai anak Allah di dalam kehidupan Allah Tritunggal. Oleh karena itu pada tahun yang khusus ini kita mau seperti wanita Samaria, untuk mendengar Yesus yang mengundang kita untuk percaya kepadaNya, serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diriNya (bdk Yoh 4:14).
Tahun Iman ini menjadi saat berahmat bagi kita, bila kita mengisi tahun ini untuk memperdalam iman kita dengan mempelajari dasar-dasar iman yang benar, merayakan iman itu dalam liturgi terutama dalam ekaristi, dan menghayati iman itu dalam kehidupan nyata, sehingga orang lain dapat menyaksikan dan merasakan buah-buah iman kita. Untuk mengisi Tahun Iman ini kita mesti saling mendukung dengan memberi diri dan waktu untuk pertemuan-pertemuan.
Kita tidak tahu rahmat apa yang kita terima dari Tahun Iman ini. Yang pasti ialah bahwa Roh Kudus berkarya dan membuahi segala usaha dan kegiatan kita dalam merayakan tahun yang khusus ini, sehingga sungguh membawa pembaharuan dalam kehidupan Gereja kita, seperti terjadi ketika Pentakosta. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana Roh Kudus berkarya (bdk Yoh 3:8), tapi kita percaya akan daya kekuatanNya. Sebab “bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37), dan “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk 9:23).
Pendalaman Iman
Iman adalah jawaban manusia atas kelimpahan cinta kasih Allah yang menyapa manusia sebagaii sahabat-sahabatNya, bergaul dengan mereka, dan mengundang mereka kepada persekutuan dengan diriNya (lih. KGK no.142-143). Akan tetapi iman adalah rahmat, anugerah Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh Allah kepada manusia, karena hanya dengan bantuan rahmat Allah dan pertolongan batin Roh Kudus, manusia mampu percaya (lih. KGK 153-155).
Tujuan iman kepercayaan ialah keselamatan. Tuhan sendiri berkata: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). Karena itu inti iman kita ialah percaya akan Yesus Kristus dan akan Dia yang mengutusNya. Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah (bdk Ibr 11:6).
Perlu kita ingat bahwa sekarang iman itu sering kita hayati dalam kegelapan dan kadang mengalami cobaan yang berat. Dunia, di mana kita hidup, masih sangat jauh dari apa yang dijamin oleh iman bagi kita. Dalam surat gembalanya Bapa Suci mengatakan: “Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalaman rahmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab ia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan” (PF no.7).
Melihat semuanya itu, maka jelas bagi kita bahwa iman itu perlu dipelihara dan dipupuk, diperdalam dan dikuatkan dan kita bertekun di dalamnya (bdk Kol 1:23; Mat 10:22; 24:13; Mrk 13:13). Bapa Suci dalam surat apostoliknya menganjurkan dalam merayakan Tahun Iman ini: “Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang percaya kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini” (PF no.8).
Untuk menghidupkan, memperdalam dan menguatkan iman itu, sehingga menjadi subur dan menghasilkan buah berlimpah, perlu: katekese, pendalaman Kitab Suci, perayaan liturgi, kesaksian hidup nyata.
Kabar Gembira bagi kita manusia adalah bahwa “Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Gal 4:4-5). Yesus Putera Allah yang telah menjadi manusia, yang menderita, wafat di salib dan bangkit, menjadii penyelamat kita. Agar kabar gembira itu sampai kepada manusia dan menyelamatkannya, perlu katekese. Katekese ialah segala usaha Gereja untuk menjadikan manusia menjadi murid-murid Kristus, agar mereka dapat percaya bahwa Yesus adalah Putera Allah, supaya dengan perantaraan iman itu mereka memperoleh kehidupan dalam namaNya. Melalui pengajaran, Gereja berusaha mendidik manusia menuju kehidupan ini dan dengan demikian membangun Tubuh Kristus. Jadi, tujuan katekese adalah untuk mengantar para pendengar memasuki kepenuhan kehidupan Kristen (lih. KGK no. 4-5).
Bapa Suci menjelaskan dalam surat gembalanya bahwa sarana yang tak tergantikan untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada iman kepercayaan adalah Katekismus Gereja Katolik. Apa yang disajikan di dalam Katekismus itu bukanlah teori belaka, tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman itu disuburkan oleh kehidupan sakramental di mana Kristus hadir. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman akan kehilangan kemanjurannya (lih. PF no.11). Apakah sudah cukup dikenal oleh umat Katekismus Gereja Katolik ini, sekurang-kurangnya ringkasannya dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik?
Agar katekese yang benar dapat terlaksana, hendaklah para katekis dan guru agama berusaha, supaya melalui pengajaran yang disertai tingkah lakunya menyampaikan ajaran dan kehidupan Yesus. Maka pada awal Tahun Iman ini amat tepatlah bila para katekis kita disegarkan kembali akan tugas dan tanggung-jawab serta ketrampilan mereka dalam berkatekese. Dengan demikian katekese yang mereka berikan selama Tahun Iman ini dan seterusnya sungguh dapat membawa dan menghantar orang kepada Kristus Penyelamat.
Pada masa ini kita alami bahwa makin sulit orang untuk memberi waktu mengikuti pertemuan, apalagi yang dinamakan pengajaran atau pendalaman-pendalaman yang diadakan oleh Gereja. Maka khusus pada Tahun Iman ini hendaknya umat memberi waktu untuk lebih setia dan intensif mengikuti pertemuan dan pembinaan yang diadakan di lingkungan atau stasi.
b. Pendalaman Kitab Suci
Sejak awal, Gereja tak putus-putusnya menyajikan kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima baik dari meja Sabda Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus. Di dalam Kitab Suci, Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya, karena di dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi apa sebenarnya Kitab Suci itu, yakni Sabda Allah. Karena di dalam kitab-kitab Suci, Bapa yang ada di surga penuh cinta kasih menjumpai para putraNya, dan berwawancara dengan mereka (lih. KGK no.103-104).
Sabda Allah merupakan sarana untuk memupuk iman, sehingga iman kita tumbuh, berkembang, dan berbuah, dan kita dapat bertahan dalam iman sampai akhir (lih. KGK no. 162). Oleh Sabda Allah iman dipupuk dalam mereka yang percaya (lih. PO 4). Karena itu juga dalam perayaan liturgi, Kitab Suci sangat penting; di dalam setiap perayaan liturgi ada kutipan-kutipan Kitab Suci yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili (lih. SC 24), yang dihidupkan oleh Roh Kudus, supaya sabda Allah itu dapat diterima dan dilaksanakan dalam kehidupan nyata dan menyuburkan iman.
Kitab Suci adalah pelita bagi kaki kita dan cahaya bagi langkah kita. Karena itu, Gereja menganjurkan semua umat beriman untuk sering membaca Kitab Suci, karena tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus (lih. KKGK no. 24). Oleh karena itu perlulah bahwa Kitab Suci dekat dengan kita, ada di setiap rumah, supaya anggota keluarga secara pribadi dan bersama dapat membacanya. Demikian juga perlu suatu tuntunan atau pembinaan yang membantu umat beriman dapat mendalami Kitab Suci baik secara pribadi maupun dalam kelompok Pendalaman Kitab Suci.
c. Merayakan Liturgi
“Liturgi adalah perayaan misteri Kristus, dan secara khusus misteri kebangkitanNya. Dengan merayakan imamat Yesus Kristus, liturgi menyatakan misteri Kristus dalam tanda-tanda dan membawa pengudusan bagi umat manusia. Pemujaan kepada Allah dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus, yaitu oleh kepala dan para anggotanya” (KKGK no.218). Jadi dalam liturgi, misteri Kristus dirayakan oleh umat secara bersama-sama untuk pengudusan mereka.
Agar liturgi berdaya guna, semua orang beriman mesti ikut serta dengan sepenuh hati, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi, karena liturgi sendiri menuntut keikutsertaan umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9).
“Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman itu akan kehilangan kemanjurannya, sebab dia akan kehilangan rahmat yang mendukung kesaksiannya secara kristiani” (PF no.11). Oleh karena itu perlu diintensifkan perayaan iman dalam liturgi yang menarik dan menyentuh hati umat, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi yang merupakan puncak seluruh kegiatan Gereja dan sumber kekuatan Gereja (lih. PF 9).
