"Kita adalah sesama anggota" (Efesus 4:25)
Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani
Saudara dan Saudari yang terkasih,
Sejak adanya internet, Gereja selalu berupaya mendorong pemanfaatannya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antapribadi. Saya sekali lagi ingin mengajak Anda untuk merenungkan fondasi dan makna mendasar tentang keberadaan kita yang terbentuk melalui relasi. Dalam konteks komunikasi dewasa ini yang penuh tantangan, mari kita menemukan kembali hasrat terdalam pribadi manusia yang tidak ingin terpuruk dalam isolasi dan kesendirian.
Metafora Tentang Jejaring Dan Komunitas
Cakupan media dewasa ini sudah merambah dan menyebar dan menjadi semakin tidak terpisahkan dari ranah kehidapan sehari-hari. Internet dewasa ini menjadi sumber daya dan pengetahuan, serta relasi yang berkat teknologi mengakibatkan terjandinya tranformasi yang paling hakiki dan berdampak pada proses produksi, distribusi serta penggunaan konten.
Sejumlah ahli menyoroti faktor risiko yang mengancam pencarian, penerusan dan penyebaran informasi pada skala global. Meskipun internet pada satu sisi menyajikan sebuah kemungkinan yang luar biasa menyangkut akses pada pengetahuan, akan tetapi pada sisi lain, internet juga terbukti menjadi arena yang banyak terpapar informasi sesat, penyimpangan fakta dan distrosi relasi antarpribadi yang dilakukan sengaja untuk mendiskreditkan orang atau pihak tertentu.
Harus diakui bahwa jejaring sosial sungguh membantu kita untuk lebih mudah terhubung, saling membantu sama lain. Meskipun juga disadari bahwa di sisi lain, jejaring sosial menjadi sarana dimana mudah terjadi upaya memanupulasi data pribadi demi mendapatkan keuntungan politik atau ekonomi tanpa menaruh hormat pada pribadi seseorang, termasuk hak-haknya.
Data menunjukkan bahwa satu dari empat orang di kalangan kaum muda terlibat dalam kasus perisakan di dunia maya (cyber bullying). Dalam skenario yang kompleks ini barangkali bermanfaat untuk merenungkan kembali metafora tentang “net” atau jejaring, yang merupakan dasar dan pijakan awal agar internet dapat mulai menemukan kembali potensi positifnya. Gambaran tentang jejaring mengajak kita untuk merenungkan begitu banyaknya lini dan persimpangan yang menjamin stabilitas, meskipun tidak ada satu titik pusat, tidak ada satu struktur hierarkis, dan bahkan tidak ada satu bentuk organisasi yang bercorak vertikal di dalam jejaring.
Jejaring berfungsi justru karena semua elemen di dalamnya saling berbagi tanggung jawab. Dari sudut pandang antropologi, metafora tentang jejaring ini mengingatkan kita pada sebuah citra atau gambaran lain yang sarat makna, yaitu komunitas. Sebuah komunitas niscaya menjadi jauh lebih kuat apabila bercorak kohesif (melekat satu dengan yang lain) dan suportif (saling memberi dukungan dan semangat), apabila digerakkan oleh rasa saling percaya dan mengupyakan pencapaian tujuan-tujuan bersama. Komunitas sebagai jejaring solidaritas menuntut dilibatkannya elemen saling mendengarkan dan dialog, dilandasi dengan penngunaan Bahasa secara bertanggung jawab. Dalam skenario ini, kita semua dapat memahami bahwa berbagai kelompok jejaring sosial tidak selalu sama bentuknya dengan komunitas.
Sangat boleh jadi bahwa kelompok-kelompok di dalam dunia maya ini mampu menunjukkan kohesi dan solidaritas, tetapi seringkali tidak lebih daripada sekedar kelompok-kolompok individu yang yang saling mengenal karena memiliki minat yang sama atau kepedulian bersama yang dicirikan oleh ikatan-ikatan antarpribadi yang lemah. Lebih dari itu identitas atau jati diri dalam jejaring sosisal seringkali hanya didasarkan oleh adanya sikap pertetangan dengan pihak lain, yaitu pribadi pribdi di luar kelompok: kita mendefinisikan diri dengan mengawalinya dari apa yang memisahkan kita.
Alih-alih mengawali dari yang apa yang menkita, sehingga memunculkan kecrigaan dan terwujudkan dalam beragam jenis prasangka (etnis, jenis kelamain, agama dan lainnya). Kecenderungan ini mebiakkan kelompok-kelompok yang menafikan keberagaman, seedemikian rupa sehingga bahkan dalam dunia maya pun bertumbuh subur individualisme yang tidak terkendali dan tidak jarang berujung pada berkobarnya spiral kebencian.
