“Saya mengumumkan tahun yang spesial ini dalam surat
Apostolik Porta Fidei (Pintu Kepada Iman), agar Gereja dapat
memperbaharui antusiasme dalam percaya kepada Yesus Kristus,
satu-satunya Penyelamat dunia, agar Gereja dapat membangkitkan sukacita
dalam berjalan di jalan yang telah Ia tunjukkan kepada kita, dan agar
Gereja dapat menjadi saksi yang nyata bagi kekuatan iman yang mengubah ”
– Paus Benediktus XVI
Semoga hal tersebut dapat semakin memperkaya dan menguatkan iman kita dalam Yesus Kristus!
Katekese Tahun Iman : Perkenalan
“Melalui wahyunya, Allah sesungguhnya mengkomunikasikan dirinya
kepada kita, menceritakan dirinya dan membuat diri-Nya terjangkau. Dan
kita dimampukan untuk mendengar Sabda-Nya dan menerima kebenaran-Nya.
Ini adalah keajaiban iman : Allah, dalam kasih-Nya, menciptakan didalam
kita – melalui tindakan Roh Kudus – kondisi yang pantas bagi kita untuk
mengenali Sabda-Nya. Allah sendiri, dalam hasrat-Nya untuk menunjukkan
diri-Nya, datang berhubungan dengan kita, menghadirkan diri-Nya didalam
sejarah kita, memampukan kita untuk mendengar dan menerimaDia. St.
Paulus mengungkapkan hal ini dengan sukacita dan syukur dalam kata-kata
berikut :”Dan kami juga berterima kasih secara terus menerus kepada
Allah karena hal ini, yaitu ketika kamu menerima Sabda Allah yang kamu
dengar dari kami, kamu menerimanya bukan sebagai perkataan manusia tapi
sebagai apa adanya, yaitu sabda Allah, yang bekerja di dalam engkau
orang beriman” (1 Thes 2 : 13)”
“Tapi dimana kami bisa menemukan rumusan iman yang esensial? Dimana
kami bisa menemukan kebenaran-kebenaran yang dengan setia telah
diteruskan kepada kami dan yang menjadi terang bagi kehidupan kami
sehari-hari? Jawabannya sederhana. Dalam syahadat, dalam Pengakuan Iman,
kita dihubungkan kembali dengan peristiwa asali Pribadi dan Sejarah
Yesus dari Nazareth; apa yang dikatakan rasul non yahudi kepada umat
Kristen di Korintus terjadi :”Pada tempat pertama, aku menyampaikan
kepadamu apa yang telah kuterima sendiri, bahwa Kristus wafat bagi
dosa-dosa kita seperti yang dikatakan Kitab Suci, bahwa Ia dikubur, dan
Ia dibangkitkan pada hari ketiga sesuai dengan kitab suci” (1 Kor 15 :
3-5)”
“Sekarang juga syahadat perlu diketahui dengan lebih baik, dipahami
dan didoakan. Penting sekali bahwa syahadat harus “dikenali”. Memang,
mengetahui merupakan semata-mata kerja intelek, sementara “mengenali”
berarti perlunya menemukan ikatan yang mendalam diantara kebenaran yang
kita akui dalam Syahadat dan keberadaan sehari-hari, agar
kebenaran-kebenaran ini dapat sungguh dan menjadi … terang bagi
langkah-langkah kita melalui kehidupan, air yang mengairi kekeringan
yang membentang di jalan kita, kehidupan yang menjadi lebih baik dari
area-area kehidupan yang kering sekarang ini.”
“Orang Kristen sering tidak mengetahui inti iman katolik mereka,
Syahadat, karenanya mereka memberikan ruang bagi sinkretisme dan
relativisme religius tertentu, mengaburkan kebenaran untuk beriman juga
keunikan keselamatan Kekristenan. Resiko membuat-buat agama “lakukan
bagi dirimu sendiri” tidak begitu jauh sekarang ini. Kita harus kembali
kepada Allah, kepada Allah Yesus Kristus, kita harus menemukan kembali
pesan injil dan menjadikannya suara hati dan kehidupan sehari-hari kita
lebih mendalam.”
Katekese Tahun Iman : Apakah Iman itu?