Berdoa adalah bagian dari liturgi, karena dalam doa kita mengungkapkan hubungan kita dengan Allah Bapa yang Mahabaik. “Doa Kristen ialah relasi anak-anak Allah yang personal dan hidup dengan Bapa mereka yang mahabaik, dengan PutraNya Yesus Kristus, dan dengan Roh Kudus yang tinggal dalam hati mereka” (KKGK no.534). Allah selalu mendengarkan pujian, syukur dan doa-doa permohonan kita anak-anakNya. Oleh karena itu doa membangun dan menguatkan iman kita, menyuburkan kasih kita akan Allah Bapa yang Mahabaik, yang kita imani.
d. Kesaksian Iman
Dalam sejarah keselamatan kita dapat melihat contoh teladan orang-orang beriman yang telah memberi kesaksian iman dalam hidupnya yang nyata, seperti Bunda Maria, para Rasul dan orang-orang kudus. Bapa Suci mengajak kita masing-masing agar tidak ada di antara kita yang malas di dalam iman, supaya kesaksian iman kita kuat. Dunia sekarang ini membutuhkan kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang telah dicerahi oleh sabda Tuhan dan mampu membuka hati dan budi banyak orang untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, yakni hidup yang kekal abadi (PF no.15). Dan Tuhan sendiri telah berpesan: “Kamu adalah garam dunia. … Kamu adalah terang dunia” (Mat 5:13.14).
Tahun Iman ini juga merupakan satu kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal kasih kita, sebab kasih lebih besar dari pada iman dan pengharapan (bdk 1Kor 13:13). Oleh karena itu iman mesti disertai oleh kasih dalam perbuatan nyata. Kasih akan sesama adalah bukti bahwa kita murid Kristus (bdk Yoh 13:35; Yak 2:17; 2:20).
Yesus sendiri mengatakan: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 5:40). Solidaritas, yang menjadi satu unsur penting dari Visi Keuskupan Sibolga, merupakan perwujudan dari sabda Yesus ini. Maka mari kita kita mendukung usaha-usaha karya kasih melalui Aksi Puasa Pembangunan (APP) yang kita lakukan pada masa Prapaska, melalui dukungan yang kita berikan kepada Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan Caritas Keuskupan Sibolga yang melakukan karya-karya sosial, demikian juga panti-panti asuhan yang diurus oleh para suster dan karya-karya sosial lainnya. Tapi pertama-tama mari kita perhatikan tetangga dan orang-orang yang kita jumpai setiap hari yang menderita entah karena apapun.
Pertobatan
Dalam surat apostoliknya Bapa Suci mengharapkan bahwa Tahun Iman ini semakin mengobarkan semangat pembaharuan yang menjadi tujuan dari Konsili Vatikan II, sehingga Tahun Iman ini merupakan suatu panggilan kepada pertobatan yang otentik untuk kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia, yang telah menyatakan kasih Allah yang menyelamatkan melalui wafat dan kebangkitanNya dan yang memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. PF no.6).
Oleh karena itu pada Tahun Iman hendaknya kita sesering mungkin menerima sakramen Tobat, agar kita hidup dalam hidup yang baru bersama Kristus (bdk Rom 6:4), sehingga kita semakin dimurnikan dan semakin menyerupai Kristus. Hidup kita yang telah dibaharui tentu dapat juga menggugah hati sesama dan mendorong mereka untuk membaharui dirinya dan mendekatkan diri kepada Kristus. Dengan demikian pembaharuan diri itu semakin meluas.
Penutup
Sebagai gembala saya berharap bahwa seluruh umat Allah di keuskupan ini sungguh terlibat dalam mengisi Tahun Iman ini. Hendaknya para petugas pastoral dalam segala kegiatan pastoralnya memberi pendalaman-pendalaman iman bagi umat, lebih intensif melayani umat dalam liturgi, dan mendorong umat untuk semakin memberikan kesaksian iman dalam hidup harian mereka. Untuk itu hendaklah para imam dan katekis mendalami isi surat gembala Bapa Suci “Porta Fidei”, mempelajari Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, Katekismus Gereja Katolik dan Kompendium Katekismus Gereja Katolik, agar dapat menyampaikan intisarinya kepada para petugas pastoral lainnya dan kepada umat beriman.
Hendaklah Tahun Imam ini membuat hubungan kita dengan Kristus, Tuhan, semakin bertambah dalam dan kuat, karena hanya di dalam Dia kita temukan tujuan iman kita, yakni keselamatan, yang akan mencapai kesempurnaannya pada akhir zaman (bdk 1Ptr 1:6-9). Bapa Suci telah mengatakan dalam surat gembalanya: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk membimbing umat keluar dari padang gurun menuju ke tempat kehidupan, ke dalam persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang pemberi kehidupan, bahkan kehidupan yang berkelimpahan” (PF no.2).
Sesuai dengan anjuran Bapa Suci dalam surat gembalanya, mari kita mempercayakan saat berahmat ini kepada Bunda Maria, yang diwartakan sebagai yang berbahagia karena telah percaya (Luk 1:45). Dengan teladan Bunda Maria, kita yakin bahwa orang yang percaya, akan mengalami kebahagiaan.
Sibolga, 21 September 2012, Pesta St. Matius, Rasul dan Pengarang Injil.
Uskup Sibolga,
Mgr. Ludovicus Simanullang, OFM Cap.
SINGKATAN
PF : Porta Fidei, Surat Apostolik Santo Bapa Benediktus XVI, 11 Oktober 2011, diterjemahkan oleh Departemen Dokpen KWI.
KGK : Katekismus Gereja Katolik, Percetakan Arnoldus, Ende 1995.
KKGK : Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Penerbit Kanisius 2009.
PO : “Presbyterorum Ordinis”, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor 1993.
SC : “Sacrosanctum Concilium”, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor 1993.
Melalui Surat Apostolik dengan judul “PINTU KEPADA IMAN” (“Porta Fidei”), Santo Bapa Benediktus XVI telah mengumumkan Tahun Iman, yang akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam pada tanggal 24 November 2013. Dalam Surat Apostolik ini Bapa Suci mengharapkan agar kurnia iman yang telah kita peroleh berkat sakramen babtis sungguh dapat memberikan pencerahan dan pembaharuan nyata dalam hidup. Oleh karena itu saya menulis surat gembala ini untuk menyapa para imam, diakon, katekis, para pengurus Gereja, biarawan-biarawati dan seluruh umat Allah di Keuskupan ini, agar memberi perhatian khusus akan pentingnya iman bagi kehidupan, dan agar mengisi Tahun Iman ini dengan pelbagai kegiatan yang diadakan di tempat masing-masing di tingkat dekanat dan paroki, bahkan stasi dan lingkungan.
Saat Berahmat
Tahun Iman ini menjadi saat berahmat bagi kita umat katolik, karena seluruh umat diingatkan akan dasar dan inti hidup kita, yakni iman, yang kita miliki sejak kita dibaptis. Baptisan telah memasukkan kita ke dalam hidup yang baru, yakni hidup sebagai anak Allah di dalam kehidupan Allah Tritunggal. Oleh karena itu pada tahun yang khusus ini kita mau seperti wanita Samaria, untuk mendengar Yesus yang mengundang kita untuk percaya kepadaNya, serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diriNya (bdk Yoh 4:14).
Tahun Iman ini menjadi saat berahmat bagi kita, bila kita mengisi tahun ini untuk memperdalam iman kita dengan mempelajari dasar-dasar iman yang benar, merayakan iman itu dalam liturgi terutama dalam ekaristi, dan menghayati iman itu dalam kehidupan nyata, sehingga orang lain dapat menyaksikan dan merasakan buah-buah iman kita. Untuk mengisi Tahun Iman ini kita mesti saling mendukung dengan memberi diri dan waktu untuk pertemuan-pertemuan.
Kita tidak tahu rahmat apa yang kita terima dari Tahun Iman ini. Yang pasti ialah bahwa Roh Kudus berkarya dan membuahi segala usaha dan kegiatan kita dalam merayakan tahun yang khusus ini, sehingga sungguh membawa pembaharuan dalam kehidupan Gereja kita, seperti terjadi ketika Pentakosta. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana Roh Kudus berkarya (bdk Yoh 3:8), tapi kita percaya akan daya kekuatanNya. Sebab “bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37), dan “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk 9:23).
Pendalaman Iman
Iman adalah jawaban manusia atas kelimpahan cinta kasih Allah yang menyapa manusia sebagaii sahabat-sahabatNya, bergaul dengan mereka, dan mengundang mereka kepada persekutuan dengan diriNya (lih. KGK no.142-143). Akan tetapi iman adalah rahmat, anugerah Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh Allah kepada manusia, karena hanya dengan bantuan rahmat Allah dan pertolongan batin Roh Kudus, manusia mampu percaya (lih. KGK 153-155).
Tujuan iman kepercayaan ialah keselamatan. Tuhan sendiri berkata: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). Karena itu inti iman kita ialah percaya akan Yesus Kristus dan akan Dia yang mengutusNya. Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah (bdk Ibr 11:6).
Perlu kita ingat bahwa sekarang iman itu sering kita hayati dalam kegelapan dan kadang mengalami cobaan yang berat. Dunia, di mana kita hidup, masih sangat jauh dari apa yang dijamin oleh iman bagi kita. Dalam surat gembalanya Bapa Suci mengatakan: “Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalaman rahmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab ia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan” (PF no.7).
