| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |

CARI RENUNGAN

>

Natal Fajar 2012



Natal Fajar - 25 Desember 2012
Yes 62:11-12; Tit 3:4-7; Luk 2:15-20

Saudara-saudari yang terkasih,
Rangkaian tiga bacaan untuk Perayaan Ekaristi Natal pagi ini diawali dengan seruan, “Lihat, Penyelamatmu datang!” (Yes 62:11). Sang Penyelamat kita itu tidak datang dalam kemegahan dan kemewahan tetapi justru dalam kerapuhan dan kesederhanaan, yakni dalam rupa bayi kecil yang dibaringkan di atas palungan. Marilah kita simak sekali lagi kisah pasca kelahiran-Nya yang sarat makna, sebagaimana dicatat oleh penginjil Lukas (Luk 2:15-20)

Dikisahkan dalam bacaan Injil tadi malam, para gembala yang sedang menjaga kawanannya di padang, didatangi seorang malaikat Tuhan. Kepada mereka, melaikat itu mengatakan, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan” (Luk 2:10-12)

Setelah mendengar berita kelahiran penyelamat dunia, para gembala berkata seorang kepada yang lain, “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Lalu mereka cepat-cepat berangkat ke Betlehem dan mendapati Maria dan Yusuf serta Bayi yang terbaring di dalam palungan. Kekita melihat bayi itu, para gembala memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu” (Luk 2:15-17).

Ada tiga data penting dari kisah mengenai Bayi Yesus tersebut. Pertama, berdasarkan pemberitaan malaikat kepada para gembala (Luk 2:10-12) yang kemudian disampaikan juga oleh para gembala kepada Maria dan Yusuf (Luk 2:17), Sang Bayi itu adalah Juruselamat atau Penyelamat dunia. Kedua, Sang Bayi Penyelamat dunia itu dilahirkan di kota Daud, yakni Betlehem (Luk 2:4). Ketiga, setelah dilahirkan, Sang Bayi dibaringkan di atas palungan (Luk 2:6.12.16).

Apa makna ketiga data tersebut?
Yang pertama jelas berbicara mengenai pokok iman kita bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat kita seperti yang diwartakan dalam bacaan kedua. “Kita diselamatkan oleh Allah. Hal ini terjadi bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, melainkan karena rahmat-Nya berkat permandian kelahiran kembali dan berkat pembaruan yang dikerjakan Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan kepada kita lantaran Yesus Kristus, Juru Selamat kita” (Tit 3:5-6). Jadi, kita diselamatkan oleh Allah, bukan karena jasa-jasa kita. Keselamatan bukanlah upah tetapi anugerah. Anugerah keselamatan itu dilimpahkan kepada kita melalui Yesus Kristus yang kita imani melalui pembaptisan. Dialah yang diutus oleh Allah untuk menyelamatkan kita.

Yesus Kristus menyelamatkan kita dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib. Inilah yang setiap saat selalu kita kenangkan dalam Perayaan Ekaristi. Sebab, “Setiap kali kita makan roti ini dan minum dari piala ini, kita menyatakan iman kita.” (Anamnesis 4). Nah, dalam Perayaan Ekaristi itulah kita makan Tubuh Kristus, yakni rezeki surgawi yang menjadi jaminan keselamatan kita.

Lalu, apa hubungannya dengan kisah kelahiran Yesus di Betlehem (data kedua) dan palungan tempat Ia dibaringkan (data ketiga)?

Kata “Betlehem” yang bahasa Ibraninya adalah Bet léḥem berarti “Rumah Roti”. Maka, kalau Yesus dilahirkan di Betlehem, yang berarti Rumah Roti, hal ini berkaitan dengan pribadi Yesus sebagai Roti Hidup (Yoh 6:25-59). Yesus, Sang Roti Hidup itu, setelah dilahirkan di Rumah Roti (Betlehem) kemudian dibaringkan di atas palungan, yaitu tempat yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan ternak. Maka, kalau Yesus dibaringkan di palungan, seolah-olah Ia dijadikan sebagai makanan ternak. Ya memang, begitulah yang terjadi: Yesus menjadikan diri-Nya sebagai Roti Hidup untuk menjadi santapan bagi kita, domba-domba-Nya. Inilah yang kita rayakan dalam setiap Ekaristi, di mana Yesus menjadi Roti Hidup dan kemudian kita santap dalam komuni suci.