“Kita tidak hanya memerlukan roti, kita memerlukan cinta, makna dan
harapan, fondasi yang kokoh, tanah yang kuat yang membantu kita
menghidupi dengan makna autentik bahkan di masa-masa krisis, dalam
kegelapan, dalam kesulitan, dan dalam masalah sehari-hari. Iman
memberikan kita hal ini : iman adalah penyerahan yang yakin kepada
“Engkau”, yang adalah Allah, yang memberikan aku kepastian yang berbeda,
tapi tidak kurang kokoh daripada sesuatu yang berasal dari kalkulasi
atau ilmu pengetahuan. Iman bukan semata-mata persetujuan intelektual
tentang Allah, iman adalah tindakan yang dengannya aku mempercayakan
diriku dengan bebas kepada Allah yang adalah bapa dan yang mencintai
aku; iman adalah ketaatan kepada “Engkau” yang memberikanku harapan dan
kepercayaan.”
“Iman berarti percaya dalam cinta Allah yang tidak pernah berkurang
dalam menghadapi kejahatan manusia, dalam menghadapi keburukan dan
kematian, tapi iman sanggup mengubah setiap jenis perbudakan, memberikan
kita kemungkinan keselamatan. Memiliki iman, berarti bertemu dengan
“Engkau” yang ini, Allah, yang mendukung dan memberikan aku janji akan
kasih yang tak terhancurkan yang tidak hanya mengaspirasi kepada
kekekalan tapi memberikannya; beriman berarti mempercayakan diriku
kepada Allah dengan sikap seorang anak, yang tahu dengan baik segala
kesulitannya, semua permasalahannya dipahami dalam ke-Engkau-an dari
ibunya.”
“Percaya dalam tindakan Roh Kudus harus selalu mendorong kita untuk
pergi dan mewartakan Injil, menjadi saksi iman yang berani; tapi,
selain dari kemungkinan adanya tanggapan positif terhadap karunia iman,
juga ada kemungkinan penolakan terhadap Injil, kemungkinan untuk tidak
menerima pertemuan penting dengan Kristus. St. Augustinus sudah
menyatakan masalah ini dalam salah satu komentarnya terhadap perumpamaan
Penabur. “Kita berbicara”, ia berkata, “kita menebar benih, kita
menaburkan benih. Ada orang yang mengejek kita, mereka yang
mengolok-olok kita, mereka yang mencemoohkan kita. Bila kita takut pada
mereka kita tidak memiliki apapun untuk ditabur dan pada hari panen kita
tidak akan menuai hasil panen. Karenanya semoga benih didalam tanah
yang baik dapat bertumbuh” (Discourse on Christian Discipline,
13,14: PL 40, 677-678). Penolakan, karenanya tidak dapat melemahkan
kita. Sebagai orang Kristen, kita adalah bukti dari tanah yang subur
ini. Iman kita, bahkan dengan kelemahan-kelemahan kita, menunjukkan
bahwa ada tanah yang baik, dimana benih Sabda Allah menghasilkan buah
keadilan, kedamaian, cinta, kemanusiaan dan keselamatan yang melimpah.
Dan seluruh sejarah Gereja, dengan semua persoalannya, juga menunjukkan
bahwa ada tanah yang baik, bahwa ada benih yang baik dan benih tersebut
menghasilkan buah.”
“Percaya berarti mempercayakan diri sendiri dalam kebebasan yang
penuh dan dengan suka cita kepada rencana penyelenggaraan Allah bagi
sejarah, seperti Bapa Abraham, seperti Maria dari Nazareth. Iman,
karenanya, adalah persetujuan yang dengan pikiran dan hati kita
mengucapkan “Ya” mereka kepada Allah, mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan.
Dan “Ya” ini mengubah kehidupan, menyingkapkan jalan kepada kepenuhan
makna, dan menjadikannya baru, kaya dalam sukacita dan pengharapan yang
dapat dipercaya.“
Katekese Tahun Iman : Iman Personal dan Iman Gereja
“Apakah iman hanya memiliki hakekat yang personal atau individual?
Apakah iman hanya mempedulikan diriku sendiri? Apakah aku menghidupi
imanku saja? Tentu, tindakan iman adalah tindakan yang sangat personal;
ia terjadi di bagian paling dalam dari diri kita dan menandakan
perubahan melalui pertobatan personal. Hidupku lah yang berubah, yang
diberikan arah yang baru. Dalam ritus baptisan, pada saat pengucapan
janji baptis, selebran bertanya demi sebuah pengakuan iman katolik dan
merumuskan tiga pertanyaan : Apakah kamu percaya pada Allah Bapa yang
Maha kuasa? Apakah kamu percaya pada Yesus Kristus Putra Tunggal-Nya?
