Minggu, 01 November 2009
HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS: Why 7:2-4.9-14; 1Yoh 3:1-3; Mat 5:1-12a
“Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga”
Pada hari raya Semua Orang Kudus hari ini kita diajak untuk mengenangkan kembali para santo-santa, khususnya santo atau santa yang menjadi pelindung kita masing-masing. Maka baiklah saya mengajak anda sekalian untuk membaca dan merenungkan kembali riwayat santo atau santa yang menjadi pelindung, sambil mencermati spiritualitas atau semangat yang menjiwai hidupnya. Mungkin kutipan Warta Gembira hari ini, Sabda Bahagia, dapat membantu kita semua dalam mawas diri atau mengenangkan santo atau santa pelindung kita masing-masing dan kemudian meneladan cara hidup atau cara bertindaknya. Maka baiklah secara sederhana saya coba merefleksikan ayat-ayat dari Sabda Bahagia hari ini:
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:3)
Miskin di hadapan Allah berarti terbuka atas kehendak Allah, Penyelenggaraan Ilahi, terbuka terhadap aneka kemungkinan dan kesempatan untuk berubah atau bertobat alias memperbaharui diri. Harapan atau dambaan utama adalah Allah, dan tentu saja hal itu juga dihayati dengan dan dalam hidup mendunia, berpartisipasi dalam seluk-beluk duniawi. Ia menyikapi dan menempatkan aneka macam bentuk harta benda atau sarana-prasarana duniawi sebagai wahana atau sarana untuk semakin memperembahkan diri seutuhnya kepada Allah, semakin dirajai atau dikuasai oleh Allah. Ia mengusahakan kesucian hidup dengan mendunia, terlibat atau berpartisipasi dalam kesibukan sehari-hari sebagaimana dihayati oleh para pekerja; ia tidak ada rasa lekat tak teratur terhadap aneka macam bentuk harta benda atau sarana-prasarana. Kebahagiaan sejati adalah “menemukan Allah dalam segala sesuatu atau menghayati segala sesuatu dalam Allah”
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Mat 5:4)
Yang dimaksudkan berdukacita disini kiranya adalah bekerja keras tanpa kenal lelah dalam rangka menghayati panggilan serta melaksanakan tugas pengutusan atau kewajiban yang terkait dengan panggilannya. Segala tugas pekerjaan atau apapun yang ditugaskan kepadanya selesai pada waktunya dan baik hasilnya, sebagaimana diharapkan. Meskipun harus bekerja keras dan kurang memperoleh perhatian orang lain, ia tetap dinamis, ceria dan bahagia; ia tidak akan merasa sendirian, meskipun secara phisik sendirian, karena Allah bersamanya, hidup dan bekerja dalam dirinya yang lemah dan rapuh. Bukankah ketika usaha keras berhasil baik pada akhirnya akan memperoleh hiburan besar? Maka dengan ini kami mengharapkan kita semua, entah yang belajar atau bekerja, untuk bekerja keras dalam melaksanakan tugas panggilan atau kewajibannya; hendaknya tidak bermalas-malasan. “Wong keset ikut dadi bantaling setan” = “Pemalas menjadi tempat kediaman setan”.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Mat 5:5).
Orang lemah lembut pada umumnya juga rendah hati, ia lebih ‘melihat ke bawah’ daripada ‘melihat ke atas’, lebih menunduk daripada menengadah, lebih melihat realitas daripada impian, lebih melihat bumi daripada langit. “Memiliki bumi” berarti mampu menguasai bumi, sebagaimana diperintahkan Allah kepada manusia :"Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kej 1:26). Bukankah untuk menguasai atau merawat ikan, burung maupun ternak harus lembah lembut, rendah hati, dalam dan oleh kasih, agar mereka tumbuh berkembang dengan baik?. Jika kepada binatang atau tanaman saja kita harus lemah lembut dan rendah hati, apalagi terhadap manusia atau sesama kita. Maka marilah kita saling lemah lembut dalam hidup kita sehari-hari.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Mat 5:6).
Apa yang dimaksudkan dengan ‘lapar dan haus akan kebenaran’ kiranya kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang berdosa dan dipanggil oleh Tuhan untuk berkarya dalam karya penyelamatanNya. Dengan kata lain penghayatan hidup belajar terus-menerus, ‘ongoing formation/ongoing education’. Sikap hidup belajar terus-menerus perlu dijiwai keutamaan kerendahan hati, kesiap-sediaan dan kerelaan untuk terus dibina, dididik, dikembangkan, didewasakan, dst.. Orang senantiasa bersikap ‘magis’, yaitu melebihi atau mengalahkan diri terus menerus. Sikap mental yang demikian ini hendaknya dibiasakan sedini mungkin bagi anak-anak dan tentu saja dengan teladan konkret dari orangtua/bapak-ibu.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat 5:7).