Saudara-saudari yang terkasih,
Untuk menarik benang merah dalam permenungan ini, baiklah kita memperhatikan ajakan para gembala, “Marilah kita pergi ke Betlehem ...” (Luk 2:15). Meskipun ajakan ini disampaikan di antara para gembala, namun karena pada hari ini kita mendengarkannya, maka kita pun diajak juga untuk pergi ke Betlehem. Untuk apa? Untuk berjumpa dengan Yesus. Maka, ajakan ini bukan merupakan ajakan untuk berziarah ke Berlehem di Palestina karena sekarang ini Yesus sudah tidak lagi dibaringkan di sana. Namun, kita diajak untuk pergi ke setiap tempat di mana kita akan berjumpa dengan Yesus. Di manakah tempat itu?

Berdasarkan urain (di atas) tadi, Betlehem berarti Rumah Roti. Maka, di sini kita menemukan padanan yang indah: Betlehem yang berarti Rumah Roti sepadan dengan Perayaan Ekaristi dan palungan tempat Yesus dibaringkan sepadan dengan altar di mana Roti Hidup disajikan. Dengan demikian, ajakan untuk pergi ke Betlehem merupakan ajakan untuk merayakan Ekaristi dengan lebih tekun dan setia. Sebab, dalam setiap Ekaristi itulah, Yesus hadir dan menyerahkan diri-Nya sebagai Roti Hidup untuk menjadi santapan bagi kita.

Namun, bacaan Injil juga memberi kesaksian bahwa di Betlehem itu para gembala berjumpa dengan Yesus dalam rupa bayi kecil yang sangat sederhana. Oleh karena itu, ajakan untuk pergi ke Betlehem berarti juga ajakan untuk mencari dan menemukan Yesus, terutama dalam diri saudara-saudari kita yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Jadi, Betlehem ini bisa ada di mana-mana dan wujudnya bisa bermacam-macam, namun intinya sama. Di situlah, Yesus menantikan kita untuk datang dan menyatakan empati kepada-Nya.

Kesimpulannya, warta sukacita Natal mengajak kita untuk:
Pertama, semakin tekun dan setia merayakan Ekaristi karena di situlah kita akan berjumpa dengan Yesus, Sang Roti hidup yang menjadi santapan bagi kita.
Kedua, pergi dan berempati kepada Yesus yang tampak dalam diri saudara-saudari kita yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Yesus sendiri telah bersabda, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).

Selamat Natal,
Tuhan memberkati!

Ag. Agus Widodo, Pr

Malam Natal 2012



Malam Natal - 25 Desember 2012
Yes 9:1-6; Tit 2:11-14; Luk 2:1-14

Saudara-saudari yang terkasih,
Tema Natal kita saat ini adalah “Allah telah mengasihi kita!” Betuuul? Setuju? Apakah Anda sungguh merasakan dan mengalami dikasihi oleh Allah? Kita tidak usah berpikir mengenai peristiwa-peristiwa besar dan fenomenal tetapi mari kita menyadari bahwa peristiwa-peristiwa kecil dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari itu merupakan wujud nyata kasih Allah. Setiap hari, saat kita tidur, makan, mandi, bekerja, menempuh perjalanan, dan melayani orang lain, kita dilindungi-Nya. Bahkan, saat kita sedang jengkel, emosi, dan marah pun, Tuhan melindungi. Setiap hari kita diberi sinar matahari, yang membuat kita mengalami terang sehingga bisa melihat. Berkat sinar matahari pula tanaman dan hewan bisa hidup sehingga selalu ada persediaan makanan bagi kita. Setiap saat, udara selalu disediakan bagi kita secara cuma-cuma sehingga kita bisa bernafas dan tetap hidup.

Pada saat kita menderita dan mengalami pengalaman pahit, apakah Allah tetap mengasihi kita? Jelas. Misalnya, melalui sakit yang kita derita, kita justru diberi kesempatan untuk beristirahat dan sungguh menyadari kerapuhan kita kemudian merendahkan diri di hadapan Tuhan seraya berserah diri dan mengandalkan Dia. Bukankah saat sakit, kita justru mengalami kasih yang berlebih dari orang-orang di sekitar kita? Seandainya saudara kita sakit cukup lama, sudah diupayakan berbagai macam pengobatan tetapi tidak kunjung sembuh, malah semakin memburuk dan akhirnya meninggal, di manakah kasih Allah? Justru di situlah Allah yang mengasihi saudara kita itu membebaskannya dari segala macam derita secara total dan sekaligus menganugerahi hidup baru di surga yang sudah tidak dapat lagi disentuh oleh derita?