Apakah kamu percaya pada Roh Kudus? Pada masa kuno tiga pertanyaan ini
ditujukan kepada orang yang akan menerima baptisan sebelum dicelupkan
tiga kali ke dalam air. Dan sekarang, jawabannya tetap satu dan sama :
“Aku percaya”. Tapi iman milikku ini bukan hasil dari refleksiku
sendiri, iman milikku ini bukan hasil dari pemikiranku, melainkan adalah
buah sebuah hubungan, sebuah dialog, dimana ada pendengar, penerima dan
orang yang memberikan jawaban, iman milikku ini adalah komunikasi
bersama Yesus yang menarikku keluar dari “Aku”yang mengisi didalam
diriku untuk terbuka pada kasih Allah, Bapa.”
“Aku tidak bisa membangun iman pribadiku dalam dialog pribadi
bersama Yesus, karena iman diberikan kepadaku oleh Allah melalui
komunitas umat beriman yang adalah Gereja dan melemparkan aku ke dalam
sekumpulan orang beriman, ke dalam sebuah persekutuan yang tidak hanya
bersifat sosiologis tapi juga berakar dalam kasih Allah yang kekal yang
ada dalam diri-Nya persekutuan Bapa, Putra dan Roh Kudus, yang adalah
Kasih Trinitarian. Iman kita sungguh personal, hanya bila ia juga
komunal : ia bisa menjadi imanku saja bila ia berdiam didalamnya dan
bergerak bersama “Kami” nya Gereja, hanya ini adalah iman kita, iman
bersama dari Satu Gereja.”
““Tidak seorangpun memiliki Allah sebagai Bapa-Nya, bila ia tidak
memiliki Gereja sebagai Ibu-Nya” (St. Cyprian) (no 181). Karenanya, iman
lahir didalam Gereja, menuntun kepada Gereja dan hidup di dalamnya. Ini
penting untuk diingat.”
“Gereja, karenanya, sejak awal mula adalah tempat bagi iman, tempat
bagi penyampaian iman, tempat dimana, melalui baptisan, kita dicelupkan
ke dalam Misteri Paskah Kematian dan Kebangkitan Kristus, yang
membebaskan ktia dari perbudakan dosa, memberi kita kebebasan sebagai
anak dan memperkenalkan kita kepada persekutuan dengan Allah Tritungal.
Pada saat yang sama, kita dicelupkan juga ke dalam persekutuan berasam
saudara saudari dalam iman, bersama seluruh Tubuh Kristus, dibawa keluar
dari isolasi kita.”
“Ada rantai yang tak terputus dalam kehidupan gereja, dalam
proklamasi Sabda Allah, dari perayaan Sakramen-sakramen, yang telah
turun kepada kita dan yang kita sebut Tradisi. Tradisi memberikan kita
jaminan bahwa apa yang kita percaya adalah pesan asli Kristus, yang
dikotbahkan oleh Para Rasul.”
“Seorang Kristen yang membiarkan dirinya dibimbing dan dibentuk
secara bertahap oleh iman Gereja, walaupun ia memiliki kelemahan,
keterbatasan, dan kesulitannya, ia menjadi seperti jendela yang terbuka
kepada terang Allah yang hidup, menerima terang ini dan menyebarkannya
kepada dunia”
Katekese Tahun Iman : Kerinduan akan Allah
Perjalanan refleksi yang kita lakukan bersama pada tahun iman ini
membawa kita untuk meditasi terhadap aspek yang mengagumkan dari
pengalaman manusia dan pengalaman Kristiani : Manusia membawa didalam
dirinya kerinduan yang misterius akan Allah…Kerinduan akan Allah sudah
terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan
untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya.
Hanya dalam Allah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang
dicarinya terus-menerus (KGK No 27).
Hasrat atau kerinduan manusia selalu cenderung bergerak ke arah
harta yang berwujud, yang seringkali jauh dari hal yang rohani, dan
karenanya masih dihadapkan pada pertanyaan apa yang sungguh baik, dan
sebagai akibat dari konfrontasi dirinya sendiri dengan sesuatu yang lain
dari dirinya, sesuatu yang tidak bisa diciptakan manusia, tetapi
manusia dipanggil kepadanya untuk mengenalinya. Apa yang sungguh dapat
memuaskan hasrat manusia?
