Berpeganglah pada ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya." (Ulangan 4:40)
| Home | Bacaan Harian | Support Renungan Pagi | Renungan Minggu Ini | Kisah Para Kudus | Katekese Iman Katolik | Privacy Policy |
| Meditasi Antonio Kardinal Bacci |
Lumen Christi | Facebook
| Gabung Saluran/Channel WhatsApp RenunganPagi.ID
CARI RENUNGAN
Natal Fajar 2012
Natal Fajar - 25
Desember 2012
Yes 62:11-12;
Tit 3:4-7; Luk 2:15-20
Saudara-saudari
yang terkasih,
Rangkaian
tiga bacaan untuk Perayaan Ekaristi Natal pagi ini diawali dengan seruan,
“Lihat, Penyelamatmu datang!” (Yes 62:11). Sang Penyelamat kita itu tidak datang
dalam kemegahan dan kemewahan tetapi justru dalam kerapuhan dan kesederhanaan,
yakni dalam rupa bayi kecil yang dibaringkan di atas palungan. Marilah kita
simak sekali lagi kisah pasca kelahiran-Nya yang sarat makna, sebagaimana
dicatat oleh penginjil Lukas (Luk 2:15-20)
Dikisahkan
dalam bacaan Injil tadi malam, para gembala yang sedang menjaga kawanannya di
padang, didatangi seorang malaikat Tuhan. Kepada mereka, melaikat itu
mengatakan, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kesukaan besar
untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus
Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang
bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan” (Luk 2:10-12)
Setelah
mendengar berita kelahiran penyelamat dunia, para gembala berkata seorang
kepada yang lain, “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang
terjadi di sana seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Lalu mereka
cepat-cepat berangkat ke Betlehem dan mendapati Maria dan Yusuf serta Bayi yang
terbaring di dalam palungan. Kekita melihat bayi itu, para gembala
memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu” (Luk
2:15-17).
Ada
tiga data penting dari kisah mengenai Bayi Yesus tersebut. Pertama, berdasarkan pemberitaan malaikat kepada para gembala (Luk
2:10-12) yang kemudian disampaikan juga oleh para gembala kepada Maria dan
Yusuf (Luk 2:17), Sang Bayi itu adalah Juruselamat atau Penyelamat dunia. Kedua, Sang Bayi Penyelamat dunia itu
dilahirkan di kota Daud, yakni Betlehem (Luk 2:4). Ketiga, setelah dilahirkan, Sang Bayi dibaringkan di atas palungan
(Luk 2:6.12.16).
Apa
makna ketiga data tersebut?
Yang
pertama jelas berbicara mengenai pokok iman kita bahwa Yesus Kristus adalah
penyelamat kita seperti yang diwartakan dalam bacaan kedua. “Kita diselamatkan
oleh Allah. Hal ini terjadi bukan karena perbuatan baik yang telah kita
lakukan, melainkan karena rahmat-Nya berkat permandian kelahiran kembali dan
berkat pembaruan yang dikerjakan Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan kepada kita
lantaran Yesus Kristus, Juru Selamat kita” (Tit 3:5-6). Jadi, kita diselamatkan
oleh Allah, bukan karena jasa-jasa kita. Keselamatan bukanlah upah tetapi anugerah.
Anugerah keselamatan itu dilimpahkan kepada kita melalui Yesus Kristus yang
kita imani melalui pembaptisan. Dialah yang diutus oleh Allah untuk
menyelamatkan kita.
Yesus
Kristus menyelamatkan kita dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib. Inilah yang
setiap saat selalu kita kenangkan dalam Perayaan Ekaristi. Sebab, “Setiap kali
kita makan roti ini dan minum dari piala ini, kita menyatakan iman kita.”
(Anamnesis 4). Nah, dalam Perayaan Ekaristi itulah kita makan Tubuh Kristus,
yakni rezeki surgawi yang menjadi jaminan keselamatan kita.
Lalu,
apa hubungannya dengan kisah kelahiran Yesus di Betlehem (data kedua) dan
palungan tempat Ia dibaringkan (data ketiga)?
