Hari Minggu Adven III/ Tahun B
MENJADI SAKSI DENGAN KERENDAHAN HATI
Renungan
Tak terasa, kita sudah memasuki Minggu Adven III. Lilin adven yang menyala bertambah, menjadi semakin terang. Terang yang melambangkan; persiapan kita menyambut kedatangan Tuhan dalam perayaan Natal semakin dekat. Terang yang semakin memperlihatkan sisi-sisi kehidupan kita semakin terlihat jelas di hadapan Tuhan. Terang yang mempertontonkan: “ini lho dirimu sejatinya di hadapan Tuhan”. Bila itu tersadari, betapa banyak sisi kehidupan kita yang terus menerus harus kita benahi. Ada dosa di sana. Ada kerapuhan yang hinggap. Ada kelemahan yang terus melekat. Semua mendesak untuk dibaharui. Semua mendesak untuk diteguhkan dan diberkati. Maka pertobatan dan pembaharuan diri tetaplah prioritas nomor wahid untuk mendekatkan diri pada Sang Terang sejati yang kita nantikan, yakni Yesus Kristus.
Pembaharuan diri macam apakah yang harus kita lakukan? Dalam Minggu Adven III ini, kita bisa belajar membaharui diri pada sosok Yohanes yang diutus Allah. Kita belajar pada sosok Yohanes, bahwa jalan untuk sampai pada Terang sejati adalah jalan kerendahan hati. Kerendahan hati inilah wujud nyata dari pembaharuan yang bisa kita lakukan. Santo Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang kepada Tuhan. Santo Agustinus bahkan mengatakan; pertama-tama, kerendahan hati, kedua; kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati; hanya untuk menekankan betapa pentingnya kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani. Kerendahan hati yang demikian ada dalam sosok Yohanes.
Yohanes adalah utusan Allah. Dia dipanggil Tuhan untuk memberikan kesaksian tentang, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya. Yohanes sendiri bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu. Dan inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem mengutus kepadanya beberapa imam dan orang-orang Lewi untuk menanyakan kepadanya, “siapakah engkau?” Yohanes mengaku dan tidak berdusta, katanya, ”Aku bukan Mesias!” lalu mereka bertanya kepadanya, “kalau begitu, siapakah engkau? Elia? Nabi yang akan datang? Yohanes menjawab dengan konsisten, “bukan!” ketika didesak untuk menjelaskan siapa dirinya, Yohanes mengatakan, “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: luruskanlah jalan bagi Tuhan, seperti yang telah dikatakan oleh nabi Yesaya”. Orang-orang Farisi yang ada di antara mereka juga bertanya kepada Yohanes, “Mengapa engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia dan bukan nabi yang akan datang?” Yohanes menjawab, “Aku membaptis dengan air, tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia yang datang kemudian daripada aku. Membuka tali kasutNya pun aku tidak layak.” (Yoh 1:6-8.19-28).
Sikap dan tindakan Yohanes sungguh sarat dengan kerendahan hati. Untuk sebuah popularitas diri, bisa saja ketika ditanya tentang dirinya, dia berbohong. Bisa saja, ketika ditanya, siapakah engkau, Yohanes menjawab, “Aku Mesias”. Dengan demikian orang akan berbondong-bondong datang kepadanya. Dia akan dipuji dan dihormati banyak orang karena mengatakan bahwa dirinya Mesias. Tapi semuanya itu tidak ia lakukan. Ia jujur mengatakan sebuah kebenaran tentang dirinya, bahwa dirinya bukanlah Mesias. Dia bukan Elia dan nabi yang akan datang. Dengan jujur dan lapang dada, ia bangga mengatakan, bahwa dirinya hanyalah suara yang berseru-seru di padang gurung; “Luruskanlah jalan Tuhan”. Puncak kerendahan hatinya terletak dalam sikapnya yang penuh keyakinan; bahwa berhadapan Dia yang akan datang, membuka tali kasutNyapun ia tidak layak. Kerendahan hati Yohanes, mengalir dari kesadarannya bahwa ia hanyalah seorang utusan. Utusan yang memiliki tanggungjawab memberi kesaksian tentang terang, tentang keselamatan. Justru sikap yang demikianlah yang menyebabkan Yohanes menjadi besar dengan perannya. Dia adalah sosok yang “happy to be number two” di tengah arus yang berjuang keras untuk “to be number one”.