Bila apa yang aku alami bukan ilusi semata, bila aku sungguh
menginginkan kebaikan orang lain sebagai jalan menuju kebaikanku, maka
aku harus rela mendesentralisasi diriku, menempatkan diriku demi
pelayanan orang lain sampai pada titik penyerahan diriku.
Manusia, mengetahui apa yang tidak dapat memuaskan [hasratnya],
tapi tidak bisa membayangkan atau mendefinisikan sesuatu yang membuat ia
mengalami kebahagiaan yang dirindukan oleh hatinya. Seseorang tidak
bisa mengetahui Allah, mulai secara sederhana dengan kerinduan manusia.
Dari sudut pandang ini misteri tetap ada : manusia mencari yang
Absolut, dalam langkah yang kecil dan tidak pasti. Dan pengalaman akan
kerinduan, “hati yang gelisah”, seperti yang dikatakan St. Augustinus,
sangatlah penting. Ini membuktikan bahwa manusia, jauh di lubuh hatinya,
adalah makhluk yang religius (cf. Catechism of the Catholic Church,
28), pengemis dihadapan Allah…Mata mengenali objek ketika objek tersebut
diterangi oleh terang. Karenanya hasrat untuk mengenal terang itu
sendiri, yang membuat hal-hal duniawi bersinar dan karenanya menerangi
kesadaran akan keindahan.
Kita tidak seharusnya melupakan dinamisme hasrat yang selalu
terbuka kepada penebusan. Bahkan ketika hasrat [atau kerinduan]
mengambil jalan yang salah, mengejar surga yang dangkal dan tampak
kehilangan kemampuan untuk merindukan kebaikan yang sejati. Bahkan di
dalam lembah dosa percikan api [kerinduan] tersebut masih hidup di dalam
hati manusia yang memampukan manusia untuk mengenali kebaikan yang
sejati, untuk merasakannya, dan memulai kembali pendakian ke atas,
dimana Allah, dengan karunia rahmat-Nya, tidak pernah gagal menolong
manusia.
Semua orang perlu menginjak jalan pemurnian dan penyembuhan hasrat.
Kita adalah peziarah di jalan menuju kampung halaman surgawi, menuju
kepada kepenuhan, kebaikan yang kekal, yang tidak ada apapun yang dapat
mengambilnya dari kita. Ini bukan persoalan tentang menyesakkan hasrat
yang ada dalam hati manusia, tapi ini adalah tentang membebaskannya,
agar ia dapat mencapai ketinggiannya yang sebenarnya. Ketika hasrat
terbuka bagi Allah, ini sudah merupakan tanda kehadiran iman di dalam
jiwa, iman yang adalah rahmat Allah
Katekese Tahun Iman : Jalan Setapak Menuju Allah : Dunia, Manusia, dan Iman
Bahwa Inisiatif Allah selalu mendahului tiap tindakan manusia,
bahkan dalam perjalanan menuju kepada-Nya, adalah Ia yang pertama kali
menerangi kita, membimbing dan menuntun kita, selalu menghargai
kebebasan kita. Dan Ia selalu mengijinkan kita masuk ke dalam
keintiman-Nya, menyatakan dan menghadiahi dirinya bagi kita rahmat untuk
sanggup menyambut pewahyuan dalam iman. Jangan pernah melupakan
pengalaman St. Augustinus : bukan kita yang mencari atau memiliki
kebenaran, tapi Kebenaran lah yang mencari dan memiliki kita.
Kesulitan dan pencobaan masa sekarang tidaklah kurang bagi
iman,yang seringkali dipahami secara dangkal, ditantang, atau ditolak.
“Selalu siap sedialah untuk menanggapi, tapi dengan kelembutan dan rasa
hormat, kepada siapapun yang menanyakan harapan yang ada di dalam
hatimu” (1 Pet 3 : 15). Di masa lalu, di Barat, dalam masyarakat yang
dianggap Kristen, iman adalah lingkungan dimana kita bergerak, petunjuk
dan kepatuhan kepada Allah, bagi sebagian besar orang merupakan bagian
kehidupan sehari-hari. Mereka yang tidak percaya lah yang harus
membenarkan ketidakpercayaan mereka. Di dunia kita, situasi telah
berubah, dan secara meningkat, orang percaya harus sanggup memberikan
alasan bagi imannya.