Kata
“Betlehem” yang bahasa Ibraninya adalah Bet léḥem
berarti “Rumah Roti”. Maka, kalau Yesus dilahirkan di Betlehem, yang berarti
Rumah Roti, hal ini berkaitan dengan pribadi Yesus sebagai Roti Hidup (Yoh
6:25-59). Yesus, Sang Roti Hidup itu, setelah dilahirkan di Rumah Roti
(Betlehem) kemudian dibaringkan di atas palungan, yaitu tempat yang biasa
dipakai untuk meletakkan makanan ternak. Maka, kalau Yesus dibaringkan di
palungan, seolah-olah Ia dijadikan sebagai makanan ternak. Ya memang, begitulah
yang terjadi: Yesus menjadikan diri-Nya sebagai Roti Hidup untuk menjadi
santapan bagi kita, domba-domba-Nya. Inilah yang kita rayakan dalam setiap
Ekaristi, di mana Yesus menjadi Roti Hidup dan kemudian kita santap dalam
komuni suci.
Saudara-saudari
yang terkasih,
Untuk
menarik benang merah dalam permenungan ini, baiklah kita memperhatikan ajakan
para gembala, “Marilah kita pergi ke Betlehem ...” (Luk 2:15). Meskipun ajakan
ini disampaikan di antara para gembala, namun karena pada hari ini kita
mendengarkannya, maka kita pun diajak juga untuk pergi ke Betlehem. Untuk apa?
Untuk berjumpa dengan Yesus. Maka, ajakan ini bukan merupakan ajakan untuk
berziarah ke Berlehem di Palestina karena sekarang ini Yesus sudah tidak lagi
dibaringkan di sana. Namun, kita diajak untuk pergi ke setiap tempat di mana
kita akan berjumpa dengan Yesus. Di manakah tempat itu?
Berdasarkan
urain (di atas) tadi, Betlehem berarti Rumah Roti. Maka, di sini kita menemukan
padanan yang indah: Betlehem yang berarti Rumah Roti sepadan dengan Perayaan
Ekaristi dan palungan tempat Yesus dibaringkan sepadan dengan altar di mana
Roti Hidup disajikan. Dengan demikian, ajakan untuk pergi ke Betlehem merupakan
ajakan untuk merayakan Ekaristi dengan lebih tekun dan setia. Sebab, dalam
setiap Ekaristi itulah, Yesus hadir dan menyerahkan diri-Nya sebagai Roti Hidup
untuk menjadi santapan bagi kita.
Namun,
bacaan Injil juga memberi kesaksian bahwa di Betlehem itu para gembala berjumpa
dengan Yesus dalam rupa bayi kecil yang sangat sederhana. Oleh karena itu,
ajakan untuk pergi ke Betlehem berarti juga ajakan untuk mencari dan menemukan
Yesus, terutama dalam diri saudara-saudari kita yang kecil, lemah, miskin,
tersingkir dan difabel. Jadi, Betlehem ini bisa ada di mana-mana dan wujudnya
bisa bermacam-macam, namun intinya sama. Di situlah, Yesus menantikan kita
untuk datang dan menyatakan empati kepada-Nya.
Kesimpulannya,
warta sukacita Natal mengajak kita untuk:
Pertama, semakin tekun
dan setia merayakan Ekaristi karena di situlah kita akan berjumpa dengan Yesus,
Sang Roti hidup yang menjadi santapan bagi kita.
Kedua, pergi dan berempati kepada Yesus yang
tampak dalam diri saudara-saudari kita yang kecil, lemah, miskin, tersingkir
dan difabel. Yesus sendiri telah bersabda, “sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).
Selamat Natal,
Tuhan memberkati!
Ag. Agus Widodo, Pr
Malam Natal 2012
Malam Natal - 25
Desember 2012
Yes 9:1-6; Tit
2:11-14; Luk 2:1-14
Saudara-saudari
yang terkasih,
Tema Natal
kita saat ini adalah “Allah telah mengasihi kita!” Betuuul? Setuju? Apakah Anda
sungguh merasakan dan mengalami dikasihi oleh Allah? Kita tidak usah berpikir
mengenai peristiwa-peristiwa besar dan fenomenal tetapi mari kita menyadari
bahwa peristiwa-peristiwa kecil dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari itu
merupakan wujud nyata kasih Allah. Setiap hari, saat kita tidur, makan, mandi,
bekerja, menempuh perjalanan, dan melayani orang lain, kita dilindungi-Nya.