Melihat semuanya itu, maka jelas bagi kita bahwa iman itu perlu dipelihara dan dipupuk, diperdalam dan dikuatkan dan kita bertekun di dalamnya (bdk Kol 1:23; Mat 10:22; 24:13; Mrk 13:13). Bapa Suci dalam surat apostoliknya menganjurkan dalam merayakan Tahun Iman ini: “Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang percaya kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini” (PF no.8).
Untuk menghidupkan, memperdalam dan menguatkan iman itu, sehingga menjadi subur dan menghasilkan buah berlimpah, perlu: katekese, pendalaman Kitab Suci, perayaan liturgi, kesaksian hidup nyata.
Kabar Gembira bagi kita manusia adalah bahwa “Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Gal 4:4-5). Yesus Putera Allah yang telah menjadi manusia, yang menderita, wafat di salib dan bangkit, menjadii penyelamat kita. Agar kabar gembira itu sampai kepada manusia dan menyelamatkannya, perlu katekese. Katekese ialah segala usaha Gereja untuk menjadikan manusia menjadi murid-murid Kristus, agar mereka dapat percaya bahwa Yesus adalah Putera Allah, supaya dengan perantaraan iman itu mereka memperoleh kehidupan dalam namaNya. Melalui pengajaran, Gereja berusaha mendidik manusia menuju kehidupan ini dan dengan demikian membangun Tubuh Kristus. Jadi, tujuan katekese adalah untuk mengantar para pendengar memasuki kepenuhan kehidupan Kristen (lih. KGK no. 4-5).
Bapa Suci menjelaskan dalam surat gembalanya bahwa sarana yang tak tergantikan untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada iman kepercayaan adalah Katekismus Gereja Katolik. Apa yang disajikan di dalam Katekismus itu bukanlah teori belaka, tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman itu disuburkan oleh kehidupan sakramental di mana Kristus hadir. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman akan kehilangan kemanjurannya (lih. PF no.11). Apakah sudah cukup dikenal oleh umat Katekismus Gereja Katolik ini, sekurang-kurangnya ringkasannya dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik?
Agar katekese yang benar dapat terlaksana, hendaklah para katekis dan guru agama berusaha, supaya melalui pengajaran yang disertai tingkah lakunya menyampaikan ajaran dan kehidupan Yesus. Maka pada awal Tahun Iman ini amat tepatlah bila para katekis kita disegarkan kembali akan tugas dan tanggung-jawab serta ketrampilan mereka dalam berkatekese. Dengan demikian katekese yang mereka berikan selama Tahun Iman ini dan seterusnya sungguh dapat membawa dan menghantar orang kepada Kristus Penyelamat.
Pada masa ini kita alami bahwa makin sulit orang untuk memberi waktu mengikuti pertemuan, apalagi yang dinamakan pengajaran atau pendalaman-pendalaman yang diadakan oleh Gereja. Maka khusus pada Tahun Iman ini hendaknya umat memberi waktu untuk lebih setia dan intensif mengikuti pertemuan dan pembinaan yang diadakan di lingkungan atau stasi.
b. Pendalaman Kitab Suci
Sejak awal, Gereja tak putus-putusnya menyajikan kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima baik dari meja Sabda Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus. Di dalam Kitab Suci, Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya, karena di dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi apa sebenarnya Kitab Suci itu, yakni Sabda Allah. Karena di dalam kitab-kitab Suci, Bapa yang ada di surga penuh cinta kasih menjumpai para putraNya, dan berwawancara dengan mereka (lih. KGK no.103-104).
Sabda Allah merupakan sarana untuk memupuk iman, sehingga iman kita tumbuh, berkembang, dan berbuah, dan kita dapat bertahan dalam iman sampai akhir (lih. KGK no. 162). Oleh Sabda Allah iman dipupuk dalam mereka yang percaya (lih. PO 4). Karena itu juga dalam perayaan liturgi, Kitab Suci sangat penting; di dalam setiap perayaan liturgi ada kutipan-kutipan Kitab Suci yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili (lih. SC 24), yang dihidupkan oleh Roh Kudus, supaya sabda Allah itu dapat diterima dan dilaksanakan dalam kehidupan nyata dan menyuburkan iman.
Kitab Suci adalah pelita bagi kaki kita dan cahaya bagi langkah kita. Karena itu, Gereja menganjurkan semua umat beriman untuk sering membaca Kitab Suci, karena tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus (lih. KKGK no. 24). Oleh karena itu perlulah bahwa Kitab Suci dekat dengan kita, ada di setiap rumah, supaya anggota keluarga secara pribadi dan bersama dapat membacanya. Demikian juga perlu suatu tuntunan atau pembinaan yang membantu umat beriman dapat mendalami Kitab Suci baik secara pribadi maupun dalam kelompok Pendalaman Kitab Suci.
c. Merayakan Liturgi
“Liturgi adalah perayaan misteri Kristus, dan secara khusus misteri kebangkitanNya. Dengan merayakan imamat Yesus Kristus, liturgi menyatakan misteri Kristus dalam tanda-tanda dan membawa pengudusan bagi umat manusia. Pemujaan kepada Allah dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus, yaitu oleh kepala dan para anggotanya” (KKGK no.218). Jadi dalam liturgi, misteri Kristus dirayakan oleh umat secara bersama-sama untuk pengudusan mereka.
Agar liturgi berdaya guna, semua orang beriman mesti ikut serta dengan sepenuh hati, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi, karena liturgi sendiri menuntut keikutsertaan umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9).
“Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman itu akan kehilangan kemanjurannya, sebab dia akan kehilangan rahmat yang mendukung kesaksiannya secara kristiani” (PF no.11). Oleh karena itu perlu diintensifkan perayaan iman dalam liturgi yang menarik dan menyentuh hati umat, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi yang merupakan puncak seluruh kegiatan Gereja dan sumber kekuatan Gereja (lih. PF 9).
Berdoa adalah bagian dari liturgi, karena dalam doa kita mengungkapkan hubungan kita dengan Allah Bapa yang Mahabaik. “Doa Kristen ialah relasi anak-anak Allah yang personal dan hidup dengan Bapa mereka yang mahabaik, dengan PutraNya Yesus Kristus, dan dengan Roh Kudus yang tinggal dalam hati mereka” (KKGK no.534). Allah selalu mendengarkan pujian, syukur dan doa-doa permohonan kita anak-anakNya. Oleh karena itu doa membangun dan menguatkan iman kita, menyuburkan kasih kita akan Allah Bapa yang Mahabaik, yang kita imani.
d. Kesaksian Iman
Dalam sejarah keselamatan kita dapat melihat contoh teladan orang-orang beriman yang telah memberi kesaksian iman dalam hidupnya yang nyata, seperti Bunda Maria, para Rasul dan orang-orang kudus. Bapa Suci mengajak kita masing-masing agar tidak ada di antara kita yang malas di dalam iman, supaya kesaksian iman kita kuat. Dunia sekarang ini membutuhkan kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang telah dicerahi oleh sabda Tuhan dan mampu membuka hati dan budi banyak orang untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, yakni hidup yang kekal abadi (PF no.15). Dan Tuhan sendiri telah berpesan: “Kamu adalah garam dunia. … Kamu adalah terang dunia” (Mat 5:13.14).
Tahun Iman ini juga merupakan satu kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal kasih kita, sebab kasih lebih besar dari pada iman dan pengharapan (bdk 1Kor 13:13). Oleh karena itu iman mesti disertai oleh kasih dalam perbuatan nyata. Kasih akan sesama adalah bukti bahwa kita murid Kristus (bdk Yoh 13:35; Yak 2:17; 2:20).
Yesus sendiri mengatakan: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 5:40). Solidaritas, yang menjadi satu unsur penting dari Visi Keuskupan Sibolga, merupakan perwujudan dari sabda Yesus ini. Maka mari kita kita mendukung usaha-usaha karya kasih melalui Aksi Puasa Pembangunan (APP) yang kita lakukan pada masa Prapaska, melalui dukungan yang kita berikan kepada Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan Caritas Keuskupan Sibolga yang melakukan karya-karya sosial, demikian juga panti-panti asuhan yang diurus oleh para suster dan karya-karya sosial lainnya. Tapi pertama-tama mari kita perhatikan tetangga dan orang-orang yang kita jumpai setiap hari yang menderita entah karena apapun.
Pertobatan
Dalam surat apostoliknya Bapa Suci mengharapkan bahwa Tahun Iman ini semakin mengobarkan semangat pembaharuan yang menjadi tujuan dari Konsili Vatikan II, sehingga Tahun Iman ini merupakan suatu panggilan kepada pertobatan yang otentik untuk kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia, yang telah menyatakan kasih Allah yang menyelamatkan melalui wafat dan kebangkitanNya dan yang memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. PF no.6).