Sekarang, seandainya kita berbuat dosa atau menjadi jahat, apakah Allah juga tetap mengasihi kita? Iya. Sebab, Allah adalah kasih (bdk. 1Yoh 4:8.16b). Tuhan “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45). Kalau kita tersesat seperti domba yang hilang, Ia akan mencari dan menemukan kita kemudian membawa dan menyatukan kita kembali dengan kawanan domba-Nya (Luk 15:1-7). Kalau kita meninggalkan Dia bagaikan anak yang hilang, Ia selalu mengharapkan kita kembali dan setia menunggu kita; dan ketika kita sudah kembali, Ia segera berlari mendapatkan kita dan merangkul serta memeluknya dengan penuh kasih (Luk 15:11-32).

Puncaknya, ketika kita berkubang dalam lumpur dosa dan tidak bisa bangkit sehinga nyaris binasa, Allah mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus, untuk menyelamatkan kita. Kita tahu bahwa “upah dosa adalah maut” (Rm 6:23). Maka, dengan berdosa, seharusnya kita dihukum dan dibinasakan – seperti Allah telah membinasakan umat-Nya yang berdosa dengan air bah (Kej 6-7). Namun, karena belas kasih Allah, hukuman itu tidak ditimpakan kepada kita tetapi ditanggung oleh Tuhan kita Yesus Kristus yang datang “untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Demikianlah, Allah telah “mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:16-17).

Saudara-saudari yang terkasih,
Perutusan Sang Putera untuk menyelamatkan kita itu diawali dengan misteri penjelmaan-Nya. Ia dikandung dan dilahirkan oleh Perawan Maria berkat kuasa Roh Kudus. Inilah yang kita kenangkan dan kita syukuri dalam perayaan Malam Natal ini. Kita merayakan peristiwa agung yang diwartakan oleh para malaikat, “Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:11). Melalui peristiwa kelahiran Yesus ini, “Sudah nyatalah kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia” (Tit 2:11).

Dialah: “Penasihat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai” (Yes 9:5). Yesus adalah penasihat ajaib karena Dia sungguh Allah dan sungguh manusia; melalui nasihat-nasihat-Nya Ia menuntun kita, umat manusia, untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah dan akhirnya bersatu dengan Allah. Dia juga Allah perkasa, yang dengan keperkasan-Nya akan mengalahkan musuh-musuh-Nya, yakni kuasa setan, dan “musuh yang terakhir yang dibinasakan ialah maut” (2Kor 15:26). Dengan mengalahkan kuasa setan dan membinasakan maut, Yesus menganugerahkan hidup kekal kepada kita sehingga Ia juga diberi gelar Bapa yang kekal. Dialah Raja Damai yang akan menganugerahkan damai sejahtera kepada kita, baik di surga maupun di bumi untuk selama-lamanya (Yes 9:6).

Saudara-saudara yang terkasih,
Melalui perayaan agung kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Sang Penyelamat dunia, kita diajak untuk merayakan dan mensyukuri kasih karunia Allah yang begitu besar kepada kita. “Kasih karunia itu mendidik kita untuk meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan agar kita hidup bijaksana, adil dan beribadat, di dunia sekarang ini, sambil menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia” (Tit 2:12-13), yaitu keselamatan yang abadi.

Dengan merayakan natal, kita merayakan dan masyukuri kasih Allah yang tiada tara. Maka, marilah kita juga belajar mengasihi sebagaimana Allah telah mengasihi kita dengan meninggalkan kefasikan, mengatur keinginan-keinginan duniawi, dan semakin mengupayakan hidup yang bijaksana, adil dan beribadat.

Ag. Agus Widodo, Pr

Natal - Misa Sore Menjelang Hari Raya



MISA SORE MENJELANG HARI RAYA NATAL
Yes 62:1-5; Kis 13:16-17.22-25; Mat 1:(1-17).18-25

Saudara-saudari terkasih,
Allah kita adalah Allah yang peduli, penuh perhatian dan solider terhadap kita, umat-Nya. Ia “tidak dapat berdiam diri dan ... tidak akan tinggal tenang, sampai kebenarannya bersinar seperti cahaya dan keselamatannya menyala seperti suluh” (Yes 62:1). Ia sendiri telah memperkenalkan namanya sebagai YHWH (Yahwe), lengkapnya “Ehyeh Ashyer Ehyeh” yang dalam Alkitab diterjemahkan sebagai “Aku adalah Aku” (Kel 3:14). Kata “Ehyeh” ini merupakan bentuk Imperfectum dari kata kerja “hayah” yang berarti: berada, menjadi dan bekerja (to be, to become dan to work). Maka, nama Yahwe menunjuk pada realitas bahwa Allah selalu hadir dan terlibat aktif dalam sejarah hidup dan pergulatan umat-Nya.