Kalau mau jujur, kita hidup dalam situasi zaman yang mengedepankan persaingan, popularitas, kehebatan pribadi. Itu semua mengakibatkan munculnya sikap: mencari pujian, pamer kehebatan, merasa diri paling hebat, paling berjasa, paling dibutuhkan atau bahkan paling suci. Menganggap yang lain tidak berharga dibanding dirinya, menganggap yang lain tidak bermanfaat karena tak punya peran. Dengan kata lain, kita hidup dalam zaman yang kesombongan nyaris menjadi nafas hidup. Dalam semangat hidup yang demikian, kita dipanggil untuk memberi kesaksian bentuk hidup yang lain, yakni kerendahan hati.
Kerendahan hati dalam bahasa Latin disebut humilitas. Kata ini berasal dari kata humus, artinya: tanah. Kata ini mau mengatakan bahwa orang menjadi rendah hati kalau ia menyadari asal-usul dirinya. Ia hanyalah debu tanah yang kotor. Pengenalan diri yang sejati akan selalu membawa manusia kepada sikap memuliakan Tuhan, Pencipta-Nya. Allah yang Mahabesar telah sudi mengangkat manusia yang kecil, hina, dan kotor menjadi anak-anak-Nya sendiri. Dari kesadaran inilah mengalir sikap bakti dan pelayanan yang sejati dari orang-orang yang rendah hati. Jadi semangat kerendahan hati selalu disertai semangat pelayanan.
Kecuali itu, kerendahan hati sebagai sebuah sikap hidup sungguh selaras dengan apa yang kita nantikan. Dia yang kita nantikan adalah Allah yang mau menjelma menjadi manusia. Dia yang adalah Allah maha segalanya mau menjadi manusia yang lahir dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Kerendahan hati yang luar biasa dari pihak Allah, yang harus ditanggapi dengan kerendahan hati pula. Itulah pertobatan yang terus kita lakukan pada minggu adven III ini.
Namun, merupakan sebuah perjuangan yang besar untuk bisa rendah hati. Perjuangan besarnya terletak pada kemauan kita untuk berlatih rendah hati. Ibu Theresa menunjukkan jalan kerendahan hati sebagai latihan rohani. Jalan kerendahan hati tersebut adalah:
1. Berbicaralah sesedikit mungkin tentang diri sendiri
2. Uruslah sendiri persoalan pribadi Anda
3. Hindari rasa ingin tahu masalah orang lain
4. Janganlah mencampuri urusan orang lain
5. Terimalah pertentangan dengan kegembiraan
6. Janganlah memusatkan perhatian pada kesalahan orang lain
7. Terimalah hinaan dan caci maki
8. Terimalah perasaan tak diperhatikan, diperlakukan dan dipandang rendah
9. Mengalah terhadap kehendak orang lain
10. Terimalah celaan, walaupun Anda tidak layak menerimanya
11. Bersikap sopan dan peka sekalipun seseorang memancing amarah Anda
12. Janganlah mencoba agar dikagumi dan dicintai
13. Bersikaplah mengalah dalam perbedaan pendapat, walau pendapat Anda yang benar
14. Pilihlah selalu yang tersulit.
Sungguh sebuah latihan yang tidak mudah. Tapi, itulah jalan kerendahan hati yang sudah mendarah daging hidup dalam diri Ibu Theresa. Kita bisa belajar darinya. Semoga dengan jalan ini, kita menjadi sosok yang rendah hati. Dengan demikian, kita bisa menjadi saksi akan Terang yang segera kita rayakan kedatangan-Nya.
Salam dan berkat.
Pastor Antonius Purwono, SCJ