Oleh karena itu pada Tahun Iman hendaknya kita sesering mungkin menerima sakramen Tobat, agar kita hidup dalam hidup yang baru bersama Kristus (bdk Rom 6:4), sehingga kita semakin dimurnikan dan semakin menyerupai Kristus. Hidup kita yang telah dibaharui tentu dapat juga menggugah hati sesama dan mendorong mereka untuk membaharui dirinya dan mendekatkan diri kepada Kristus. Dengan demikian pembaharuan diri itu semakin meluas.
Penutup
Sebagai gembala saya berharap bahwa seluruh umat Allah di keuskupan ini sungguh terlibat dalam mengisi Tahun Iman ini. Hendaknya para petugas pastoral dalam segala kegiatan pastoralnya memberi pendalaman-pendalaman iman bagi umat, lebih intensif melayani umat dalam liturgi, dan mendorong umat untuk semakin memberikan kesaksian iman dalam hidup harian mereka. Untuk itu hendaklah para imam dan katekis mendalami isi surat gembala Bapa Suci “Porta Fidei”, mempelajari Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, Katekismus Gereja Katolik dan Kompendium Katekismus Gereja Katolik, agar dapat menyampaikan intisarinya kepada para petugas pastoral lainnya dan kepada umat beriman.
Hendaklah Tahun Imam ini membuat hubungan kita dengan Kristus, Tuhan, semakin bertambah dalam dan kuat, karena hanya di dalam Dia kita temukan tujuan iman kita, yakni keselamatan, yang akan mencapai kesempurnaannya pada akhir zaman (bdk 1Ptr 1:6-9). Bapa Suci telah mengatakan dalam surat gembalanya: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk membimbing umat keluar dari padang gurun menuju ke tempat kehidupan, ke dalam persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang pemberi kehidupan, bahkan kehidupan yang berkelimpahan” (PF no.2).
Sesuai dengan anjuran Bapa Suci dalam surat gembalanya, mari kita mempercayakan saat berahmat ini kepada Bunda Maria, yang diwartakan sebagai yang berbahagia karena telah percaya (Luk 1:45). Dengan teladan Bunda Maria, kita yakin bahwa orang yang percaya, akan mengalami kebahagiaan.
Sibolga, 21 September 2012, Pesta St. Matius, Rasul dan Pengarang Injil.
Uskup Sibolga,
Mgr. Ludovicus Simanullang, OFM Cap.
SINGKATAN
PF : Porta Fidei, Surat Apostolik Santo Bapa Benediktus XVI, 11 Oktober 2011, diterjemahkan oleh Departemen Dokpen KWI.
KGK : Katekismus Gereja Katolik, Percetakan Arnoldus, Ende 1995.
KKGK : Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Penerbit Kanisius 2009.
PO : “Presbyterorum Ordinis”, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor 1993.
SC : “Sacrosanctum Concilium”, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor 1993.
Surat Gembala Tahun Iman Bagi Umat Katolik Keuskupan Amboina
Menyongsong
Tahun Iman yang secara resmi akan dicanangkan oleh Paus Benediktus XVI
pada tanggal 14 Oktober 2012, Uskup Diosis Amboina Mgr P.C. Mandagi MSC
menerbitkan “Surat Gembala Tahun Iman”. Di dalamnya tersurat pesan dan
ajakan sang Gembala bagi seluruh Umat Katolik Keuskupan Amboina. Berikut
kutipan selengkapnya dari surat bernomor 008.02-KA/PCM/IX/2012.
Umat katolik seluruh Keuskupan Amboina yang sangat dikasihi oleh Allah.
Dengan Surat Apostolik “Pintu Kepada Iman” (Porta Fidei) telah dicanangkan oleh Paus Benediktus XVI Tahun Iman. Tahun Iman ini berlangsung dari tanggal 11 Oktober 2012 sampai dengan 24 November 2013.
Apakah arti Tahun Iman ini bagi kita umat Katolik? Surat Apostolik “Pintu Kepada Iman” membantu kita untuk memahami arti Tahun Iman ini. Saya ingin menyampaikan kepada anda sekalian beberapa pesan, yang terungkap dalam Surat Apostolik itu.
- I.Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik
Secara khusus Tahun Iman ini dicanangkan untuk merayakan Hari Ulang Tahun ke-50 Pembukaan Konsili Vatikan II dan Hari Ulang Tahun ke-20 Terbitnya Buku Katekismus Gereja Katolik. Buku ini dipromulgasikan oleh Beato Yohanes Paulus II. Buku ini merupakan buah asli dari Konsili Vatikan II. Digambarkan dalam buku ini kekuatan dan keindahan
dari iman kepercayaan. Kata Beato Yohanes Paulus II: “Katekismus ini
akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaharuan
seluruh kehidupan Gereja... Maka, saya menyatakan Katekismus ini
menjadi suatu sarana bantu yang sah dan benar bagi persekutuan Gerejani
dan menjadi patokan yang pasti bagi pengajaran iman.”
- II.Penemuan Kembali akan Iman Kepercayaan
Memang secara khusus
Tahun Iman ini dicanangkan untuk merayakan Hari Ulang Tahun ke-50
Pembukaan Konsili Vatikan II dan Hari Ulang Tahun ke-20 Publikasi Buku
Katekismus Gereja Katolik. Namun, secara umum Tahun Iman adalah waktu yang khusus dan istimewa untuk menemukan kembali iman
kepercayaan kita. Kata Paus Benediktus ke-16: “Pintu Kepada Iman (Kis.
14:27) senantiasa terbuka bagi kita untuk memasukkan kita ke dalam
persekutuan hidup dengan Allah dan untuk menawarkan kepada kita masuk ke
dalam Gereja-Nya.”
Iman kepercayaan merupakan sebuah perjalanan. Dan perjalanan itu bergerak keluar dari padang gurun kehidupan, yang diwarnai kekosongan dan kekeringan karena dosa-dosa, menuju kepada persahabatan dengan Yesus, Putera Allah. Dialah Sang Pemberi kehidupan; bahkan Dialah Sang Pemberi kehidupan yang berlimpah.
Betapa penting kita menemukan kembali iman kepercayaan kita. Mengapa? Pertama, Iman itu memberikan pencerahan
lebih jelas mengapa kita hidup dalam kegembiraan dan semangat yang
berkobar-kobar. Harus kita akui bahwa hanya dalam iman atau persekutuan
dengan Yesus Kristus seseorang akan mengalami kegembiraan sejati dan
hidup dalam semangat yang penuh. Kedua, iman kita tak jarang
mengalami krisis. Tak jarang karena dikuasai oleh materialisme,
hedonisme dan egoisme kita menjadi garam yang tawar dan pelita yang
ditaruh di bawah gantang.
Memang,
ketika dipermandikan kita telah memiliki Iman dan menyatakan iman itu
dengan lantang. Namun, benarlah apa yang dikatakan oleh Santo Agustinus dalam sebuah homili kepada umatnya:
“Kalian
telah menerima iman, namun kalian harus tetap memeliharanya di dalam
akal budi dan hati sanubari kalian; kalian harus tetap
mengulang-ulangnya di ranjang tempat tidur kalian, tetap mengingat-ingatnya di pasar-pasar, tidak melupakannya sementara kalian makan-
makan; bahkan ketika kalian sedang tidur pun kalian harus tetap memperhatikannya dengan hati kalian.”
- III.Pengakuan Iman, Pembaharuan Diri dan Evangelisasi
Dalam Tahun Iman ini, kita ingin menemukan kembali iman kepercayaan kita. Apakah yang merupakan tanda-tanda bahwa kita sudah menemukan kembali iman kepercayaan kita? Ada tiga tanda, yang dapat kami sebut:
- 1.Pengakuan iman
Dalam
hal pengakuan iman, kita harus mengambil contoh pada Rasul Petrus dan
Paulus. Hendaknya kita melaksanakan pengakuan iman baik secara pribadi,
maupun secara bersama-sama. Pengakuan iman itu juga hendaknya
dilaksanakan secara bebas, namun bertanggung jawab, baik secara
lahiriah, maupun secara batiniah, baik secara rendah hati, maupun secara
terus terang.
- 2.Pembaharuan diri
Memang,
seorang beriman adalah suci, namun sekaligus harus selalu dibersihkan
dan terus menerus menjalankan pertobatan atau pembaharuan diri.
Tahun Iman ini adalah saat yang istimewa untuk melaksanakan pertobatan
yakni “kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat melalui pengakuan
dosa dan kemudian masuk dalam kepenuhan kasih Allah yang menyelamatkan,
atau masuk dalam kehidupan baru”.
Dalam
kehidupan baru itu, pikiran, perasaan, mentalita dan perilaku kita
sedikit demi sedikit dimurnikan dan mengalami transformasi.
- 3.Evangelisasi
Seorang beriman yang telah menemukan kembali imannya, dengan sendirinya melaksanakan Evangelisasi atau pewartaan.
Kasih Kristus mendorong orang beriman untuk menjalankan pewartaan (bdk.