Pada waktu kita sekarang terdapat fenomena yang berbahaya bagi
iman; ada fakta sebuah bentuk ateisme yang kita definisikan sebagai
“praktis” yang tidak menolak kebenaran-kebenaran iman atau ibadah-ibadah
religius tetapi dengan mudah menganggap itu semua tidak relevan dengan
kehidupan sehari-hari, terlepas dari hidup, tidak berguna. Seringkali,
kemudian, orang-orang percaya kepada Allah dengan cara yang mudah,
tetapi hidup “seolah-olah Allah tidak ada” (etsi Deus non daretur). Pada
akhirnya, cara hidup seperti ini lebih menghancurkan karena membawa
kepada sikap acuh tak acuh terhadap iman dan pertanyaan mengenai Allah.
Jawaban apa yang harus iman berikan dengan lemah “lembut dan rasa
hormat” kepada ateisme, skeptisisme, dan keacuhan terhadap dimensi
vertikal, agar manusia jaman sekarang dapat terus menanyakan tentang
eksistensi Allah dan berjalan sepanjang jalan yang menuntun kepada-Nya?
Aku akan menyebutkan beberapa jalan, yang dihasilkan dari refleksi
alamiah dan kekuatan iman. Aku akan dengan singkat merangkumnya dalam
tiga kata : dunia, manusia, dan iman.
Pertama : Dunia. St Augustinus, yang dalam hidupnya begitu lama
mencari Kebenaran dan ditangkap oleh Kebenaran, memiliki halaman yang
indah dan terkenal, dimana ia menegaskan : “Tanyalah akan keindahan
bumi, tanyalah akan keindahan laut…tanyakan keindahan langit…tanyakan
semua realita ini. Semua menjawab : Lihat, kami begitu indah” Keindahan
mereka adalah sebuah pengakuan. Keindahan mereka tunduk pada perubahan.
Siapa yang menciptakan mereka jika bukan Ia yang Indah yang tidak tunduk
pada perubahan?” “(Sermo 241, 2: PL 38, 1134). Aku pikir kita perlu
memulihkan dan mengembalikan kemampuan untuk mengkontemplasikan ciptaan,
keindahannya, strukturnya. Dunia bukanlah magma tak berbentuk, tapi
semakin kita mengetahuinya, semakin kita menemukan mekanisme yang luar
biasa, semakin kita melihat sebuah pola, kita melihat bahwa terdapat
inteligensi kreatif.
Kata kedua : Manusia. Lagi St Augustinus memiliki kutipan yang
terkenal yang mengatakan bahwa Allah lebih dekat kepadaku daripada aku
kepada diriku sendiri (cf. Confessions, III, 6, 11). Dari sini ia
merumuskan sebuah undangan : “Jangan pergi keluar dari dirimu,
kembalilah kedalam dirimu : kebenaran berdiam di hati manusia” (True
Religion, 39, 72). Ini merupakan aspek lain yang beresiko untuk hilang
di dalam dunia yang berisik dan membingungkan dimana kita tinggal :
Kemampuan untuk berhenti dan mengambil pandangan mendalam ke dalam diri
kita dan membaca bahwa rasa haus bagi yang tak terbatas yang kita bawa
didalam diri kita, mendorong kita untuk pergi lebih jauh dan menuju
Seseorang yang dapat memuaskan rasa haus tersebut.
Kata ketiga : Iman. Khususnya dalam realita masa sekarang, kita
tidak boleh lupa bahwa sebuah jalan kepada pengetahuan dan pertemuan
dengan Allah adalah kehidupan iman. Ia yang percaya disatukan dengan
Allah, terbuka bagi rahmat-Nya, terbuka pada kekuatan kasih. Jadi
keberadannya menjadi saksi bukan demi dirinya sendiri, tapi demi Kristus
yang bangkit, dan imannya tidak takut menunjukkan dirinya dalam
kehidupan sehari-hari, imannya terbuka kepada dialog yang mengungkapkan
persahabatan mendalam untuk perjalanan setiap manusia, dan mengetahui
bagaimana membawa terang harapan kepada kebutuhan akan penebusan,
kebahagiaan dan masa depan. Iman, faktanya, adalah pertemuan dengan
Allah yang berbicara dan bertindak dalam sejarah dan yang mengubah
kehidupan sehari-hari kita, mengubah mentalitas kita, sistem nilai,
pilihan dan tindakan. Iman bukan ilusi, pelarian diri, perlindungan yang
nyaman, sentimentalitas, tapi keterlibatan dalam setiap aspek kehidupan
dan proklamasi Injil, Kabar Baik yang dapat membebaskan semua manusia.