Melalui cara demikian, apa yang seharusnya menjadi tingkap untuk melongok dunia, malah justru berubah menjadi tontonan di dunia maya untuk memerkan narsisme pribadi. Internet membuka peluang untuk memajukan perjumpaan dengan orang lain, tetapi dapat juga memperparah isolasi atau keterasingan diri, laksana perangkap yang dapat menjebak kita.
Kaum muda adalah kelompok yang paling terpapar dapa angan-angan atau ilusi bahwa jejaring sosial dapat sepenuhnya memuaskan mereka pada ranah relasional. Ini merupakan fenomena yang sangat berbahaya, bahwa anak-anak muda pelan-pelan menjadi seperti “petapa sosial” yang beresiko mengasingkan diri mereka sepenuhnya dari masyarakat. Situasi dramatis ini mengungkapkan sebuah keretakan serius dalam jalinan-jalinan relasional masyarakat, yang tidak dapat kita abaikan.
Realitas yang beragam dan berbahaya ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang bersifat etis, sosial, yurudis, politis, dan ekonomis sekaligus juga menjadi tantangan bagi gereja. Para pemimpin negara sedang berupaya menyusun regulasi seputar dunia maya dan melindungi tujuan pertamanya tentang jejaring yang bebas, tebuka dan aman. Pada saat bersamaan kita semua sebagai gereja memiliki peluang dan tanggung jawab untuk mendorong pemanfaatan dunia maya secara positif.
Jelas bahwa tidaklah memadai untuk sekadar melipagandakan koneksi daring guna meningkatkan saling pengertian. Lalu, bagaimana kita dapat menemukan identitas komunitarian atau jadi diri kita dalam persekutuan yang sejati, seraya menyadari tanggung jawab kita antara satu terhadap yang lain dalam koneksi daring tersebut?
Kita Adalah Sesama Anggota
Suatu alternatif jawaban dapat dipetik dari metafora ketiga, yaitu tentang tubuh dan anggota-anggotanya. Gambaran ini digunakan oleh Santo Pulus untuk melukiskan hubungan timbal-balik diantara semua bagian yang menyatukan mereka. “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” Efesus 4:35). Menjadi sesama anggota adalah tujuan utama sesama anggota.
Santo Paulus mengajak kita utnuk membuang dusta dan berkata benar. Tuga untuk menjaga kebenaran muncul dari kebutuhan untuk tidak mengingkari hubungan timbal balik yang saling menguntugkan di dalam sebuah persekutuan. Kebenaran terungkap dalam sebuah persekutaan. Di sisi lain, dusta atau kebohongan adalah penolakan yang egois untuk mengakui bahwa kita adalah sesama anggota, bagian dari tubuh yang satu dan yang sama. Dusta atau kebohongan adalah penolakan kita untuk memberikan diri kepada sesama sehingga kita kehilangan satu-satunya cara untuk menemukan diri kita sendiri. Metafora tentang tubuh dan anggota-anggotanya mengantar kita untuk merenungkan jati diri kita, yang berlandaskan persekutuan dan kebinekaan.
Sebagai orang Kristiani, kita semua mengakui diri kita sebagai anggota dari tubuh yang satu dan sama dengan Kristus sebagai kepalanya. Pengakuan ini membantu kita untk melihat orang lain, bukan sebagai pesaing, melainkan sebaliknya mengangap musuh-musuh kita ssebagai pribadi. Kita tidak lagi membutuhkan musuh untuk mendefinisikan siapa diri kita. Tatapan yang merangkul semua orang seperti yang diteladani dari Kristus menuntun kita untuk menemukan kebinekaan atau perbedaan dengan cara baru, yaitu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan prasyarat mutlak bagi suatu hubungan dan kedekatan.
Kemampuan untuk memperoleh pemahaman dan komunikasi di antara pribadi-pribadi manusia berlandaskan persekutauan kasih dari antara Pribadi Ilahi. Allah itu bukan Kesendirian, melainkan Persekutuan: Ia adalah kasih dan karenanya komunikasi. Lantaran kasih selalu berkomunikasi. Bahkan kasih itu mengomunikasikan dirinya untuk menjumpai yang lain. Agar dapat berkomunikasi dengan kita dan untuk mengomunikasikan diriNya kepada kita, Allah bahkan menyesuaiakn diriNya dengan bahasa kita, seraya membangun dialog nyata dengan umat manusia di sepanjang bentangan sejarah (bdk. Konsili Ekomnenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum art. 2).