2Kor. 5:14). Ke lorong-lorong dunia Yesus mengutus kita untuk
memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk. Mat. 28:16).
Memang,
tak gampang untuk melaksanakan evangelisasi atau pewartaan. Namun,
janganlah takut. Kita Gereja memperoleh kekuatan dan kegairahan, yang
tak pernah pudar, dari penemuan kembali akan kasih Allah dari hari ke
hari.
- IV.Beberapa Ajakan bagi Pelaksanaan Tahun Iman
- 1.Marilah kita memandang Yesus Kristus, yang memimpin kita dalam iman dan yang membawa iman kita kepada kesempurnaan (bdk. Ibr. 12:2).
- 2.Marilah kita mengikuti teladan Bunda Maria dalam hal beriman.
- 3.Marilah kita mengikuti contoh Para Rasul dalam hal beriman. Demi iman, Para Rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan Yesus (bdk. Mat. 10:28).
- 4.Marilah kita meneladan Para Kudus dalam Gereja. Demi iman, Para Kudus itu telah membaktikan hidup mereka kepada Kristus.
- 5.Marilah kita memberikan kesaksian iman kita dengan amal kasih yang lebih intensif. Iman tanpa kasih tak akan menghasilkan buah, sedangkan kasih tanpa iman hanya akan merupakan sebuah perasaan, yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan.
- 6.Akhirnya, marilah kita mengejar iman kepercayaan dengan kesetiaan (bdk. 2Tim. 2:22). Janganlah ada di antara kita, yang bersikap malas di dalam beriman.
Umat
yang terkasih, semoga dalam Tahun Iman ini hubungan kita dengan
Kristus, Tuhan, semakin bertambah erat dan kuat. Kita percaya dengan
kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan
kematian.
Kepada anda sekalian, umat yang terkasih, saya ucapkan “Selamat menjalankan Tahun Iman ini”.
Ambon, 18 September 2012.
Hormat dan salamku,
Mgr. P.C. Mandagi, MSC,
Uskupmu.
MINGGU BIASA XXVII/B – Minggu, 7 Oktober 2012
MINGGU BIASA XXVII/B – Minggu, 7 Oktober 2012
Kej 2:18-24; Ibr 9:9-11; Mrk 10:2-12
Bacaan-bacaan hari ini cukup sering dipakai dalam Perayaan Perkawinan karena memang secara umum berisi tentang persatuan pria dan wanita sebagai pasangan hidup (suami – istri). Meskipun demikian, sebenarnya ada pesan lain yang dapat kita timba, lebih-lebih kalau dikaitkan peristiwa Tahun Iman yang dimulai bulan Oktober 2012 sampai Oktober 2013. Dengan tahun iman ini, kita diajak bersyukur atas anugerah iman yang telah kita terima dan dengan iman itu kita telah memperoleh rahmat keselamatan.
Dalam rangka Tahun Iman itu, Gereja menyadari panggilan dan perutusannya untuk menyalurkan rahmat keselamatan yang telah diperoleh secara cuma-cuma dari Tuhan. Dalam terang bacaan-bacaan hari ini, panggilan dan perutusan Gereja tersebut dihayati melalui kehadiran Gereja sebagai tanda kasih yang menyatukan, seperti halnya persatuan kasih yang dihayati oleh suami istri (Injil - Mrk 10:7-8); juga melalui tindakan nyata untuk melindungi kehidupan dan berpihak kepada yang lemah karena manusia diciptakan sebagai pemelihara ciptaan-ciptaan yang lain (bacaan pertama - Kej 2:19-20); sekaligus keberanian untuk berkorban demi keselamatan sesama, sebagaimana Yesus telah mengalami penderitaan maut lalu dimuliakan supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi keselamatan semua manusia (bacaan kedua - Ibr 2:9).
Untuk mempersiapkan diri menyambut Tahun Iman yang akan dibuka tanggal 11 Oktober mendatang, Bapak Uskup kita, Mgr. Johannes Pujasumarta, telah menulis Surat Gembala dan akan dibacacakan dalam Perayaan Ekaristi ini, sebagai pengganti Homili.
Para Ibu, Bapak, Suster, Bruder, Frater, Rama, Kaum muda, Remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus.
Patut kita syukuri bersama, bahwa Tuhan kita Yesus Kristus telah diimani oleh ratusan juta orang di dunia ini sejak para rasul. Ia kita diimani sebagai jalan, kebenaran dan kehidupan. Iman akan Yesus Kristus itu setiap kali dibarui dalam Syahadat para rasul, dirayakan dalam Ekaristi, diwujudkan dalam tindakan dan akhirnya diperdalam terus-menerus melalui doa.
Sebagai rasa syukur atas iman yang berkembang itu, Bapa Suci Paus Benedictus XVI mencanangkan Tahun Iman, 11 Oktober 2012 - 24 Oktober 2013. Tahun Iman itu diharapkan menjadi kesempatan bagi semua umat beriman untuk melihat pentingnya iman di dalam kehidupan yang terus berubah dan bergejolak. Tahun Iman itu diadakan juga untuk memperingati 50 tahun pembukaan Konsili Vatikan II dan 20 tahun penerbitan Katekismus Gereja Katolik.
Seperti kita ketahui pada tahun 1962-1965 telah diselenggarakan Sidang Konsili Vatikan II yang menghasilkan dokumen-dokumen penting bagi kehidupan Gereja. Dokumen itu mengungkapkan jati diri Gereja yang lahir dari iman akan Yesus Kristus, yang hidup di tengah dunia dan berelasi dengan semua orang dengan segala latar belakang suku, agama, budaya, situasi sosial dan politik. Di tengah dunia itu Gereja dipanggil untuk menjadi sakramen keselamatan, tanda kehadiran Kristus yang adalah terang bagi bangsa-bangsa.
Gereja menyadari bahwa untuk menghayati jati diri dan perutusannya itu, pewartaan iman menjadi penting. Untuk itu pada tanggal 11 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II menyerahkan Katekismus Gereja Katolik kepada umat beriman seluruh dunia. Ia menegaskan, bahwa buku itu menjadi naskah acuan untuk pewartaan yang bersumber pada hidup iman dan sekaligus menjadi sarana yang penuh dan lengkap untuk mengkomunikasikan ajaran Katolik tentang iman dan moral. Dengan mempelajari Katekismus itu diharapkan setiap orang dapat mengetahui apa yang sesungguhnya diimani, dirayakan, dihayati dan didoakan oleh Gereja dalam kehidupan sehari-harinya.
Kini, kita, umat beriman Keuskupan Agung Semarang, sebagai bagian dari umat beriman di seluruh dunia telah merasakan buah-buah dari kedua dokumen itu. Katekismus Gereja Katolik telah menyegarkan, membarui dan meneguhkan penghayatan iman kita akan akan Yesus Kristus. Kita semakin percaya bahwa Yesus Kristus, telah mengalami maut bagi semua orang, kemudian bangkit mulia untuk mengantar semua orang kepada kemuliaan (bdk. Ibr 2:10). Demikian pula Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II telah menyadarkan jati diri dan perutusan kita sebagai umat beriman di dalam dunia. Kita bukan hanya bagian dari dunia, tetapi menjadi garam, ragi dan terang bagi dunia. Oleh karena itu, kita tidak diam terhadap persoalan-persoalan dunia seperti kedegilan, kekerasan, perceraian, perusakan lingkungan hidup dan bahaya kelaparan di berbagai negara atau daerah karena kemiskinan dan kemarau panjang. Di tengah persoalan-persoalan itu, kita dipanggil untuk hadir sebagai tanda kasih yang menyatukan (Mrk 10:7-8), yang berpihak pada yang lemah, yang melindungi kehidupan (Kej 2:19-20) dan yang berani berkorban untuk keselamatan (Ibr 2:9). Satu hal baik yang juga kita peringati pada bulan Oktober ini adalah Hari Pangan Sedunia. Gereja dipanggil dan diutus untuk menjadi komunitas berbagi pangan. Dengan demikian iman menjadi tindakan dan aksi mewujudkan kesejahteraan umum.
Agar Tahun Iman memiliki makna bagi kita, saya mengharapkan paroki-paroki, kelompok, komunitas-komunitas bahkan keluarga-keluarga mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengembangkan iman dan meneguhkan perutusan di tengah dunia. Kita ingin menjadi seperti Wanita Samaria. Seperti dikatakan oleh Bapa Suci Paus Benediktus XVI dalam surat apostolik Porta Fidei (Pintu Kepada Iman), Wanita Samaria adalah orang yang bertemu Yesus di pinggir sumur dan menimba sumber air hidup yang memancar keluar dari diri Yesus. Setelah itu ia pergi mewartakan perjumpaan itu kepada orang-orang di kampungnya. Berkat pewartaan wanita itu, orang-orang di kampungnya datang kepada Yesus dan mengakui, bahwa Yesus adalah Juru Selamat. Berkat perjumpaannya dengan Yesus Wanita Samaria itu menemukan kegembiraan dalam beriman dan kegairahan dalam meng-komunikasi-kan imannya kepada orang lain.