Katekese Tahun Iman : Rasionalitas Iman
Iman diungkapkan dalam hadiah diri bagi orang lain, dalam
persaudaraan yang menciptakan solidaritas, kemampuan untuk mencintai,
mengatasi kesendirian yang membawa kesedihan..cinta kepada Allah,
terlebih, membuat kita melihat, membuka mata kita, memampukan kita
mengetahui seluruh realitas, yang menambahkan kepada pandangan sempit
terhadap individualisme dan subjektivisme yang membingungkan suara hati.
Tradisi katolik, menolak apa yang disebut “fideisme”, yang merupakan hasrat untuk percaya yang melawan akal budi. Credo quia absurdum (Saya
percaya karena hal itu absurd) bukanlah rumusan yang menafsirkan iman
katolik. Allah tidaklah absurd, Ia adalah sebuah misteri. Misteri, pada
gilirannya, tidaklah irasional tapi merupakan keberlimpahan indra,
makna, dan kebenaran. Bila melihat kepada misteri, nalar melihat
kegelapan, bukan karena tidak ada terang dalam misteri, tapi karena
terlalu banyak terang di dalamnya.
St. Augustinus, sebelum pertobatannya mencari kebenaran dengan
kegelisahan yang besar melalui semua filosofi yang ia miliki, dan
menemukan bahwa semuanya tidak dapat memuaskannya. Tuntutannya,
pencarian yang rasional, adalah pedagogi bermakna baginya untuk bertemu
dengan kebenaran Kristus. Ketika ia berkata :”Aku percaya supaya aku
mengerti ,dan aku mengerti agar aku percaya lebih baik” (Discourse 43, 9: PL 38, 258), seolah-olah
ia sedang menceritakan kembali pengalaman hidupnya. Intelek dan iman
tidaklah asing atau berlawanan terhadap Wahyu ilahi melainkan keduanya
adalah syarat bagi pemahaman maknanya, bagi penerimaan pesan
autentiknya, bagi pendekatan terhadap ambang batas misteri. St.
Augustinus, bersama dengan pengarang Kristen lainnya, adalah saksi iman
yang dipraktekkan dengan nalar, yang berpikir dan mengundang pikiran.
Iman katolik karenanya rasional dan mendorong kepercayaan dalam
akal budi manusia. Konsili Vatikan Pertama, dalam Konstitusi Dogmatik Dei Filius, berkata
bahwa nalar mampu mengetahui dengan kepastian, bahwa Allah itu ada
melalui ciptaan, dimana kemungkinan untuk mengetahui “dengan mudah,
dengan kepastian utuh dan tanpa kesalahan” (DS 3005) kebenaran-kebenaran
yang berkaitan dengan Allah dalam terang rahmat, yang merupakan milik
iman saja.
St. Petrus juga mendorong orang Kristen diaspora untuk menyembah
:”di dalam hatimu hormatilah Kristus sebagai Tuhan. Siap sedialah untuk
mempertanggungjawabkan kepada siapapun mereka yang meminta penjelasan
bagi pengharapan yang ada didalam kamu (1 Pet 3 : 15)”. Dalam atmosfer
penyiksaan dan dengan kebutuhan yang menekan untuk menjadi saksi iman,
kita umat beriman diminta untuk membenarkan dengan nalar yang memilki
dasar, kesetiaan kita kepada perkataan Injil, untuk menjelaskan alasan
bagi pengharapan kita.
Kareananya iman yang sungguh dihidupi, tidak berasal dari konflik
dengan ilmu pengetahuan, tapi bekerja sama dengannya … Untuk alasan ini
juga, merupakan hal yang rasional untuk percaya : bila ilmu pengetahuan
merupakan sebuah teman iman yang berharga untuk memahami rencana Allah
bagi alam semesta, iman, tetap setia pada rencana ini, mengijinkan ilmu
pengetahuan berkembang selalu untuk mencapai kebaikan dan kebenaran
manusia.