Perhatian dan solidaritas Allah terhadap umat-Nya ini, diuraikan dengan singkat, padat dan jelas oleh St. Paulus (Kis 13:16-17.22-25).  “Allah umat Israel telah memilih nenek moyang kita, dan membuat umat itu menjadi besar, ketika mereka tinggal di Mesir sebagai orang asing. Dengan tangan-Nya yang perkasa, Ia telah memimpin mereka keluar dari negeri itu” (ay.17). Kesaksian Paulus ini didasarkan pada Sabda Tuhan sendiri kepada Musa, “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir dan Aku telah mendengar seruan mereka ..., Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka dari negeri itu ke negeri yang baik ...” (Kel 3:7-8).

Dalam perjalan waktu selanjutnya, Allah selalu mengutus orang-orang pilihan-Nya untuk menyertai dan memimbing umat-Nya. Ia mengutus para hakim, para raja, dan para nabi, sampai akhirnya mengutus Anak-Nya sendiri. Inilah yang diungkapkan oleh panulis surat Ibrani, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibr 1:1-2). Perutusan Sang Putera, yakni Tuhan kita Yesus Kristus - yang kelahirannya kita rayakan, kita kenangkan dan kita syukuri pada Natal ini – merupakan puncak dari kasih dan perhatian Allah kepada kita. Dialah Juru Selamat bagi kita (bdk. Kis 13:23). “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat 1:21). Dialah “Immanuel, yang berarti Allah menyertai kita” (Mat 1:23).

Bacaan Injil tadi menegaskan bahwa kehadiran Yesus di dunia ini membutuhkan kesediaan manusia untuk menjadi sarana bagi kelahiran-Nya. Maka, Allah memilih Maria untuk mengandung dan melahirkan Yesus (Mat 1:18.20). Ia juga memilih Yusuf untuk mengambil Maria sebagai istrinya (Mat 1:20). Dengan demikian, melalui kesediaan Maria dan Yusuf untuk dipilih dan dipakai oleh Allah sebagai “orangtua” yang mengandung, melahirkan, mengasuh dan mempersiapkan Yesus, terlaksanalah karya keselamatan Allah.

Kehendak Allah untuk menyelamatkan umat manusia dengan menghadirkan Sang Juru Selamat di tengah-tengah dunia berlangsung selama-lamanya. Kalau 2000 tahun yang lalu, Allah memilih Maria (dan Yusuf) untuk menjadi sarana kehadiran Yesus, Sang Juru Selamat, pada zaman sekarang ini, Allah memanggil, memilih, dan mengutus kita untuk melakukan hal yang sama. Allah memanggil, memilih dan mengutus kita untuk menghadirkan Yesus, Sang Juru Selamat dunia. Maka, warta Natal ini mengajak kita untuk berusaha tekun dan setia menjadi tanda dan sarana kehadiran Yesus yang mengasihi dan mengampuni sehingga di mana-nama terciptalah damai sejahtera.

Ag. Agus Widodo, Pr

Minggu Adven IV/C – 23 Desember 2012



Minggu Adven IV/C – 23 Desember 2012

Mi 5:1-5a; Ibr 10:5-10; Luk 1:39-45



Saudara-saudari terkasih,

Hari ini, kita sudah memasuki Minggu Adven IV, Minggu terakhir bagi kita untuk persiapan Natal. Apalagi, Minggu Adven IV ini jatuh pada tanggal 23 Desember. Itu berarti, besuk sudah tanggal 24 Desember dan sore/malam harinya kita sudah akan merayakan Ekaristi Malam Natal. Pada persiapan akhir menjelang perayaan Natal ini, kita diajak untuk belajar dari tokoh-tokoh iman: Maria, Elisabeth, dan Yohanes Pembaptis.



Pertama, Bunda Maria. Maria, setelah menerima kadatangan Malaikat Gabriel bergegas mengunjungi Elisabet saudarananya (Luk 1:39). Jarak yang ditempuh paling sedikit 150 km di daerah perbukitan. Bayangkan, seorang gadis harus naik-turun perbukitan menempuh jarak sejauh itu, seorang diri lagi! Tentu, ada semangat yang luar biasa dalam diri Maria. Dari manakah datangnya semangat itu?