Bahkan, saat kita sedang jengkel, emosi, dan marah pun, Tuhan melindungi.
Setiap hari kita diberi sinar matahari, yang membuat kita mengalami terang
sehingga bisa melihat. Berkat sinar matahari pula tanaman dan hewan bisa hidup
sehingga selalu ada persediaan makanan bagi kita. Setiap saat, udara selalu
disediakan bagi kita secara cuma-cuma sehingga kita bisa bernafas dan tetap
hidup.
Pada saat
kita menderita dan mengalami pengalaman pahit, apakah Allah tetap mengasihi
kita? Jelas. Misalnya, melalui sakit yang kita derita, kita justru diberi
kesempatan untuk beristirahat dan sungguh menyadari kerapuhan kita kemudian
merendahkan diri di hadapan Tuhan seraya berserah diri dan mengandalkan Dia.
Bukankah saat sakit, kita justru mengalami kasih yang berlebih dari orang-orang
di sekitar kita? Seandainya saudara kita sakit cukup lama, sudah diupayakan
berbagai macam pengobatan tetapi tidak kunjung sembuh, malah semakin memburuk
dan akhirnya meninggal, di manakah kasih Allah? Justru di situlah Allah yang
mengasihi saudara kita itu membebaskannya dari segala macam derita secara total
dan sekaligus menganugerahi hidup baru di surga yang sudah tidak dapat lagi
disentuh oleh derita?
Sekarang,
seandainya kita berbuat dosa atau menjadi jahat, apakah Allah juga tetap
mengasihi kita? Iya. Sebab, Allah adalah kasih (bdk. 1Yoh 4:8.16b). Tuhan
“menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan
hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45). Kalau kita
tersesat seperti domba yang hilang, Ia akan mencari dan menemukan kita kemudian
membawa dan menyatukan kita kembali dengan kawanan domba-Nya (Luk 15:1-7).
Kalau kita meninggalkan Dia bagaikan anak yang hilang, Ia selalu mengharapkan
kita kembali dan setia menunggu kita; dan ketika kita sudah kembali, Ia segera
berlari mendapatkan kita dan merangkul serta memeluknya dengan penuh kasih (Luk
15:11-32).
Puncaknya,
ketika kita berkubang dalam lumpur dosa dan tidak bisa bangkit sehinga nyaris
binasa, Allah mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus, untuk menyelamatkan kita.
Kita tahu bahwa “upah dosa adalah maut” (Rm 6:23). Maka, dengan berdosa,
seharusnya kita dihukum dan dibinasakan – seperti Allah telah membinasakan
umat-Nya yang berdosa dengan air bah (Kej 6-7). Namun, karena belas kasih
Allah, hukuman itu tidak ditimpakan kepada kita tetapi ditanggung oleh Tuhan
kita Yesus Kristus yang datang “untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Demikianlah, Allah telah “mengutus
Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk
menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:16-17).
Saudara-saudari
yang terkasih,
Perutusan
Sang Putera untuk menyelamatkan kita itu diawali dengan misteri penjelmaan-Nya.
Ia dikandung dan dilahirkan oleh Perawan Maria berkat kuasa Roh Kudus. Inilah
yang kita kenangkan dan kita syukuri dalam perayaan Malam Natal ini. Kita
merayakan peristiwa agung yang diwartakan oleh para malaikat, “Hari ini telah
lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:11). Melalui
peristiwa kelahiran Yesus ini, “Sudah nyatalah kasih karunia Allah yang
menyelamatkan semua manusia” (Tit 2:11).
Dialah:
“Penasihat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai” (Yes 9:5). Yesus
adalah penasihat ajaib karena Dia sungguh Allah dan sungguh manusia; melalui
nasihat-nasihat-Nya Ia menuntun kita, umat manusia, untuk hidup sesuai dengan
kehendak Allah dan akhirnya bersatu dengan Allah. Dia juga Allah perkasa, yang
dengan keperkasan-Nya akan mengalahkan musuh-musuh-Nya, yakni kuasa setan, dan
“musuh yang terakhir yang dibinasakan ialah maut” (2Kor 15:26). Dengan
mengalahkan kuasa setan dan membinasakan maut, Yesus menganugerahkan hidup
kekal kepada kita sehingga Ia juga diberi gelar Bapa yang kekal. Dialah Raja
Damai yang akan menganugerahkan damai sejahtera kepada kita, baik di surga
maupun di bumi untuk selama-lamanya (Yes 9:6).