Pengalaman Wanita Samaria itu bukan pengalaman sesaat, tetapi pengalaman yang dipupuk dari waktu ke waktu dan diasah oleh pergulatan hidup yang keras di padang gurun. Maka untuk zaman sekarang, untuk menjadi seperti Wanita Samaria, kita juga harus pergi ke sumur, tidak hanya sekali tetapi berkali-kali untuk berjumpa dengan Yesus yang siap mengajar dan menawarkan air hidup kepada kita. Sumur itu adalah dokumen-dokumen ajaran Gereja dan peristiwa-peristiwa yang menyimpan kekayaan iman kita. Dokumen-dokumen Ajaran Gereja itu diantaranya Kitab Suci, Konsili Vatikan II, (Kompendium) Katekismus Gereja Katolik dan ajaran-ajaran iman lainnya. Sedangkan peristiwa-peristiwa iman diantaranya adalah perayaan-perayaan liturgi, devosi dan doa yang menjadi saat penuh rahmat untuk mengenal dan mengalami kehadiran Yesus yang menyapa dan meneguhkan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan paroki, kelompok dan komunitas mengadakan pembelajaran ajaran-ajaran Gereja untuk menggali kekayaan iman Gereja. Saya berharap pula, agar diusahakan pendalaman seeara sungguh-sungguh terhadap perayaan iman dalam liturgi. Bagi kaum muda, remaja dan anak-anak perlu dirancang adanya katekese khusus, agar mereka menemukan keindahan dan kesaksian iman. Semua umat beriman dipanggil untuk senantiasa memperbarui rahmat iman, membagikan pengalaman iman dan kasih kepada sesama. Sangat baik kalau sekali waktu umat berkunjung ke Museum Misi Muntilan untuk memahami sejarah kekatolikan di Jawa dan mengobarkan semangat misioner.
Komisi-komisi dalam Dewan Karya Pastoral maupun komisi-komisi di kevikepan hendaknya membantu mempermudah pembelajaran iman dan katekese dengan menawarkan kegiatan, modul atau penyediaan sarana-sarana lain yang mendukung.
Di Tahun Iman ini kita semua ingin menjadikan iman sebagai peristiwa hidup, artinya menjadi suatu kesibukan pertama dan utama dalam kehidupan menggereja. Hal itu kita lakukan sejalan dengan Arah Dasar KAS 2011-2015, yang mengajak kita untuk beriman semakin mendalam-tangguh, dan semakin terlibat mewujudkan kasih di tengah masyarakat, khususnya mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel dan kasih terhadap alam ciptaan demi terwujudnya Gereja yang signifikan dan relevan. Dengan demikian kita semakin bergembira dalam beriman, bergairah dalam pewartaan.
Akhirnya, saya berterimakasih kepada semua saja yang dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, tanpa lelah, telah dan akan, dengan caranya masing-masing melibatkan diri dalam pengembangan iman dan peneguhan hidup umat di Keuskupan Agung Semarang.
Semoga Tahun Iman ini menjadikan semua gerak kita bermakna bagi semakin banyak orang dalam peziarahan menuju Bapa.
Salam, doa dan Berkah Dalem,
Semarang, Pesta St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus
1 Oktober 2012
† Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang
Marilah kita sambut Tahun Iman ini dengan: mesyukuri anugerah iman yang telah kita terima; memperdalam iman kita melalui Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja serta perayaan-perayaan iman, terutama Ekaristi; dan mewujudkan iman kita dalam kehidupan sehari-hari melalui kehadiran kita yang menyatukan (Mrk 10:7-8), yang berpihak pada yang lemah, yang melindungi kehidupan (Kej 2:19-20) dan yang berani berkorban untuk keselamatan sesama (Ibr 2:9).
Kegiatan yang baik kita lakukan di Tahun Iman ini adalah menjadi seperti anak-anak dan mengajak anak-anak kita untuk datang kepada Tuhan sesering mungkin melalui doa-doa, renungan akan sabda Tuhan (Kitab Suci), Pendalaman Iman, Ekaristi, dll. Tuhan selalu terbuka menyambut, memeluk dan memberkati kita. Satu tawaran yang saya sampaikan: Marilah kita meluangkan waktu barang 5 - 10 menit setiap hari untuk membaca Kitab Suci. Di dalamnya kita akan menemukan sumber air kehidupan yang dapat kita timba untuk memuaskan dahaga dan memberikan kesegaran bagi hidup kita. Melalui ketekunan membaca Kitab Suci, kita akan berjumpa dengan Yesus dan menimba air kehidupa sejati dari-Nya.
RD. Ag. Agus Widodo
Ensiklik Paus Benediktus XVI Tahun Iman 2012
TAHUN IMAN 2012
SURAT APOSTOLIK
YANG DITERBITKAN SEBAGAI “MOTU PROPRIO”
“PINTU KEPADA IMAN”
DARI BAPA SUCI
BENEDIKTUS XVI
BENEDIKTUS XVI
UNTUK MENCANANGKAN TAHUN IMAN
1. “Pintu kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa terbuka bagi kita, memasukkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Melintasi ambang pintu ini dimungkinkan apabila Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya dibentuk oleh rakhmat yang senantiasa mampu mengubah. Memasuki pintu gerbang itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Ia mulai dengan baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir dengan kematian yang memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang, dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua orang yang percaya kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh. 17:22). Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putra dan Roh Kudus– adalah percaya kepada Allah yang mahaesa yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita, yakni Yesus Kristus, yang melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus dunia; Roh Kudus, yang membimbing Gereja mengarungi jaman sambil menantikan kedatangan Tuhan yang akan datang kembali dalam kemuliaan.
2. Sejak mulai memangku jabatan sebagai Pengganti Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan iman kita itu, agar supaya ia dapat memberikan pencerahan yang lebih jelas atas kegembiraan dan semangat yang senantiasa diperbarui dari perjumpaan kita dengan Kristus. Dalam homili yang saya sampaikan pada Misa pentakhtaan saya sebagai Paus saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastor-pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk membimbing umat keluar dari pada gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan kehidupan yang berkelimpahan”.[1] Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada konsekwensi-konsekwensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, karena mereka berpendapat bahwa iman-keprcayaan akan dengan sendirinya menyatakan diri secara kentara di dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal kenyataannya, anggapan sedemikian itu bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi cukup sering bahkan secara terang-terangan diingkari[2]. Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal kembali suatu matriks kemasyarakatan yang mempersatukan, yang secara luas diterima sebagai daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan nilai-nilai yang lahir dari sana, tetapi di masa sekarang ini rupanya hal itu tidak terjadi lagi pada kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari adanya krisis iman yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.
3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat. 5:13-16). Orang-orang jaman sekarangpun masih bisa mengalami kebutuhan pergi ke sumur, seperti wanita Smaria, untuk mendengar Yesus mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan kembali cita-rasa sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah diserah-alihkan kepada Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan bagi kehidupan para murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada jaman inipun ajaran Yesus masih tetap bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 6:27), Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarangpun masih sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" (Yoh. 6:28). Maka percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai dengan pasti kepada keselamatan.
4. Atas dasar itu semua maka saya telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga hari ulang tahun yang ke duapuluh dari publikasi buku Katekismus Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yoahnes Paulus II[3], dengan maksud untuk memberikan kepada segenap umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita. Dokumen tersebut, sebagai buah yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Synode Luar-biasa Para Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan sarana-bantu bagi pelayanan Katekese[4] dan telah diterbitkan dalam kerja-sama dengan semua Uskup dalam Gereja Katolik. Tambahan pula, tema dari Sidang Umum Synode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 yang akan datang ini adalah: “Evangelisasi Baru utuk Mentransmisikan Iman Kristiani”. Hal itu akan menjadi kesempatan yang baik untuk untuk menghantar masuk segenap Gereja ke dalam suasana refleksi yang khusus dan menemukan kembali iman-kepercayaannya. Ini bukan yang pertama kalinya Gereja dipanggil untu merayakan suatu Tahun Iman. Pendahulu saya yang Mulia Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1976, untuk memperingati kemartiran santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan semblan belas abad tindakan yang paling luhur dari kesaksian mereka. Menurut hemat Beliau iulah saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk untuk menyatakan “suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari iman-kepercayaan yang sama”. Apalagi beliau menghendaki bahwa hal itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi maupun bersama-sama, baik secara bebas namun bertanggngjawab, baik secara lahir maupun secara batin, dengan rendah hati dan berterus-terang”[5]. Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya, memurnikannya, dan mengakuinya”[6]. Perayaan besar-besaran Tahun itu semakin menunjukkan betapa umat memang membutuhkan perayaan semacam itu. Upacara penutupannya dengan Pengakuan Iman Umat Allah[7] dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa muatan hakiki iman itu yang selama berabad-abad telah membentuk warisan segenap orang yang percaya itu, perlu ditegaskan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya kesaksian iman itu menjadi konsisten dengan hal-ikhwal sejarah semasa yang berbeda sekali dengan yang dari masa lampau
5. Dalam arti tertentu, Yang Mulia Pendahulu saya itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekwensi dan kebutuhan dari masa pasca konsili”[8], sambil menyadari sepenuhnya tentang kesukaran-kesukaran jaman yang serius, teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsirannya yang benar. Menurut hemat saya timing peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II itu akan memberikan kesempatan yang sangat bagus dalam membantu umat untuk memahami, bahwa naskah dokumen yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili itu, dengan kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, ditangkap dengan akal budi secara luas dan dicamkan di dalam hati secara mendalam sebagai dokumen yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja sendiri, semuanya di dalam jalur Traidisi Gereja … Saya sendiri merasa lebih berkewajiban untuk menunjukkan kepada Konsili itu sebagai rakhmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja Abad Keduapuluh itu, di mana kita dapat menemukan penunjuk arah untuk dapat mengarungi abad yang sekarang baru akan mulai itu”[9]. Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali lagi, apa yang sudah saya katakan tentang konsili ini beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Paus Pengganti Petrus: ”Apabila, kita, menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili itu dengan bimbingan suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu bisa dan akan menjadi semakin berdaya bagi pembaharuan Gereja yang senantiasa diperlukan itu”[10].