Tentu saja dari kunjungan Malaikat Gabriel yang membawa kabar gembira baginya. Baru saja, ia menerima kasih karunia Allah (Luk 1:28). Berkat kuasa Allah dan karunia Roh Kudus yang turun atasnya, ia dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus, Sang Anak Allah Yang Mahatinggi (Luk 1:30-35). Mungkin, ia tidak sepenuhnya memahami kehendak Allah atas dirinya itu. Namun, keterbukaan dan kepasrahannya untuk melaksanakan kehendak Allah menjadikan ia mempunyai semangat baru. Ia telah menerima warta gembira, maka dengan penuh semangat hendak berbagi kegembiraan kepada Elisabet, saudaranya. Dari sini, kita belajar bahwa warta gembira, berkat dan kasih karunia yang kita terima, tidak untuk kita simpan bagi diri kita sendiri tetapi untuk kita bagikan kepada sesama. Maka, marilah kita saling berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita.



Untuk berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, Maria harus mau berlelah-lelah, mengorbankan waktu dan tenaga, juga siap menghadapi resiko di perjalanan. Jarak 150 km kemungkinan hanya ditempuh dengan jalan kaki. Kalau kecepatan rata-rata 5 km/jam, paling tidak memakan waktu 30 jam (sehari semalam lebih). Pasti melelahkan dan berisiko, apalagi pada malam hari. Namun, ia berani menghadapi semua itu karena ia percaya penuh bahwa Tuhan selalu menyertainya (Luk 1:28). Maka, dalam berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, hendaknya kita juga berani berkorban, berani berjerih lelah, dan berani menghadapi risiko karena yakin bahwa Tuhan selalu menyertai kita.



Kedua, Elisabet. Sebagai tanggapan atas kehadiran Maria yang membawa sukacita dan berkat, Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus sehingga hatinya bersukacita dan mulutnya mengucapkan berkat (Luk 1:42). Dengan demikian, perjumpaan antara Maria dan Elisabet merupakan perjumpaan yang membuahkan sukacita dalam Roh Kudus. Juga merupakan perjumpaan yang saling berbagi berkat. Mari kita belajar dari Elisabet untuk menerima kehadiran setiap orang dengan penuh sukacita. Kalau kita selalu menerima kehadiran setiap orang – keluarga (suami/istri, anak, saudara/i), tetangga, rekan kerja, dll – dengan penuh sukacita, apa pun keadaan mereka, pasti perjumpaan-perjumpaan dan hidup bersama kita akan diwarnai sukacita. Dalam suasana itulah, kita tidak akan saling memaki dan mengutuk, mencaci dan membenci, tetapi saling memberkati, memuji, menghormati, dan menghargai.



Ketiga, Yohanes Pembaptis. Sewaktu Maria berkunjung ke rumah Elisabet, usia Yesus dalam rahimnya, baru beberapa waktu (Luk 1:39). Sementara itu, usia Yohanes di rahim Elisabet sudah 6 bulan lebih. Janin berusia 6 bulan sudah mampu mendengarkan suara-suara dari luar, dan mampu merasakan apa yang dirasakan oleh sang ibu. Artinya, Yohanes sudah bisa mendengarkan suara dari luar, yaitu percakapan Maria dan Elisabet yang saling berbagi salam dan berkat. Ia juga bisa ikut merasakan kegembiraan dan sukacita ibunya sehingga melonjak kegirangan (Luk 1:44). Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah, Yohanes melonjak kegirangan karena ia mampu menangkap kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan karena tersembunyi dalam rahim Maria. Maka, belajar dari Yohanes Pembaptis, kita pun diharapkan peka dan mampu menangkap/menyadari kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan dan tersembunyi dibalik berbagai macam peristiwa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami.



Saudara-saudari terkasih,

Besuk malam, kita sudah akan merayakan Natal. Marilah, pesan-pesan bacaan hari ini kita bawa dan kita satukan dengan sukacita Natal untuk kemudian kita wujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama, kita diundang untuk saling berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, sekalipun harus disertai pengorbanan, kelelahan dan berbagai macam risiko yang harus kita tanggung. Kita percaya bahwa Tuhan selalu menyertai kita. Kedua, kita diajak untuk berani menerima setiap orang dengan penuh sukacita, apa pun keadaan mereka. Dengan demikian, kehidupan bersama kita akan mengalami damai sejahtera karena tidak ada lagi saling memaki dan mengutuk, mencaci dan membenci, tetapi saling memberkati, memuji, menghormati, dan menghargai. Ketiga, kita diajak untuk semakin peka menyadari kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan dan tersembunyi dibalik berbagai macam peristiwa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami. Kalau Natal berarti “Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yakni Kristus Tuhan” (Luk 2:11), maka sebenarnya Yesus setiap hari hadir dalam kehidupan kita. Semoga, kita semakin peka untuk menyadari dan merasakannya. 



Ag. Agus Widodo, Pr

terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati

renunganpagi.id 2024 -

Privacy Policy