Saudara-saudara
yang terkasih,
Melalui
perayaan agung kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Sang Penyelamat dunia, kita
diajak untuk merayakan dan mensyukuri kasih karunia Allah yang begitu besar
kepada kita. “Kasih karunia itu mendidik kita untuk meninggalkan kefasikan dan
keinginan-keinginan duniawi dan agar kita hidup bijaksana, adil dan beribadat,
di dunia sekarang ini, sambil menantikan penggenapan pengharapan kita yang
penuh bahagia” (Tit 2:12-13), yaitu keselamatan yang abadi.
Dengan
merayakan natal, kita merayakan dan masyukuri kasih Allah yang tiada tara.
Maka, marilah kita juga belajar mengasihi sebagaimana Allah telah mengasihi
kita dengan meninggalkan kefasikan, mengatur keinginan-keinginan duniawi, dan
semakin mengupayakan hidup yang bijaksana, adil dan beribadat.
Ag. Agus Widodo, Pr
Natal - Misa Sore Menjelang Hari Raya
MISA SORE
MENJELANG HARI RAYA NATAL
Yes 62:1-5; Kis
13:16-17.22-25; Mat 1:(1-17).18-25
Saudara-saudari
terkasih,
Allah
kita adalah Allah yang peduli, penuh perhatian dan solider terhadap kita,
umat-Nya. Ia “tidak dapat berdiam diri dan ... tidak akan tinggal tenang,
sampai kebenarannya bersinar seperti cahaya dan keselamatannya menyala seperti
suluh” (Yes 62:1). Ia sendiri telah memperkenalkan namanya sebagai YHWH (Yahwe),
lengkapnya “Ehyeh Ashyer Ehyeh” yang dalam Alkitab diterjemahkan sebagai “Aku
adalah Aku” (Kel 3:14). Kata “Ehyeh” ini merupakan bentuk Imperfectum dari kata kerja “hayah” yang berarti: berada, menjadi
dan bekerja
(to be, to become dan to work). Maka, nama Yahwe menunjuk pada realitas
bahwa Allah selalu hadir dan terlibat aktif dalam sejarah hidup dan pergulatan
umat-Nya.
Perhatian
dan solidaritas Allah terhadap umat-Nya ini, diuraikan dengan singkat, padat
dan jelas oleh St. Paulus (Kis 13:16-17.22-25).
“Allah umat Israel telah memilih nenek moyang kita, dan membuat umat itu
menjadi besar, ketika mereka tinggal di Mesir sebagai orang asing. Dengan
tangan-Nya yang perkasa, Ia telah memimpin mereka keluar dari negeri itu”
(ay.17). Kesaksian Paulus ini didasarkan pada Sabda Tuhan sendiri kepada Musa, “Aku
telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir dan Aku
telah mendengar seruan mereka ..., Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu
Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun
mereka dari negeri itu ke negeri yang baik ...” (Kel 3:7-8).
Dalam
perjalan waktu selanjutnya, Allah selalu mengutus orang-orang pilihan-Nya untuk
menyertai dan memimbing umat-Nya. Ia mengutus para hakim, para raja, dan para
nabi, sampai akhirnya mengutus Anak-Nya sendiri. Inilah yang diungkapkan oleh
panulis surat Ibrani, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam
pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,
maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan
Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada”
(Ibr 1:1-2). Perutusan Sang Putera, yakni Tuhan kita Yesus Kristus - yang
kelahirannya kita rayakan, kita kenangkan dan kita syukuri pada Natal ini – merupakan
puncak dari kasih dan perhatian Allah kepada kita. Dialah Juru Selamat bagi
kita (bdk. Kis 13:23). “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”
(Mat 1:21). Dialah “Immanuel, yang berarti Allah menyertai kita” (Mat 1:23).
Bacaan
Injil tadi menegaskan bahwa kehadiran Yesus di dunia ini membutuhkan kesediaan
manusia untuk menjadi sarana bagi kelahiran-Nya. Maka, Allah memilih Maria
untuk mengandung dan melahirkan Yesus (Mat 1:18.20). Ia juga memilih Yusuf untuk
mengambil Maria sebagai istrinya (Mat 1:20). Dengan demikian, melalui kesediaan
Maria dan Yusuf untuk dipilih dan dipakai oleh Allah sebagai “orangtua” yang
mengandung, melahirkan, mengasuh dan mempersiapkan Yesus, terlaksanalah karya
keselamatan Allah.
Kehendak
Allah untuk menyelamatkan umat manusia dengan menghadirkan Sang Juru Selamat di
tengah-tengah dunia berlangsung selama-lamanya. Kalau 2000 tahun yang lalu,
Allah memilih Maria (dan Yusuf) untuk menjadi sarana kehadiran Yesus, Sang Juru
Selamat, pada zaman sekarang ini, Allah memanggil, memilih, dan mengutus kita
untuk melakukan hal yang sama. Allah memanggil, memilih dan mengutus kita untuk
menghadirkan Yesus, Sang Juru Selamat dunia. Maka, warta Natal ini mengajak
kita untuk berusaha tekun dan setia menjadi tanda dan sarana kehadiran Yesus
yang mengasihi dan mengampuni sehingga di mana-nama terciptalah damai
sejahtera.
Ag. Agus Widodo, Pr
Minggu Adven IV/C – 23 Desember 2012
Minggu Adven
IV/C – 23 Desember 2012
Mi 5:1-5a; Ibr
10:5-10; Luk 1:39-45
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini, kita sudah memasuki Minggu Adven IV, Minggu terakhir bagi kita untuk
persiapan Natal. Apalagi, Minggu Adven IV ini jatuh pada tanggal 23 Desember.
Itu berarti, besuk sudah tanggal 24 Desember dan sore/malam harinya kita sudah
akan merayakan Ekaristi Malam Natal. Pada persiapan akhir menjelang perayaan
Natal ini, kita diajak untuk belajar dari tokoh-tokoh iman: Maria, Elisabeth,
dan Yohanes Pembaptis.
Pertama, Bunda Maria. Maria,
setelah menerima kadatangan Malaikat Gabriel bergegas mengunjungi Elisabet saudarananya
(Luk 1:39). Jarak yang ditempuh paling sedikit 150 km di daerah perbukitan.
Bayangkan, seorang gadis harus naik-turun perbukitan menempuh jarak sejauh itu,
seorang diri lagi! Tentu, ada semangat yang luar biasa dalam diri Maria. Dari
manakah datangnya semangat itu?
Tentu
saja dari kunjungan Malaikat Gabriel yang membawa kabar gembira baginya. Baru
saja, ia menerima kasih karunia Allah (Luk 1:28). Berkat kuasa Allah dan karunia
Roh Kudus yang turun atasnya, ia dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus,
Sang Anak Allah Yang Mahatinggi (Luk 1:30-35). Mungkin, ia tidak sepenuhnya
memahami kehendak Allah atas dirinya itu. Namun, keterbukaan dan kepasrahannya
untuk melaksanakan kehendak Allah menjadikan ia mempunyai semangat baru. Ia
telah menerima warta gembira, maka dengan penuh semangat hendak berbagi
kegembiraan kepada Elisabet, saudaranya. Dari sini, kita belajar bahwa warta
gembira, berkat dan kasih karunia yang kita terima, tidak untuk kita simpan bagi
diri kita sendiri tetapi untuk kita bagikan kepada sesama. Maka, marilah kita
saling berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita.
Untuk
berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, Maria harus mau berlelah-lelah,
mengorbankan waktu dan tenaga, juga siap menghadapi resiko di perjalanan. Jarak
150 km kemungkinan hanya ditempuh dengan jalan kaki. Kalau kecepatan rata-rata
5 km/jam, paling tidak memakan waktu 30 jam (sehari semalam lebih). Pasti
melelahkan dan berisiko, apalagi pada malam hari. Namun, ia berani menghadapi
semua itu karena ia percaya penuh bahwa Tuhan selalu menyertainya (Luk 1:28). Maka,
dalam berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, hendaknya kita juga berani
berkorban, berani berjerih lelah, dan berani menghadapi risiko karena yakin
bahwa Tuhan selalu menyertai kita.