Kita diciptakan seturut citra dan rupa Allah yang merupakan persekutuan yaitu Allah yang mengomunikasikan diriNya. Kita selamanya membawa serta di dalam hati kita suatu kerinduan untuk hidup dalam persektuan, untuk menjadi bagian dari dan tinggal di dalam sebuah komunitas. “Sesungguhnya, tidak ada yang lebih hakiki dan kodrat, kita sebagai manusia selain masuk ke dalam sebuah jalinan realasi satu sama lain, dan saling membutuhkan seorang terhadap yang lain”, kata Santo Basilius.
Konteks zaman ini mengajak kita untuk menyemai relasi dan menegaskan corak kemanusiaan kita yang interpersonal, termasuk di dalam dan melalui jejaring sosial. Terlebih lagi, sebagai orang Kristiani, kita dipanggil untuk mewujudkan persekutuan yang menjadi ciri khas jati diri kita sebagai kaum beriman. Sesungguhnya iman itu sendiri adalah sebuah relasi, sebuah perjumpaan. Dari bawah daya dorong kasih Allah, kita dapat berkomunikasi, menyambut dan memahami bakat atau talenta orang lain dan menanggapinya.
Persekutan seturut citra dan rupa Allah Tritunggal jutru adalah hal yang membedakan pribadi dari individu. Bertolak dari iman akan Allah yang adalah Tritunggal, maka jelas bahwa untuk menjadi diriku, aku membutuhkan orang lain. Aku benar-benar manusia, benar-benar pribadi, hanya jika aku berhubungan dengan orang lain. Sesunggunya kata “persona”atau pribadi menandakan manusia sebagai sebuah “wajah”. Wajah ini senantiasa terarah kepada orang lain, terlibat dan bertaut dengan orang lain.
Hidup kita menjadi lebih insani (manusiawi) hanya ketika memiliki sifat dasar yang kurang individual dan lebih personal. Kita melihat jalan autentik ini agar diri seseorang menjadi lebih insani (manusiawi) yang bergerak menjauhkan dirinya menjadi individual, ketika menganggap orang lain sebagai pesaing, dan bergerak menuju pemahaman sebagai seorang pribadi yang mengakui orang lain sebagi rekan seperjalanan.
Dari like ke Amin
Gambaran tentang tubuh dan anggota-anggotanya mengingatkan kita bahwa penggunaan “jejaring sosial” merupakan pelengkap bagi sebuah perjumpaan secara fisik, dan perjumpaan semacam itu menjadi kasatmata melalui tubuh, hati, mata, tatapan dan napas orang lain. Jika internet digunakan sebagai perpanjangan atau pengharapan serta kerinduan tentang perjumpaan semacam itu, maka gagasan asli tentang jejaring sosial dari tidak dikhianati dan tetap menjadi sebuah sumber daya bagi persekutuan.
Jika satu keluarga memakai intetnet agar semakin terhubung dan kemudian berkumpul di meja makan dan saling bertatap muka, maka internet menjadi sebuah sumber daya. Jika sebuah komunitas Gereja mengatur kegiatannya melalui internet dan kemudian merayakan Ekaristi bersama, maka internet menjadi sebuah sumber daya.
Jika internet menjadi wahana untuk berbagi aneka kisah dan pengalaman tentang keindahan atau penderitaan dari pribadi-pribadi yang secara fisik jauh dari kita, untuk berdoa bersama, dan bersama-sama mencari kebaikan untuk menemukan kembali apa yang menyatukan kita, maka internet menjadi sebuah sumber daya. Dengan cara ini kita dapat beralih dari sekedar teori menjadi sebuah aksi nyata dan tindakan konkret yang membuka jalan bagi terjadinya dialog, perjumpaan, tersenyum, dan mengungkapkan kelemah-lembutan.
Seperti itulah jejaring sosial yang kita idamkan yaitu sebuah jejaring yang diciptakan bukan unutk menjebak, melainkan untuk membebaskan, untuk melindungi persekutaan priabadi-pribadi yang merdeka. Gereja itu sendiri adalah sebuah jejaring yang diteguhkan bersama melalui Ekaristi, dimana persatuan tidak berdasarkan “like” tetapi dilandasi oleh kebenaran iman dan pernyataan “Amin”. Dengan demikian masing-masing anggota melekat erat pada Tubuh Kristus dan sekaligus terbuka menyambut orang lain.
Vatikan, 24 Januari 2019
PAUS FRANSISKUS