Katekese Tahun Iman : Bagaimana Berbicara tentang Allah
Bagaimana kita bsia berbicara tentang Allah sekarang? Jawaban
pertamanya adalah kita bisa berbicara tentang Allah karena Ia telah
berbicara pada kita; jadi syarat pertama untuk berbicara tentang Allah
adalah mendengarkan semua yang Allah sendiri telah katakan. Allah telah
berbicara pada kita! Allah karenanya bukanlah hipotesis yang jauh
mengenai asal usul dunia; ia bukan intelegensi matematis yang jauh dari
kita. Allah peduli pada kita, Ia mencintai kita, Ia telah masuk secara
personal kedalam realita sejarah kita, ia telah mengkomunikasikan
diri-Nya, bahkan sampai menjadi manusia. Karenanya Allah adalah realita
kehidupan kita, Ia begitu agung sehingga Ia memiliki waktu bagi kita
juga, Ia peduli pada kita. Dalam Yesus dari Nazareth kita menemui wajah
Allah, yang turun dari surga untuk menceburkan diri-Nya ke dunia
manusia, di dunia kita, dan untuk mengejar “seni kehidupan”, jalan
menuju kebahagiaan; untuk membebaskan kita dari dosa dan menjadikan kita
anak-anak Allah (Efes 1:5; Roma 8:14). Yesus datang untuk menyelamatkan
kita dan menunjukkan kepada kita kehidupan Injil yang baik.
Berbicara tentang Allah pertama-tama mengungkapkan dengan jelas
Allah seperti apa yang harus kita bawa kepada pria dan wanita jaman
sekarang : bukan Allah yang abstrak, sebuah hipotesis, tapi Allah yang
nyata, Allah yang ada, yang telah masuk kedalam sejarah dan hadir dalam
sejarah : Allah Yesus Kristus sebagai jawaban bagi pertanyaan mendasar
tentang makna kehidupan dan bagaimana kita seharusnya hidup.
Konsekuensinya, berbicara tentang Allah menuntut familiaritas dengan
Yesus dan Injil-Nya, ini mengimplikasikan bahwa kita memiliki
pengetahuan tentang Allah yang nyata dan personal, dan hasrat yang kuat
bagi rencana keselamatan-Nya tanpa tunduk kepada godaan keberhasilan,
tapi mengikuti cara Allah. Cara Allah adalah kerendahan hati – Allah
menjadikan dirinya sama seperti kita – caranya dibawa melalui Inkarnasi
di rumah Nazareth yang sederhana; melalui Gua Bethlehem; melalui
perumpaan Biji Sesawi.
Ketika berbicara tentang Allah, dalam karya evangelisasi, dibawah
bimbingan Roh Kudus, kita harus menemukan kesederhanaan, kita harus
kembali kepada esensi proklamasi : Kabar Baik tentang Allah yang nyata
dan efektif, Allah yang peduli tentang kita, Allah-Cinta yang menjadikan
diri-Nya dekat dengan kita dalam Yesus Kristus, sampai di Salib, dan
yang dalam Kebangkitan-Nya memberi kita harapan dan membukakan kita
kepada kehidupan yang tak berujung, kehidupan kekal, kehidupan sejati.
St. Paulus..memberi kita pelajaran yang langsung menuju pada inti
permasalahan iman :”bagaimana berbicara tentang Allah” dengan
kesederhanaan yang besar.
Dalam Surat Pertama kepada Umat di Korintus ia menulis :”Ketika Aku
datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang untuk
memproklamasikan kepadamu kesaksian tentang Allah dalam kebijaksanaan
atau kata-kata yang mulia. Karena aku memutuskan untuk tidak mengetahui
apapun diantara kamu kecuali Yesus Kristus dan Ia yang disalibkan”
(2:1-2).
Ia berbicara tentang Allah yang masuk dalam kehidupannya, ia
berbicara tentang Allah yang nyata yang hidup, yang berbicara dengannya
dan akan berbicaradengan kita, ia berbicara tentang Kristus yang
disalibkan dan bangkit.