6. Pembaruan Gereja juga bisa dilaksanakan melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat beriman: yakni justru melalui cara-mengada mereka di dunia ini, Umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan Tuhan kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sedangkan Kristus, yang “suci, tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor. 5:21), melainkan dating hanya untuk menebus dosa-dosa umat (lih Ibr 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan,serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan. Gereja “dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhan ahingga Ia datang (lih 1Kor. 11:26). Tetapi Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir Zaman dalam cahaya yang penuh[11]. Dalam perspektif ini maka Tahun Suci itu adalah suatu panggilan kepada pertobatan yang otentik kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia. Melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo Paulus, kasih ini memasukkan kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:4). Melalui iman-kepercayaan, hidup yang baru ini membentuk seluruh keberadaan manusiawi kita dari akar-akarnya sesuai dengan keadaan baru sebagai buah kebangkitan. Sejauh manusia dengan bebas bekerja-sama, maka pikiran dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit akan dimurnikan dan ditransformasikan, dalam suatu perjalanan yang tidak akan pernah sepenuhnya selesai di dalam hidup ini. “hanya Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6) akan menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef. 4:20-29; 2Kor. 5:17).
7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor. 5:14): Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita unutk berevangelisasi. Sekarang ini, seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk, Mat, 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya orang-orang dari segala keturunan: dalam setiap jaman Dia menghimpun Gereja sambil mempercayakan kepada Gereja itu pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang senantiasa baru. Pada jaman sekarangpun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen Gereja yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali kegembiraan dalam percaya dan kegairahan dalam mengkomunikasikan iman itu, Dalam menemukan kembali kasih-Nya itu dari hari ke hari, keseiap-sediaan untuk diutus dari orang beriman ini mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak akan pernah bisa pudar. Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakannya, “menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”[12]. Santo Uskup dari Hippo itu memiliki alasan yang sungguh tepat untuk mengungkapkan dirinya seperti itu, karena sebagaimana kita tahu, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman-kepercayaan itu sampai saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam Allah[13]. Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di mana Agustinus memberi penjelasan tentang pentingnya percaya dan dan tentang kebenaran iman, sampai sekarang tetap merupakan warisan dengan kekayaan yang tiada taranya, dan tetap menjadi sarana bantu bagi banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”.
Karena itu, hanya melalui percaya, iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, selain dari pada meninggalkan diri sendiri dalam suatu crescendo yang terus-menerus, masuk ke dalam tangan-tangan kasih yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena memang bersal dari Allah.
8. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup dari se antero dunia untuk bergabung bersma dengan Pengganti Petrus selama masa yang penuh dengan rakhmat spiritual yang dianguerahkan Tuhan kepada kita ini, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak merayakan Tahun itu secara pantas dan menghasilkan buah. Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang beriman kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman-kepercayaan kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di dalam gereja-gereja di seluruh dunia; juga di rumah-rumah kita dan di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang akan merasakan betapa perlunya pemahaman yang lebih baik dan kemudian untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang iman-kepercayaan segala jaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara untuk, sepanjang Tahun itu, mengakui secara publik Credo kita.
9. Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman-kepercayaannya dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, juga dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun itu akan menjadi juga sebah kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan … tetapi juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu … mengalir”[14]. Pada saat yang sama, kita berdoa juga agar kesaksian hidup umat beriman semakin dapat dipercaya. Untuk menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan[15], dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman itu adalah tugas yang setiap umat beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman ini. Bukan tanpa alasan umat Kristiani pada abad-abad pertama dituntut untuk menghafalkan pengkuan iman-kepercayaannya itu. Bagi mereka hal itu lalu berfungsi sebagai doa mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen yang telah mereka ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat dengan makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentang redditio symboli, tentang “penyerah-alihan pengakuan iman”, katanya: “Pengakuan iman dari misteri-misteri kudus yang telah kalian terima secara serentak dan yang pada hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu itu, adalah kata-kata di atas mana iman-kepercayaan Bunda Gereja didirikan dengan kokoh, pada landasan yang menetap, yang adalah Kristus, Tuhan sendiri. Kalian telah menerimanya, namun alian harus tetap memeliharanya di dalam akal-budi dan hati-sanubari kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya di ranjang tempat tidur kalian, tetap mengingat-inganya di pasar-pasar, tidak melupakannya sementara kalian makan-makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus tetap memperhatikannya dengan hati kalian”[16].
10. Di sini saya ingin memberikan suatu garis besar dari sebuah sarana yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi muatan iman-kepercayaan itu, melainkan juga tindakan yang akan kita pilih untuk mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang sebebas-bebasnya. Pada kenyataannya memang ada kesatuan yang mendalam antara tindakan dengan mana kita beriman dan muatan isi, kepadanya kita memberikan kesepakatan kita. Santo Paulus membantu kita memasuki kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom. 10:10). Hati itulah yang menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seorang percaya adalah anugerah dari Allah dan tindakan rakhmat yang bergiat dan mengubah seseorang dari dalam.
Dalam kaitan ini secara khusus contoh dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas menceriterakan, bahwa ketika berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Di dalam ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan, bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tdaklah mencukupi, apabila hati, yakni tempat kudus yang khas dalam diri seseorang, tidak turut dibuka oleh rakhmat yang membuat mata bisa melihta apa yang ada di bawah permukaan dan mamahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah Sabda Allah sendiri.
“Pengakuan dengan bibir” itu pada gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung juga pengertian “kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi saja. Beriman berarti memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian berada dengan Dia juga. “Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan mengapa dia menjadi percaya. Iman-kepercayaan, justru karena dia adalah suatu tindakan yang bebas, juga menuntut pertanggungjawaban social aats apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keberimanan ini dan memberitakan dengan tanpa takut iman-keprcayaan seseorang kepada setiap orang. Anugerah Roh Kuduslah yang telah membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan kesaksian kita serta menjadikannya terus-terang dan berani.
Pengakuan iman adalah suatu tindakan yang sekaligus bersifat perseorangan sendiri-sendiri, tetapi juga secara berkomunitas bersama-sama. Gerejalah yang sebenarnya pertama-tama menjadi subjek iman-kepercayaan. Di dalam iman-kepercayaan dari komunitas kristiani, setiap pribadi individual menerima baptisan, suatu tanda yang effektif masuknya ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Dalam buku Katekismus Gereja Katolik, kita membaca: "Aku percaya", itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. "Kami percaya" itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. "Aku percaya": demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: "aku percaya", "kami percaya"[17].
Jelas sekali, bahwa pengetahuan akan isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan persetujuannya, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh Gereja. Pengetahuan akan iman-keprcayaan ini membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri karya penyelamtan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang kita berikan itu berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah sendiri, yang mewahyukan dirinya sendiri dan mengijinkan kita mengetahui misteri cinta-kasih-Nya [18].
Di pihak lain, kita tidak boleh melupakan, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang meskipun tidak meng-claim memiliki anugerah iman itu, namun secara tulus mereka mencari arti makna yang tertinggi dan kebenaran yang pasti dari hidup dan dunia mereka. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” yang otentik kepada iman-kepercayaan, justru karean ia menuntun orang pada jalan yang membawanya ke misteri Allah. Sebenarnya akal-budi manusia mengandung di dalam dirinya tuntutan pada “apa yang selamanya sahih dan langgeng”[19]. Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang menetap, karena terpatri secara tak-terhapuskan di dalam hati manusia, yang membuatnya bergerak mencari Dia yang kita tidak akan mencarinya seandainya Dia sudah tidak lebih dahulu bergerak untuk mendapatkan kita[20]. Pada perjumpaan inilah iman-kepercayaan mengundang kita dan membuka diri kita sepenuh-penuhnya.
