(1 Ptr. 2:16)
pada Hari Raya Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2010)
Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia dirayakan sebagai Hari Raya (Solemnitas) dalam liturgi Gereja. Dengan demikian, Hari Kemerdekaan yang kita rayakan dalam liturgi itu menjadi alasan kita untuk bersyukur kepada Allah, dengan disatukan dalam Doa Syukur Agung atas pemerdekaan yang dilakukan oleh Kristus melalui hidup, wafat dan kebangkitan-Nya. Dalam terang firman, peristiwa pemerdekaan tersebut dapat kita maknai sebagai peristiwa syukur, dan sekaligus sebagai saat tepat untuk mawas diri dan berbenah, agar kita hidup sebagai orang yang sungguh merdeka, selaras dengan nasihat santo Petrus “Hiduplah sebagai orang merdeka !” (1 Ptr. 2:16)
Peristiwa Bangsa Bagian Dari Sejarah Keselamatan
Pada bulan Agustus bangsa Indonesia mengalami peristiwa sangat menentukan, ketika diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam terang iman dapatlah dikatakan bahwa peristiwa bangsa itu merupakan bagian dari sejarah keselamatan bangsa Indonesia. Selama itu, kerap kita alami krisis multidimensional yang menyangkut kehidupan bangsa ini. Namun, setiap kali pula krisis itu mengantar kita pada penegasan terhadap kesepakatan kita untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika.”
Dewasa ini, setelah 65 tahun proklamasi kemerdekaan itu, krisis multidimensional yang kita alami dalam dekade terakhir telah mengantar kita untuk menegaskan lagi 4 pilar yang menopang kelestarian kehidupan bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, dasar bangunan NKRI, dan kearifan hidup bersama “Bhinneka Tunggal Ika”. Selama itu pula, dapat kita temukan keprihatinan-keprihatinan kita yang mencemaskan, namun sekaligus titik-titik terang yang menjadi harapan bagi kita untuk tidak berputus asa.
Keprihatinan dan Harapan
Keprihatinan mendasar mencemaskan kita semua, bilamana cita-cita keutuhan bangsa dalam kenyataan keberagaman dewasa ini berada di ujung tanduk; ketika kita kenali ada usaha sistematis untuk mengganti dasar negara ini dengan dasar yang berbeda dari semangat proklamasi 1945, yang disertai dengan tindak kekerasan memaksakan kehendak secara terang-terangan dalam ruang publik Negara Pancasila ini. Kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945, Ps. 29 tidak disadari menjadi hak azasi yang perlu diperjuangkan bersama sebagai warga bangsa ini. Karena itu, tentu tidak mudah warga masyarakat yang berbeda-beda agama ini menaruh penghormatan yang tulus satu sama lain.
Keprihatinan juga muncul berkaitan dengan kenyataan kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010, meskipun berkurang dibandingkan dengan Maret 2009 tercatat sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%) dari jumlah pendudukan Indonesia 238 juta menurut sensus tahun 2010. Memang ada data kuantitatif seperti itu, tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari angka kemiskinan itu hidup dalam kisah gadis kecil, Sitti (bukan nama sebenarnya). Orang tua dari anak perempuan dari keluarga miskin tetangga kita itu tidak mampu memberinya makan sehari-hari. Kalau demikian, bisa kita duga bahwa bila kebutuhan dasar untuk makan saja tidak terpenuhi, apalagi kebutuhan lain, misalnya untuk pendidikan, tempat tinggal dan tempat belajar yang memadai, serta kebutuhan akan pakaian yang dikenakannya. Anak-anak yang senasib dengan Sitti jumlahnya banyak di sekitar kita.
Keprihatinan-keprihatinan tersebut diperparah oleh kondisi penyakit bangsa yang sulit disembuhkan, seperti korupsi yang seperti kanker ganas merusak seluruh jaringan kehidupan bangsa ini. Dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (4/8/2010) Indonesia Corruption Watch memaparkan bahwa tren korupsi semester I, dari 1 Januari hingga 30 Juni 2010 meningkat dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun 2009. Keuangan daerah tercatat sebagai sektor yang paling rentan dikorupsi (KOMPAS, 5 Agustus 2010, hal. 1). Bahkan diberitakan bahwa dilihat dari jumlah kasusnya Provinsi Jawa Barat berada di urutan kedua sesudah Sumatra Utara (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2010, hal. 1).
Keprihatinan-keprihatinan yang berhadapan dengan kenyataan hidup bermasyarakat dan berbangsa bisa saja mengantar kita menuju titik tanpa harapan, ketika menemukan keredupan bahkan kegelapan yang mencekam. Kendati keprihatinan-keprihatinan tersebut, iman kita kepada Allah, yang adalah Gembala Sejarah Bangsa, tetap saja menjadi dasar bagi umat beriman untuk berharap akan masa depan yang lebih baik. Arah Dasar Keuskupan Bandung, 2010-2014 menegaskan, bahwa, “Dalam keberagaman etnik dan budaya, kita menegaskan diri 100 % Indonesia dan 100 % Katolik untuk membangun persaudaraan yang dijiwai semangat silih asih, silih asuh, dan silih asah dalam menumbuh-kembangkan nilai-nilai kristiniani agar meresap bagaikan garam, mengubah bagaikan ragi, dan menyinari bagai terang ke berbagai bidang kehidupan.”
Agustus Bulan Ajaran Sosial Gereja
Kehadiran kita sebagai orang beriman hendaknya selalu menjadi kehadiran yang membawa pengharapan dan suka cita. Untuk itulah kiranya, perlu selalu dirumuskan ulang kabar sukacita yang bersumber pada Injil Kerajaan Allah agar kabar sukacita itu tetapi relevan pada zaman kita. Ajaran Sosial Gereja, atau ASG, yang dimulai dengan Rerum Novarum tahun 1891 merupakan Injil yang diterapkan untuk situasi zaman yang selalu berubah karena hal-hal baru muncul. Hal-hal baru selalu muncul, baik pada tingkat global internasional, maupun pada tingkat lokal, dalam tanda-tanda zaman yang harus kita tangkap, kita kritisi, dan kita maknai dalam terang Injil. Agar dinamika aksi – refleksi – aksi secara berkesinambung terjadi itulah maka Agustus dijadikan Bulan Ajaran Sosial Gereja, sehingga peristiwa bangsa Indonesia, 17 Agustus, dapat dimaknai sebagai bagian dari sejarah keselamatan, ketika Allah kita akui bersama sebagai Gembala Sejarah Bangsa Indonesia juga.
Kita adalah pewaris-pewaris kemerdekaan yang mendapat mandat dari Tuhan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan hidup sebagai orang merdeka. Pada Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia ini ingin saya ulangi pesan santo Petrus, “Hiduplah sebagai orang merdeka !” (1 Ptr. 2 : 16). Sekali merdeka, tetap merdeka !
Dirgahayu Republik Indonesia !
Bandung, 5 Agustus 2010
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung
http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/236/SURAT_GEMBALA_HARI_RAYA_KEMERDEKAAN_REPUBLIK_INDONESIA_17_Agustus_2010