Kedua, Elisabet.
Sebagai tanggapan atas kehadiran Maria yang membawa sukacita dan berkat,
Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus sehingga hatinya bersukacita dan mulutnya mengucapkan
berkat (Luk 1:42). Dengan demikian, perjumpaan antara Maria dan Elisabet
merupakan perjumpaan yang membuahkan sukacita dalam Roh Kudus. Juga merupakan
perjumpaan yang saling berbagi berkat. Mari kita belajar dari Elisabet untuk
menerima kehadiran setiap orang dengan penuh sukacita. Kalau kita selalu
menerima kehadiran setiap orang – keluarga (suami/istri, anak, saudara/i),
tetangga, rekan kerja, dll – dengan penuh sukacita, apa pun keadaan mereka,
pasti perjumpaan-perjumpaan dan hidup bersama kita akan diwarnai sukacita.
Dalam suasana itulah, kita tidak akan saling memaki dan mengutuk, mencaci dan
membenci, tetapi saling memberkati, memuji, menghormati, dan menghargai.
Ketiga, Yohanes
Pembaptis. Sewaktu Maria berkunjung ke rumah Elisabet, usia Yesus dalam
rahimnya, baru beberapa waktu (Luk 1:39). Sementara itu, usia Yohanes di rahim
Elisabet sudah 6 bulan lebih. Janin berusia 6 bulan sudah mampu mendengarkan suara-suara dari luar, dan
mampu merasakan apa yang dirasakan oleh sang ibu. Artinya, Yohanes sudah bisa
mendengarkan suara dari luar, yaitu percakapan Maria dan Elisabet yang saling
berbagi salam dan berkat. Ia juga bisa ikut merasakan kegembiraan dan sukacita
ibunya sehingga melonjak kegirangan (Luk 1:44). Namun, yang lebih penting dari
semua itu adalah, Yohanes melonjak kegirangan karena ia mampu menangkap
kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan karena tersembunyi dalam rahim Maria. Maka,
belajar dari Yohanes Pembaptis, kita pun diharapkan peka dan mampu
menangkap/menyadari kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan dan tersembunyi
dibalik berbagai macam peristiwa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami.
Saudara-saudari
terkasih,
Besuk
malam, kita sudah akan merayakan Natal. Marilah, pesan-pesan bacaan hari ini
kita bawa dan kita satukan dengan sukacita Natal untuk kemudian kita wujudkan
dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama,
kita diundang untuk saling berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita,
sekalipun harus disertai pengorbanan, kelelahan dan berbagai macam risiko yang
harus kita tanggung. Kita percaya bahwa Tuhan selalu menyertai kita. Kedua, kita diajak untuk berani menerima
setiap orang dengan penuh sukacita, apa pun keadaan mereka. Dengan demikian,
kehidupan bersama kita akan mengalami damai sejahtera karena tidak ada lagi saling
memaki dan mengutuk, mencaci dan membenci, tetapi saling memberkati, memuji,
menghormati, dan menghargai. Ketiga,
kita diajak untuk semakin peka menyadari kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan dan tersembunyi
dibalik berbagai macam peristiwa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami.
Kalau Natal berarti “Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yakni Kristus
Tuhan” (Luk 2:11), maka sebenarnya Yesus setiap hari hadir dalam kehidupan
kita. Semoga, kita semakin peka untuk menyadari dan merasakannya.
Ag. Agus Widodo, Pr
Langganan:
Postingan (Atom)
terima kasih telah mengunjungi renunganpagi.id, jika Anda merasa diberkati dengan renungan ini, Anda dapat membantu kami dengan memberikan persembahan kasih. Donasi Anda dapat dikirimkan melalui QRIS klik link. Kami membutuhkan dukungan Anda untuk terus menghubungkan orang-orang dengan Kristus dan Gereja. Tuhan memberkati