11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada isi iman-kepercayaan itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan taktergantikan. Dokumen itu dalah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Drpositum, yang ditandatangani, bukan hanya karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke tiga-puluh Pembukaan Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Maka saya menyatakan katekismus itu menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”[21].
Dalam arti inilah bahwa Tahun Iman itu harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi muatan fundamental dair iman-kepercayaan yang sekarang disintesekan secara sistematis dan secara organis di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah, sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci, sampai ke Para Bapa-bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para kudus sepanjang segala abad, Katekismus ini memberikan rekaman yang menetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja untuk merenungkan iman itu dan berkembang maju dalam ajaran, dan dengan demikian kepastian bagi para beriman dalam kehidupan beriman mereka.
Dalam strukturnya yang seperti itu Katekismus Gereja Katolik ini mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman, kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan kehilangan efikasitasnya, sebab dia akan kehilangan rakhmat yang mendukung kesaksiannya secara Krisriani. Melalui kriterium yang sama, ajaran dari Katekismus ini tentang kehidupan moral mendapatkan artinya yang penuh, apabila memang ditempatkan dalam keterikatannya dengan iman-kepercayaan, liturgi dan doa.
12. Maka dari itu dalam Tahun Iman itu nanti, Katekismus Gereja Katolik itu akan dipergunakan sebagai sarana bantu untuk memberikan dukungan yang nyata bagi iman-kepercayaan, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembinaan umat kristiani, yang berada dalam saat sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk maksud itu saya telah mengundang Kongregasi Untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk mempersiapkan sebuah Nota, yang akan memberikan arahan-arahan kepada umat beriman Gereja dan perseorangan tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman itu secara yang se-efektif dan se-tepat mungkin bagi kepentingan iman-kepercayaan dan pewartaan.
Dalam skala yang lebih besar dari pada di masa lampau, sekarang ini iman dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap dasar yang sudah berubah, yang, khususnya dewasa ini, bidang kepastian-kepastian rasional diberi pembatasan-pembatasan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu yang sejati, sebab keduanya, kendatipun jalur yang ditempuh berbeda, mengarah menuju kepada kebenaran[22].
13. Satu hal yang akan sangat menentukan dalam tahun Iman itu adalah, bila kita menelusuri sejarah iman kita yang sebenarnya ditandai dengan misteri yang takterkatakan dari keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang pertama menyoroti kontribusi besar yang diprestasikan oleh laki-laki atau perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup mereka, yang kedua harus menantang dari setiap orang suatu kerja yang tulus dan berlanjut dari pertobatan untuk mengalami belas-kasih Bapa, yang dtawarkan kepada semua orang,
Selama waktu itu kita akan harus tetap memandang Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya. Sukacita dari kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan dari pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu mendapatkan kepenuhannya di dalam misteri inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil-bagian di dalam kelemahan manusiawi kita, sehingga semuanya itu ditransformasikan-Nya melalui kekuatan dari kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah mati lalu bangkit kembali demi keselamatan kita itu, contoh teladan iman-kepercayaan yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini mendapatkan pencerahan yang sepenuh-penuhnya.
Dengan iman, Maria menerima kata-kata Malaekat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan menjadi Bunda Allah dalam ketaatan dari kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika mengunjungi Elizabet, dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya (bdk. Luk. 1:46-55), Dengan sukacita dan kegentaran dai melahirkan anaknya yang tunggal, dengan keperawanannya yang tetap tak ternoda (bdk. Luk.2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes (bdk. Mat, 2:15-17). Dengan kepercayaan yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27). Dengan iman-kepercayaannya, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan sambil tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51). Ia menyerah-alihkan itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di ruang atas untuk menerima Roh Kudus (bdk. Kis, 114-2:1-4).
Dengan iman, para rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat. 10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20). Mereka hidup dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, dengan mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup, dengan mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk. Yoh. 13:34-35). Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira ke pada semua ciptaan (bdk. Mrk. 16:15) dan dengan tanpa takut mereka mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan, tentangnya mereka adalah saksi-saksinya yang setia.
Dengan iman, para murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran para rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai milik bersama dan dengan demikian mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara (bdk. Kis. 2:42-47).
Dengan iman, para martir menyerahkan hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan anugerah terbesar dari cinta-kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya mereka.
Dengan iman, pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, sambil meninggalkan segala sesuatu, untuk dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata dari penantian mereka akan kedatangan Tuhan yang tidak akan tertunda. Dengan iman, tak terbilang banyaknya orang kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari semua penindasan dan mewartakan kedatangan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk. 4:18-19).
Dengan iman, sepanjang abad-abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab Kehidupan (bdk.Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan hal mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian pada kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kehidupan publik, dalam menjalankan kharisma dan pelayanan yang menjadi panggilan hdiup mereka.
Dengan iman, kita juga hidup: sambil menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup kita dan sejarah kita.
14. Tahun Iman itu juga akan menjadi stau kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal-kasih, sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (Kor. 13:13).
Dengan kata-kata yang lebih kuat, ‒yang senantiasa telah menempatkan orang Kristiani di bawah kewajiban,‒ Santo Jakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." (Yak. 2:14-18).
Iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan suatu perasaan yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang tersendiri, yang termarginalkan atau yang terkucilkan, sebagiamana juga bagi mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah Kristus sendiri. Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi peringatan yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan yang menetap bagi kita untuk membalas kasih dengan mana Tuhan telah senantiasa memperhatikan kita. Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama yang kita jumpai dalam perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman, marilah kita memandang kepada komitmen kita di dunia ini sambiil menantikan “surga baru dan dunia baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk. Why. 21:1).
15. Ketika sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih. 2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (bdk. 2Tim. 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada masing-masing kita, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Iman yang menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat kita mampu untuk memahami, setiap kali secara baru, karya-karya ajaib Tuhan bagi kita. Sambil senantiasa peka terhadap tanda-tanda jaman yang terhimpun di dalam sejarah kita di masa sekarang ini, iman itu membuat masing-masing kita sendiri menjadi tanda dari kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang secara khusus dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak orang lain untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal abadi.
“Supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman ini membuat hubungan kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada jaminan dari kasih yang sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini akan dapat memberikan seberkas pencahayaan yang terakhir atas iman ini: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang hidup di dalam kesunyian. Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini, dicoai oleh berdiamnya Allah, sementara mereka lebih merindukan mendengar suara-Nya yang menghibur. Percobaan-percobaan hidup, sementara mereka memang membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil-bagian dalam penderitaan Kristus (bdk. Kol. 1:24), menjadi juga suatu pendahuluan kepada sukacita dan harapan ke mana iman juga mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercyaan yang pasti ini kita mempercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengah-tengah kita, mengalahkan kekuatan si jahat itu (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja, persekutan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda dari rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa.
Marilah kita mempercayakan saat rakhmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai yang “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk. 1:45)
Dikeluarkan di Roma, dari Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh.
BENEDIKTUS XVI, PAUS
[1] Homili pada awal menjabat sebagai Uskup Roma dalam pelayanan sebagai pengganti Petrus (24 April 2005):AAS 97 (2005), 710.
[2]Lih. Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro do Paço” di Lisabon, (11 Mai 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673.
[3] Lih. Joannes Paulus II, Konstitusi ApostolikFidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 113-118.
[4] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4 in Enchiridion Vaticanum, ix, n. 1797.
[5] Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196.
[6] Ibid., 198.
[7] Paulus VI, Credo Umat Allah, Homilidalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS60 (1968), 433-445.
[8] PaulusVI, Audiensi Umum (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967), 801.
[9] Joannes Paulus II,Surat ApostolikNovo Millennio Ineunte(6 Januari 2001), 57: AAS 93 (2001), 308
[10] Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember 2005): AAS 98 (2006), 52.
[11] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstiotusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 8.
[12] De Utilitate Credendi, I:2.
[13] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Lityurgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.
[14] KOnsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.
[15]Lih.. Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 116.
[16]Sermo 215:1.
[17]Katekismus Gereja Katolik, 167.
[18] Lih.Konsili ekumenis Vatikan I, Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik, Dei Filius, Bab. III: DS 3008-3009: Konsili ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum, 5.
[19]Benediktus XVI, Sambutan di Collège des Bernardins, Paris (12 September 2008): AAS100 (2008), 722.
[20]Lih.. Santo Augustinus, Confessions, XIII:1.
[21]Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117.
[22]Lih. Joannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87.
Langganan:
Postingan (Atom)
terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati