Moon, demikian dia dipanggil. Bukan tanpa sebab orang memanggilnya demikian. Ada tanda serupa bulan sabit yang melingkari matanya yang membuatnya dipanggil dengan nama itu.
Pemiliknya adalah wanita tua pemilik toko mainan di kota kecil itu. Mereka hanya tinggal berdua di ruang bagian belakang toko. Mereka saling memiliki dan saling menyayangi.
"Bagaimana aku harus melewatkan hari-hariku tanpa dirimu menemaniku Moon?" demikian wanita tua itu sering berkata.
Moon hanya mendengking pelan mendengarnya karena dia memang tak bisa berkata-kata. Namun jika dia bisa berbicara, kira-kira seperti inilah jawabannya, "Aku juga senang kaumiliki Bu."
Tetapi rupanya bukan hanya wanita tua itu yang disayangi Moon. Di salah satu sudut lemari pajang ada sebentuk kucing porselen berwarna ungu yang wajahnya berbentuk bintang bersudut empat sehingga membuat Moon menyebutnya Star. Moon menyayangi Star dan berharap suatu saat nanti Star boleh menjadi miliknya sendiri.
Sepanjang hari Moon duduk di samping pemiliknya melewatkan waktu dengan cemas kalau-kalau ada pembeli yang datang dan membawa pergi Star bersamanya (karena itu artinya dia tak akan dapat melihat Star lagi). Dan tiap sore saat wanita tua itu menutup toko, dia menghembuskan nafas lega saat melihat Star masih berada di tempatnya. Dia masih boleh, paling tidak untuk malam ini, mengucapkan selamat tidur dan selamat bermimpi kepada kucing porselen itu.
Natal menjelang. Moon tidak tahu apa itu Natal. Dia hanya tahu hari-hari ini pemiliknya lebih sibuk dari biasanya. Mainan-mainan baru tiba. Kertas perak berwarna-warni menghiasi toko. Stoples-stoples besar berisi gula-gula aneka rasa diletakkan di dekat meja pembayaran dan wanita tua itu akan memberi gula-gula kepada setiap anak yang mengunjungi dan berbelanja di tokonya. Dari dapur tercium aroma lezat kue jahe yang sedang dipanggang di perapian sementara di luar toko orang berlalu lalang di jalan membawa banyak bungkusan. Hanya inilah yang diketahuinya tentang Natal.
Karena banyaknya mainan baru yang tiba, lemari pajang tidak dapat menampung semua pendatang baru itu, maka wanita pemilik toko mainan itu memasang pohon Natal di dekat jendela dengan menggantung mainan-mainan yang tak tertampung di lemari pajang sebagai hiasannya.Bola dari kulit terbaik, tali loncat yang dihiasi rumbai-rumbai berwarna-warni, gasing yang suaranya bagaikan bernyanyi jika diputar, boneka ksatria dari timah, boneka-boneka berwajah lucu yang disukai anak-anak perempuan, dan boneka beruang yang berbulu lembut.
"Nah selesai sudah!" katanya setelah menggantung mainan terakhir pada pohon Natal itu, lalu lanjutnya, "Sekarang tinggal memasang boneka bidadari."
Boneka bidadari yang akan dipasang adalah boneka wanita bergaun putih. Rambutnya keemasan. Pipinya berseri-seri dan bibirnya mungil bagai kuncup mawar merah muda.
Wanita itu naik ke atas tangga kecil untuk memasang boneka itu di pucuk pohon, katanya kepada Moon, "Nenekku pernah bercerita kepadaku bahwa boneka yang dipasang di pucuk pohon Natal bagaikan ibu semua mainan yang akan memastikan bahwa tiap mainan akan dimiliki oleh mereka yang benar-benar menyayanginya."
Mendengar itu Moon diam-diam mengambil Star dari tempatnya dan menggantungnya pada pohon Natal. Dia yakin Star akan menjadi miliknya karena tak ada yang menyayangi Star seperti dia menyayanginya.
Anak-anak yang lewat di depan toko menempelkan wajah mereka di kaca jendela untuk menyaksikan pohon Natal yang digantungi berbagai macam mainan itu. Tak sabar rasanya menunggu waktu buka toko.
Wanita tua itu tersenyum menyaksikan wajah-wajah polos di jendela yang tengah mengagumi keindahan pohon Natal itu.
Pengunjung langsung berbondong-bondong mengunjungi toko untuk berbelanja ketika akhirnya wanita tua itu membuka tokonya. Selewat tengah hari hanya sedikit mainan yang masih tersisa yang tergantung pada pohon. Dan saat senja, ketika toko hampir tutup, hanya satu yang masih tergantung di tempatnya, Star. Moon semakin yakin bahwa Star akan menjadi miliknya.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di depan toko. Pengemudinya yang mengenakan seragam dengan kancing-kancing perak turun dan membukakan pintu belakang bagi penumpangnya.
Penumpangnya adalah seorang wanita gemuk yang berbusana indah dan mahal. Dia memasuki toko.
"Selamat datang," sambut wanita pemilik toko ramah.
Si pengunjung hanya menganggukkan kepalanya dan langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut toko.Dia tampak kecewa ketika melihat mainan-mainan baru sudah habis terjual. Namun tiba-tiba matanya menangkap ada satu mainan yang masih tergantung pada pohon Natal.
"Coba kulihat," ujarnya mendekati pohon.
Tangannya meraih Star.
"Lucu sekali kucing porselen ini. Aku akan membelinya untuk cucuku," katanya.
Moon yang menyaksikan itu langsung melolong dan menyalak padanya.
"Ada apa sih? Mengapa anjingmu ribut sekali? Benar-benar tidak menyenangkan."
Buru-buru si wanita pemilik toko mainan meminta maaf kepada si pengunjung, "Entahlah mengapa mendadak dia bersikap seaneh ini. Biasanya dia sangat ramah kepada para pengunjung. Ayo Moon, bersikaplah yang manis!"
Moon terus saja menyalaki wanita pengunjung itu sehingga akhirnya nyonyanya membawanya ke ruang belakang dan mengurungnya di sana.
Ketika akhirnya wanita tua itu membukakan pintu baginya, Moon langsung keluar. Dilihatnya wanita gemuk itu tak lagi berada di sana dan membawa Star bersamanya.
Moon segera berlari keluar toko. Mobil mewah itu sudah tak tampak lagi namun jejaknya di atas tanah bersalju terlihat jelas. Tanpa ragu atau menunda lagi Moon menelusurinya.
Cukup jauh juga dia berjalan, jejak itu membawanya ke sebuah rumah megah. Tampak mobil itu berhenti di halaman depan. Moon berlari mendekat.
Dari balik jendela besar di ruang keluarga Moon melihat wanita gemuk itu dan seorang anak laki-laki. Mungkin itu cucunya.
Wanita itu memberikan sebuah bingkisan kepada si anak laki-laki. Dengan wajah gembira si anak menerimanya dan dengan tak sabar segera dibukanya kertas pembungkusnya.
Melihat itu Moon hanya terdiam.
Mungkin aku salah, pikirnya, mungkin anak itu akan menyayangi Star lebih daripada aku menyayanginya. Jika begitu aku tak boleh mementingkan diri sendiri.
Moon terus memandangi mereka.
"Apa ini?" tanya si anak terheran-heran saat mengeluarkan isi bingkisan dari kotaknya.
"Itu adalah kucing porselen. Kau belum pernah melihat kucing khan? Ibumu tak mengizinkan binatang peliharaan di rumah ini. Aku membelinya untukmu agar kautahu bagaimana bentuk kucing," jawab neneknya.
"Dapatkah dia bergerak?" tanyanya lagi.
"Tentu saja tidak?"
"Dapatkah dia bersuara?"
'Tidak."
"Apakah dia dapat terbang?"
"Jangan bodoh! Tentu saja dia tak dapat berbuat apa-apa karena itu hanyalah kucing yang terbuat dari porselen."
"Kalau begitu mengapa Nenek membelinya?"
"Aku membelinya karena aku suka melihat wajahnya yang lucu."
Raut wajah anak itu berubah. Mula-mula kekecewaan membayang di wajahnya, namun segera berganti menjadi kemarahan.
"Aku tidak suka hadiah dari Nenek!" teriaknya.
Tangannya terayun dan sedetik kemudian kucing porselen itu pecah berkeping-keping di bawah kakinya.
Kengerian yang paling ngeri! Moon nyaris tak percaya menyaksikan semua yang terjadi di hadapannya.
Apa yang terjadi selanjutnya Moon tak dapat melihat lagi karena air matanya mengaburkan pandangannya. Dia melolong dan melolong. Sungguh memilukan mendengar lolongannya.
Kemudian dia melihat seorang pelayan menyapu lantai dan memasukkan pecahan-pecahan porselen dalam kotak wadahnya.
Pelayan itu membawa kotak itu tempat pembuangan sampah di luar dapur. Moon mengikutinya.
Ketika pelayan itu telah pergi, Moon memungut kotak itu dan berlalu pulang. Memang Star telah hancur. Namun Moon tak dapat membiarkan pecahan-pecahan tubuhnya terbuang begitu saja jauh dari rumah karena itu dia membawanya pulang.
Hari telah gelap saat Moon berjalan pulang. Salju mulai turun lagi, makin lama makin deras. Moon mencoba terus berjalan. Namun dia tak tahu arah lagi. Jalanan yang sepi membuat Moon tak mengenali jalan pulang.
Akhirnya karena kepayahan, Moon berhenti dan membaringkan dirinya di atas salju. Penat tubuhnya membuat matanya segera terpejam. Diapun tertidur di udara terbuka.
Tengah malam tiba. Sunyi. Tak ada yang telihat di jalan. Salju telah berhenti turun. Bintang-bintang gemerlapan tampak menghiasi langit yang hitam pekat. Cahaya utara berpendar-pendar dengan warna-warni yang lembut terpantul di salju pada pucuk-pucuk pinus yang tinggi menjulang.
Terdengar langkah-langkah lembut di atas salju. Seorang wanita bergaun putih dan berambut keemasan datang mendekat. Dia meraih kotak yang dibawa Moon dari tanah dan membawanya ke dadanya. Matanya terpejam. Sesaat bintang-bintang di atas sana seolah berpijar. Ketika dia membuka lagi sepasang matanya yang biru cerah, tersungging senyum di bibirnya menatap bintang-bintang yang seakan berkedip padanya. Wajahnya berseri. Dengan lembut diletakkannya lagi kotak itu di dekat Moon dan berlalu tanpa meninggalkan jejak.
Moon terbangun saat mendengar lonceng gereja bergema di udara dingin pada pagi hari Natal itu. Hari mulai terang. Kerlip bintang menghilang di balik cakrawala.
Sekarang segalanya menjadi lebih jelas bagi Moon. Dia kembali mengenali arah yang mesti ditempuhnya untuk pulang. Maka diapun bangkit dan melanjutkan kembali perjalanannya tanpa melupakan kotak yang dibawanya.
Kebaktian baru saja usai ketika Moon tiba. Jemaat berduyun-duyun keluar dari gereja dan saling mengucapkan selamat Natal kepada satu sama lain di jalan-jalan.
Wanita pemilik toko mainan itu baru kembali dari gereja ketika dia mendengar langkah-langkah kecil di belakangnya.
"Moon!" serunya terkejut campur gembira saat menoleh ke belakang dan mendapati Moon datang mendekat, "dari mana saja kau? Tak tahukah kau bahwa aku mencari dan mengkuatirkanmu semalaman? Ah, kau tampak kedinginan, cepatlah masuk! Aku akan menyalakan tungku pemanas agar kau dapat menghangatkan diri."
Moon masuk dan berbaring di dekat tungku pemanas. Dia meletakkan kotak yang dibawanya di dekatnya.
Setelah menyalakan tungku, wanita tua itu baru melihat kotak yang dibawa Moon.
"Apa ini?" tanyanya seraya meraih kotak itu dari lantai.
Moon memalingkan wajahnya, tak kuasa menyaksikan kepingan-kepingan tubuh Star dalam kotak.
"Purrr...." terdengar dengkur lembut dari dalam kotak.
Wanita tua itu membuka tutup kotak itu dan dari dalamnya keluarlah seekor kucing mungil yang bulunya keunguan dan wajah lucunya berbentuk bintang.
"Seekor kucing! Di mana kau menemukannya Moon? Lihatlah betapa lucunya dia! Tidakkah dia mirip kucing porselen yang kujual kepada pengunjung terakhir kemarin?"
Wanita tua itu membaringkan kucing itu di dekat Moon yang masih tak mempercayai keajaiban yang terjadi. Bukankah kotak yang dibawanya berisi pecahan-pecahan tubuh Star? Bagaimana mungkin sekarang Star, dan bukan Star yang terbuat dari porselen, melainkan Star yang hidup dan utuh kini keluar dari dalamnya?
Kucing itu menggosok-gosokkan tubuhnya pada tubuh Moon. Moon masih tertegun untuk beberapa saat, namun ketika dia merasakan tangan-tangan mungil kucing itu menyentuh tubuhnya dia yakin bahwa Star telah kembali dan kembali untuk menjadi kesayangannya sebagaimana yang dia harapkan selama ini.
Moon, Star, dan wanita tua itupun saling menyayangi dan hidup bahagia.
(Hansel)