St. Paulus memproklamasikan Kristus dan ingin mengumpulkan
orang-orang untuk Allah yang benar dan nyata. Keinginan Paulus adalah
berbicara dan mengkotbahkan Ia yang masuk dalam kehidupannya dan yang
merupakan kehidupan sejati, yang memenangkannya di jalan menuju
Damaskus. Karenanya, berbicara tentang Allah berbarti membuka ruang bagi
Ia yang memampukan kita mengetahuinya, yang menyatakan wajah kasih-Nya
pada kita; artinya mengosongkan diri kita dari ego kita,
mempersembahkannya kepada Kristus, dalam kesadaran bahwa bukan kita yang
memenangkan orang lain demi Allah, tapi bahwa kita harus mengharapkan
Allah untuk mengirim mereka, kita harus memohon kepada Allah bagi
mereka. Berbicara tentang Allah karenanya berasal dari mendengarkan,
dari pengetahuan kita tentang Allah yang dibawa melalui familiaritas
dengan-Nya, melalui kehidupan doa dan dalam kesesuaian dengan 10
Perintah Allah.
Menyampaikan iman, bagi St. Paulus, tidak berarti menempatkan
dirinya di depan, tapi berkata secara umum dan terbuka tentang apa yang
telah ia lihat dan dengar dalam pertemuannya dengan Kristus, apa yang
telah ia alami dalam hidupnya yang diubah melalui pertemuan itu :
artinya menempatkan Yesus didepan, yang ia rasakan kehadiran-Nya di
dalam ia dan yang menjadi orientasi keberadaannya yang sebenarnya, untuk
memperjelas bagi semua orang bahwa Yesus diperlukan bagi dunia dan
penting bagi kebebasan setiap orang.
Untuk berbicara tentang Allah, kita harus meninggalkan ruang
bagi-Nya, percaya bahwa Ia akan bertindak dalam kelemahan kita : kita
harus membuat ruang bagi-Nya tanpa rasa takut tapi dengan kesederhanaan
dan sukacita, dalam keyakinan mendalam bahwa semakin kita menempatkan Ia
di pusat dan bukan diri kita, semakin berbuah komunikasi kita. Dan ini
jua benar bagi komunitas Kristen : mereka dipanggil untuk menunjukkan
tindakan rahmat Allah yang mengubah, dengan mengatasi individualisme,
kedekatan, keegoisan, keacuhan, dengan menghidupi kasih Allah dalam
relasi sehari-hari mereka. Mari kita bertanya apakah komunitas kita
sungguh seperti ini. Untuk menjadi seperti ini, kita harus, selalu dan
sungguh memproklamasikan Kristus dan bukan diri kita.
Yesus bertindak dan mengajar, selalu mulai dari hubungan yang dekat
dengan Bapa. Gaya ini menjadi petunjuk yang hakiki bagi kita sebagai
orang Kristen : cara hidup kita dalam iman dan kasih menjadi cara untuk
berbicara tentang Allah sekarang, karena hal ini menunjukkan, melalui
kehidupan yang dijalani dalam Kristus, kredibilitas dan realisme
terhadap apa yang kita katakan dengan kata-kata, yang bukan sekedar kata
tapi dinyatakan dalam realita, realita yang sebenarnya. Dan dalam hal
ini kita harus peduli untuk memahami tanda-tanda zaman…untuk
mengidentifikasi potensi, aspirasi, dan tantangan yang kita temui dalam
budaya jaman sekarang dan khususnya dalam keinginan bagi autentisitas,
kerinduan terhadap yang transendens, dan kepedulian untuk menjaga
Ciptaan dengan mengkomunikasikan tanpa rasa takut tanggapan yang iman
persembahkan dalam Allah.
Berbicara tentang Allah artinya mengkomunikasikan apa yang
esensial…melalui kata-kata dan kehidupan kita : Allah Yesus Kristus,
Allah yang menunjukkan kita cinta yang begitu besar hingga ia menjadi
manusia, wafat dan bangkit lagi demi kita : Allah yang meminta kita
mengikuti-Nya dan membiarkan diri kita diubah oleh cinta yang mendalam
untuk memperbaharui hidup dan hubungan kita; Allah yang memberi Gereja
pada kita, agar kita dapat berjalan bersama dan melalui sabda dan
sakramen, memperbaharui seluruh kota pria dan wanita, sehingga menjadi
Kota Allah.
---------------------------------------------
Penulis : Paus Benediktus XVI
Penerjemah : Cornelius