Murah hati berarti hatinya dijual murah alias memberi perhatian kepada siapapun sesuai dengan kesempatan, kemungkinan dan keterbatasan yang ada. Jika kita berani mawas diri dengan jujur kiranya kita dapat mengakui dan menghayati bahwa masing-masing dari kita telah memperoleh kemurahan hati Allah secara melimpah ruah melalui orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita, tentu saja pertama-tama dan terutama adalah orangtua atau bapak-ibu kita masing-masing. Maka ajakan untuk bermurah hati terhadap orang lain tidak sulit asal rela menyalurkan apa yang telah kita terima secara melimpah ruah tersebut. Marilah kita saling bermurah hati alias saling memperhatikan dimanapun dan kapanpun kita berada serta dengan siapapun. .
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.”(Mat 5:8)
Suci hatinya berarti hatinya bersih, tanpa cacat cela atau noda sedikitpun, hatinya sepenuhnya dikuasai atau dirajai oleh Allah, Yang Ilahi. Mata hatinya juga dapat melihat dengan cermat, tajam dan tepat segala sesuatu: siapa itu Allah, siapa itu sesama manusia dan apa itu harta benda/ciptaan-ciptaan lainnya di dunia ini. Dunia seisinya, yaitu bumi dan laut, flora dan fauna serta manusia diciptakan oleh Allah, dalam kuasa Allah, tergantung dari Allah. Maka orang yang suci hatinya mampu melihat Allah yang hidup dan berkarya dalam seluruh ciptaanNya tersebut, dan dengan demikian ia akan menghormati dan menjunjung tinggi seluruh ciptaanNya di bumi dan laut ini. Sebagai orang yang suci hatinya kiranya menghayati apa yang dikatakan oleh Yohanes ini: “Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1Yoh 3:2).
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9)
Mengakui diri dan menghayati diri sebagai orang beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah alias menjadi ’anak kesayangan’ Allah. Karena Allah hanya satu maka selayaknya semua umat beriman hidup bersatu dalam damai, penuh persahabatan dan persaudaraan sejati, hidup dalam damai sejahtera. Masing-masing dari kita adalah ‘anak kesayangan’ atau ‘yang terkasih’ Allah, maka bertemu dengan orang lain atau siapapun berarti ‘yang terkasih’ bertemu dengan ‘yang terkasih’ dan dengan demikian secara otomatis saling mengasihi, dan dengan saling mengasihi terjadilah perdamaian sejati. Damai merupakan idaman atau dambaan semua orang, namun sayang sering terjadi kesalah-fahaman karena paradigma maupun strategi yang berbeda. Ada yang mengusahakan perdamaian dengan menghancurkan yang lain.. ‘There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” = “Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan”, demikian pesan perdamaian dari Paus Yohanes Paulus II memasuki millennium ketiga yang sedang kita telusuri saat ini. “Kasih pengampunan” itulah senjata atau kekuatan untuk mengusahakan dan membawa damai, maka marilah kita hidup dan bertindak saling mengasihi dan mengampuni.
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”(Mat 5:10)
Kebohongan, manipulasi, pemalsuan, permainan sandiwara kehidupan, dst.. masih marak di sana-sini dalam kehidupan bersama, maka untuk hidup dan bertindak benar pasti akan menghadapi aneka macam tantangan, hambatan atau aniaya. Mereka yang seharusnya menjadi penegak kebenaran hukum juga dengan mudah melakukan kebohongan atau sandiwara kehidupan demi dan karena uang. Harta benda/uang, pangkat/kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi merupakan godaan untuk berbohong atau melakukan manipulasi, pemalsuan dst.. Meskipun harus menghadapi aneka macam tantangan, hambatan dan aniaya, kami harapkan kepada para pejuang dan pembela kebenaran tetap setia, teguh dan tanpa takut terus memaklumkan kebenaran. Hidup dan bertindak benar hemat saya perlu dibiasakan atau dididikkan pada anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dan tentu saja dengan teladan orangtua atau bapak-ibu.
“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat “(Mat 5:11)
Orang jujur, benar dan baik sering mengalami aneka macam fitnah dari mereka yang kurang senang atas kejujuran dan kebaikannya. Di kantor-kantor tertentu orang jujur selalu diamat-amati untuk dicari kelemahan dan kekurangannya dan kemudian difitnah. Hidup dan bertindak jujur di tempat-tempat atau kantor-kantor tertentu bagaikan berada di ujung duri atau tanduk, begitulah yang sering dialami beberapa orang jujur. Para pemfitnah pada umumnya harus memboroskan waktu dan tenaga atau memperhatikan terus menerus kepada yang difitnah sebelum menyampaikan fitnahnya. Dengan kata lain fitnah yang disampaikan merupakan hasil atau buah perhatian (pemborosan waktu dan tenaga) yang cukup besar, maka fitnah rasanya juga merupakan perwujudan kasih. Maka kepada siapapun yang difitnah saya harapkan mengucapkan terima kasih atau berterima kasih kepada yang memfitnah. Berbahagialah karena hidup dan bertindak jujur, setia pada iman dan janji-janji yang pernah diikrarkan, ketika sedang mengalami celaan, aniaya maupun fitnah. Jadikanlah celaan, aniaya dan fitnah sebagai bentuk penggemblengan atau pembinaan kita agar kita semakin tumbuh berkembang sebagai pribadi yang cerdas beriman.
“TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai."Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?" "Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu” (Mzm 24:1-4)
Jakarta, 1 November 2009
Ignatius Sumarya, SJ
Bagikan